• ,
  • - +

Artikel

Potret Layanan Publik Daerah Perbatasan
• Rabu, 29/12/2021 •
 
Ita Wijayanti, Asisten Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Selatan

Daerah perbatasan merupakan daerah yang cukup krusial, gerbang lalu lintas orang dan pintu keluar masuk angkutan barang. Selain itu, daerah perbatasan merupakan potret pertama dari sebuah daerah, termasuk bagaimana pemerintah memberikan layanan publik untuk semua aspek di dalamnya. Kepedulian pemerintah terhadap pelayanan publik dapat tercermin dari baik tidaknya pembangunan pada daerah perbatasan, jika pada pintu gerbang saja bagus, wilayah intinya sudah tidak perlu ditanyakan lagi.

Dalam pasal 4 Undang-Undang 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menyebutkan bahwa, penyelenggaraan pelayanan publik harus berasaskan pada kesamaan hak, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Namun apakah asas ini sudah benar-benar diterapkan oleh pemerintah khususnya pada daerah perbatasan?

Nyatanya, dalam kegiatan Mengawas Pelayanan Publik di Daerah Perbatasan oleh Ombudsman RI Kalsel pada tahun 2021, didapati beberapa temuan terkait tidak tersedianya pelayanan publik dasar untuk warga perbatasan. Seperti diketahui, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018, layanan publik dasar yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah meliputi layanan pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan pemukiman, ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat, serta sosial.

Ombudsman, selaku pengawas pelayanan publik, mendapati beberapa temuan saat mengawasi layanan publik pada daerah perbatasan, meliputi kurangnya partisipasi pemerintah dalam perbaikan layanan kesehatan. Minimnya fasilitas kesehatan dan jauhnya jarak tempuh menuju lokasi fasilitas kesehatan, terkadang memaksa warga perbatasan untuk memilih penggunakan layanan kesehatan pada provinsi "tetangga" yang lebih mudah diakses dan lebih murah. Sebaliknya perbaikan yang signifikan sangat lambat terlihat, mengingat warga perbatasan tidak tahu ke mana harus mengadu, hanya bisa menunggu kepekaan dan action dari pemerintah daerah.

Selain itu, masalah administrasi kependudukan juga menjadi salah satu problem berkelanjutan yang ada pada daerah perbatasan. Tidak adanya Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang ditempatkan pada daerah-daerah perbatasan tentu menyulitkan bagi warga yang ada di perbatasan. Padahal, ketersediaan dokumen kependudukan sangat penting untuk mendukung setiap kegiatan layanan publik lainnya. Seperti layanan publik pendidikan, administasi pertanahan, bantuan sosial, surat izin mengemudi dan sebagainya. Salah satu contoh, pada daerah Sengayam yang berbatasan dengan Grogot, pengurusan administrasi kependudukan bisa memakan waktu sampai 3 bulan lamanya. Tergantung pada kapan perangkat desa berangkat ke pusat kota untuk membawa dokumen titipan warga. Belum lagi menunggu proses dokumen administrasi kependudukan selesai. Akhirnya sistem one day service tidak berlaku pada layanan administrasi kependudukan di wilayah perbatasan. Di tengah ramainya sosialisasi penggunaan akses layanan online, proses layanan adminduk di daerah perbatasan masih memakan banyak waktu, biaya, dan tenaga.

Selain dari pada poin-poin inti problem perbatasan, masih ada problem lain seperti pelaksanaan pendidikan, dan infrastruktur desa yang masih harus dimaksimalkan. Di masa pandemi covid 19, dunia pendidikan dihadapkan dengan sistem pembelajaran online. Namun di satu sisi, bahkan jaringan internet tidak tersedia di daerah perbatasan. Lucunya, untuk memenuhi kebutuhan jaringan internet, warga perbatasan bisa meminta akses jaringan melalui provinsi tetangga dan berhasil, sungguh potret layanan publik yang sangat ironi.

Dari keseluruhan problem ini, dapat dilihat bahkan untuk penerapan Sistem Pemerintah Berbasis Elektronik (SPBE) sebagai salah satu indikator tercapainya sistem Reformasi Birokrasi, masih jauh dari angan-angan. Ketiadaan layanan publik di daerah perbatasan ini, tentu membuat pemerintah melanggar asas pelayanan publik yang diamanahi dalam Undang-Undang Pelayanan Publik, timbul ketidaksamaan perlakukan/diskriminatif antara warga perbatasan dan warga yang berada di pusat kota, tidak memberikan kemudahan dan kecepatan, serta tidak memberikan layanan yang dapat menjangkau secara menyeluruh.

Namun, di tengah segala keterbatasan pelayanan publik di daerah perbatasan, perbaikan dalam segala aspek layanan masih terus diharapkan oleh warga perbatasan kepada Pemerintah. Ombudsman, sebagai jembatan komunikasi antara warga dan pemerintah, akan terus mendorong pemerintah untuk selalu berbenah, melakukan aksi perbaikan, hingga layanan publik dapat dirasakan merata, baik di pusat maupun di perbatasan.


Ita Wijayanti, S.H.

Asisten Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Selatan


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...