Potret Aduan Publik 2021
Dua tugas besar Ombudsman adalah menerima pengaduan masyarakat terkait penyimpangan pelayanan publik atau biasa disebut dengan maladministrasi. Dan melakukan pencegahan terhadap potensi maladministrasi yang terjadi. Tulisan ini, bermaksud hanya memberikan gambaran atau potret penerimaan dan penanganan aduan publik yang masuk ke Ombudsman Sumbar tahun 2021.
Berdasarkan catatan akhir tahun yang disampaikan Ombudsman Sumbar, Jumat (31/12). Pada tahun 2021, akses pengaduan masyarakat ke Ombudsman Sumbar mencapai 1069 pengaduan. Terdiri dari konsultasi sebanyak 537, tembusan 264 dan laporan sebanyak 268. Dari 268 laporan, hanya 200 laporan yang dilanjutkan ke pemeriksaan.
Rapor Kepatuhan Pelayanan Publik 2021
Sisanya, 68 laporan tidak dilanjutkan ke pemeriksaan, sebanyak 48 pelapor tidak melengkapi syarat, dan 20 laporan tidak lengkap secara materiil, atau bukan kewenangan Ombudsman. Dilihat dari substansi pelayanan publik yang dilaporkan, tiga besar yang paling banyak dilaporkan adalah pedesaan/nagari/lurah, agraria dan pendidikan.
Nagari/Pedesaan/Lurah
Tahun ini, substansi pedesaan/nagari/lurah dilaporkan masyarakat sebanyak 31 pengaduan. Angka ini menarik, karena substansi nagari/pedesaan/lurah selama ini tidak pernah masuk lima atau tiga besar dalam pengaduan publik di Sumbar. Tahun lalu, substansi pedesaan/nagari/lurah yang dilaporkan masyarakat hanya 19 pengaduan saja.
Di antara yang dilaporkan masyarakat adalah penyalahgunaan wewenang atau penyimpangan prosedur oleh Wali Nagari dalam memberhentikan aparat nagari, kebanyakan terjadi setelah Pemilihan Wali Nagari (Pilwana) dilakukan. Aduan ini dimotori Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Sumbar, organisasi ini telah banyak mengadvokasi anggotanya yang diberhentikan oleh Wali Nagari dan membantu untuk melaporkan ke Ombudsman.
Aduan ini, sekaligus memberikan gambaran bahwa betapa tensi politik elit di nagari berdampak kepada birokrasi nagari itu sendiri. Aparatur nagari diberhentikan hanya karena beda pilihan politik, tanpa ada kesalahan yang dilakukan, pun tidak diberi peringatan atau tidak ada rekomendasi dari camat. Pasca diberhentikan, Wali Nagari kemudian mengangkat gerbong politiknya menjadi aparatur. Ini serupa Pilkada saja, pasca Pilkada tim sukses diangkat sebagai pejabat, kepala daerah mengangkatnya secara serampangan.
Selain itu, substansi pedesaan/nagari/lurah yang dilaporkan masyarakat adalah dugaan (pungutan liar) pungli di lurah. Pungli berkaitan dengan pengurusan pengantar KK dan surat tanah, masalah ini terjadi di Padang. Dalam pemeriksaan, uang pungutan itu telah dikembalikan kepada masyarakat, dan oknum di lurah telah di sanksi. Namun, lagi-lagi hal ini perlu menjadi perhatian oleh Walikota Padang, ternyata birokrasi lurah di Padang masih terjangkit pungli.
Agraria
Substansi kedua yang paling banyak dilaporkan ke Ombudsman adalah agraria. Ini tidak aneh, catatan Ombudsman setiap tahun selalu begitu, layanan agraria atau pertanahan masuk tiga besar dalam laporan tahunan Ombudsman. Tahun ini, terdapat 30 substansi laporan yang berkaitan dengan agraria, 23 di antaranya terkait dengan layanan kantor pertanahan, kebanyakan terkait penundaan berlarut dalam penerbitan sertifikat yang telah dimohonkan oleh masyarakat.
Setelah masyarakat melengkapi berkas, tidak ada kepastian kapan sertifikat akan terbit, kapan pengukuran akan dilakukan. Kantor pertanahan kadang memberitahu, atau tidak mengembalikan berkas, jika misalnya persyaratan yang dimohonkan tidak lengkap. Padahal, salah satu prinsip atau asas pelayanan publik adalah kepastian. Pasti syarat, biaya, prosedur dan pasti lamanya waktu layanan.
Terkait masalah ini, dalam menyampaikan catatan tahun Ombudsman, Meilisa Fitri Harahap, selaku Kepala Keasistenan Pemeriksaan Ombudsman Sumbar menyebut, Kantor Pertanahan Kota Padang paling banyak dilaporkan, dan juga paling tidak kooperatif dalam pemeriksaan Ombudsman, sangat lama dalam merespons permintaan keterangan/dokumen yang dimintakan oleh Ombudsman dalam pemeriksaan.
Selain itu, substansi layanan pertanahan yang dilaporkan adalah mengenai penyelesaian sengketa tanah oleh nagari atau Kerapatan Adat Nagari (KAN). Nagari atau KAN sebagai pintu pertama dalam penyelesaian sengketa tanah di nagari, menolak untuk menyelesaikan, atau berlarut-larutnya penyelesaian, nagari atau KAN tak kunjung memberikan hasil/putusan penyelesaian. Jika tidak diselesaikan, sengketa dapat berubah menjadi konflik horizontal, pidana, ataupun sengketa perdata di pengadilan.
Pendidikan
Tahun ini, pengaduan publik mengenai pendidikan sebanyak 26 laporan, paling banyak seputar pendanaan pendidik. Dugaan pungutan liar (pungli) oleh komite atau permintaan dana oleh komite namun dikaitkan dengan layanan akademik berupa rapor atau ijazah. Masalah ini, memang masalah laten, salah satu yang menjadi alibi pemangku kepentingan di sekolah adalah, sekolah memerlukan pendanaan dari masyarakat, dana APBD atau BOS yang ada tidak cukup.
Sayangnya, secara regulasi pendanaan pendidikan oleh komite atau orang tua, hanya dibolehkan dalam bentuk sumbangan dan bantuan, bukan pungutan. Pasal 10 ayat 1 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah, memberikan tugas kepada komite sekolah untuk melakukan penggalangan dana pendidikan.
Namun, penggalangan dana dimaksud dibatasi, Pasal 10 ayat 2, menegaskan bahwa penggalangan dana hanya dibolehkan berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan. Pungutan dalam pengertian, dipaksa untuk membayar, dikaitkan dengan layanan administrasi akademik dan ditentukan jumlah serta waktu pembayarannya