Potret Layanan Pendidikan di Kalimantan Selatan
Komitmen negara dalam memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, sepertinya belum dapat mengcover keseluruhan kebutuhan penyelenggaraan layanan pendidikan di Indonesia. Hal ini terlihat dari masih banyak dan beragamnya pengaduan masyarakat terkait layanan pendidikan, bahkan di tahun 2023 yang masih berjalan empat bulan, pengaduan layanan pendidikan yang disampaikan masyarakat ke Ombudsman Kalsel misalnya cukup beragam, mulai dari dugaan distribusi dana BOS yang tak tepat sasaran, ketidakpastian informasi penerima bantuan pendanaan pendidikan dari Program Indonesia Pintar, kesalahan operator sekolah dalam menginput data peserta didik yang berakibat siswa tersebut tak bisa mendapatkan bantuan pendidikan, termasuk aduan terkait kondisi fisik bangunan sekolah yang memprihatinkan dan membahayakan (tidak aman) bagi peserta didik, hingga pengaduan terkait pungutan berkedok "sumbangan pendidikan" di sekolah, yang tak pernah absen dilaporkan setiap tahunnya.
Dari beragam jenis laporan tersebut, permasalahan terhadap kondisi fisik bangunan sekolah yang kurang aman menjadi laporan yang cenderung berulang, dan tak pernah absen di setiap tahunnya. Permasalahan kondisi fisik bangunan juga beragam, seperti pertama, ruangan belajar rusak, dinding berlubang, bangunan kelas mengalami keretakan di berbagai sisi, lantai ubin rusak, hingga atap ruang kelas pada salah satu SD di Kalsel runtuh, ketika masih ada aktifitas belajar mengajar di sekolah. Akibat rusaknya bangunan kelas tersebut, memaksa guru dan para siswa untuk melanjutkan proses belajar mengajar di ruangan lain yang masih bisa digunakan.
Setidaknya ada dua dampak dari bagunan sekolah yang kurang aman tersebut, yang pertama adalah keselamatan dan keamanan para siswa dalam menempuh proses belajar mengajar, di satu sisi siswa dan guru harus fokus dalam prosesnya, di satu sisi juga was-was jika terjadi hal yang tidak diinginkan, misalnya atap atau bangunan roboh, tentu berpotensi menimpa siswa, hal ini tentunya jauh dari komitmen pemerintah untuk menciptakan sekolah aman sebagaimana Permendikbud Nomor 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana, yang pada intinya bertujuan untuk memberikan pelindungan dan keselamatan kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dari dampak bencana di satuan pendidikan. Kedua, tentu ruskanya bangunan sekolah tersebut akan berdampak pada proses kegiatan belajar mengajar para siswa terganggu karena menyesuaikan dengan kondisi ruang baru yang sebenarnya bukan diperuntukkan pada proses bejalar dan mengajar.
Kedua, tak berhenti pada masalah bangunan utama sekolah, halaman sekolah dengan kondisi penuh genangan air dan becek, akibat air pasang, juga dilaporkan masyarakat ke Ombudsman Kalsel. Kondisi halaman yang banjir tersebut berimbas pada beberapa hal, yakni para siswa dan guru kesulitan melakukan upacara, padahal sekolah sangat jarang melakukan upacara, kalaupun melaksanakan upacara dilakukan di halaman musholla yang letaknya kira-kira 200 meter dari lokasi sekolah. Jika merujuk pada Permendikbud Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pedoman Upacara Bendera di Sekolah, upacara di sekolah paling sedikit dilaksanakan dan hari besar nasional. Selain itu, tujuan dari pelaksanaan upacara di sekolah adalah untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, hingga mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air.
Tidak hanya upacara yang sulit untuk dilakukan, kegiatan olah raga yang menjadi salah satu pelajaran wajib juga ikut tak bisa dilakukan secara leluasa di lapangan, hanya dilakukan dengan berjalan keliling kampung di dekat sekolah, dan berolahraga di halaman musholla di dekat sekolah, dan yang mencengangkan, sekolah tersebut sudah berdiri sejak 30 tahun yang lalu, dan letaknya berada di salah satu kota yang terbilang maju di Kalimantan Selatan. Namun, hingga saat ini kondisinya masih sangat membutuhkan perhatian dari pemerintah daerah.
Ketiga, permasalahan kondisi toilet sekolah yang kotor, tak terawat (rusak/tak berfungsi), air tak cukup tersedia, hingga lokasi yang berada di pojok bangunan cenderung mengerikan dan jauh dari kata ramah anak, juga masih kerap ditemui. Kondisi toilet tersebut mengakibatkan siswa kerap menahan untuk membuang air kecil/besar di sekolah, padahal jika hal ini dibiarkan tertus menerus, maka akan sedikit banyak berdampak pada kesehatan anak.
Jika merujuk pada Permendikbud Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar/Madrasah, sekolah wajib menyediakan toilet/jamban dengan rasio minimum satu toilet untuk setiap 60 peserta didik pria, satu toilet untuk setiap 50 peserta didik wanita, dan satu toilet untuk guru. Dengan kata lain, jumlah minimum toilet di setiap sekolah/madrasah adalah tiga unit, dan dipastikan ketersediaan air bersih di setiap unit toilet di sekolah. Tentunya hal ini ditujukan untuk menciptakan rasa nyaman dan aman bagi para siswa di sekolah saat hendak menggunakan toilet.
Untuk permasalahan bangunan sekolah rusak (termasuk toilet), berdasarkan hasil pemeriksaan Ombudsman Kalsel, pihak sekolah tak berdiam diri, berulang kali mengajukan permohonan untuk dilakukan perbaikan kepada instansi terkait, ada yang beruntung karena permohonan rehab bangunanya di respons cepat oleh instansi terkait, namun ada yang belum beruntung karena ajuan permohonan rehab bangunan sekolah yang diajukannya belum di respons, bahkan ditunda dalam waktu yang tidak ditentukan dengan asalan keterbatasan anggaran yang selalu menjadi kerikil dalam mewujudkan lingkungan dan bangunan sekolah yang aman dan nyaman untuk para siswa. Sehingga pihak sekolah dan siswa harus terus bersabar dengan kondisi tersebut, dan terus melakukan inovasi dan kreasi agar kondisi sekolah yang masih kurang mendukung tak menjadi penghambat dalam pemenuhan layanan pendidikan di sekolah.
Tak berhenti pada permasalahan bangunan, permasalahan lain yang kerap berulang juga terjadi pada ketidaktelitian operator sekolah dalam melakukan input data siswa, khususnya bagi siswa yang masuk dalam ketegori kurang mampu yang diajukan untuk menerima bantuan pendidikan. Berulang kali terjadi kesalahan dan dampaknya cukup fatal, yakni berimbas pada keberlanjutan pendidikan si anak yang menjadi korban salah input operator. Di salah satu SD di Banjarmasin misalnya, seorang ibu mengadukan masalah anaknya yang tidak lagi menerima bantuan pendidikan ke Ombudsman Kalsel, padahal selama ini keluarganya bergantung pada bantuan tersebut untuk keberlangsungan pendidikan anaknya, dikarenakan kendala ekonomi keluarga yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Beruntung data anak ibu tersebut dapat diperbaiki oleh operator sekolah, dan untuk kemudian diajukan kembali sebagai penerima bantuan pendidikan. Sehingga kejadian ini diharapkan benar-benar menjadi referensi agar penyelenggara pendidikan melakukan segara rangkaian layanan pendidikan dengan hati-hati, agar tak merugikan masyarakat nantinya.
Masalah lain juga yang masih berulang adalah masalah pungutan berkedok "sumbangan pendidikan" di sekolah saat menuju akhir kenaikan kelas/perpisahan, yang membuat orang tua murid meradang dengan jumlah sumbangan yang tak wajar ditentukan oleh komite dan diketahui oleh pihak sekolah, dan bersifat wajib dibayarkan untuk seluruh siswa yang akan lulus. Bukan untuk biaya administrasi fotokopi ijazah ataupun penulisan ijazah yang juga pernah dilaporkan ke Ombudsman, namun kali ini pungutan dilakukan untuk kegiatan yang sebenarnya dapat dilakukan di lingkungan sekolah (perpisahan siswa), namun pihak komite dan sekolah memilih untuk menggelar hajatan tersebut di luar sekolah dengan menyewa gedung yang tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga mau tak mau yang menjadi korban adalah siswa dan juga orang tua, khususnya pada siswa yang benar-benar mengalami kendala dalam perekonomian keluarga.
Harapannya, permasalahan-permasalahan layanan pendidikan di atas dapat segera tertangani dengan baik oleh instansi terkait, bukan hanya untuk memastikan layanan pendidikan berjalan dengan baik di semua lini pendidikan, penyelenggaraan pendidikan yang baik sesungguhnya adalah merupakan investasi bangsa untuk masa depan, karena generasi yang tengah menempuh pendidikan saat ini merupakan calon-calon penerus bangsa yang dapat mengubah dan berkontribusi untuk menjadikan Indonesia maju.
Zayanti Mandasari, S.H., M.H
Asisten Pemeriksaan Laporan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Selatan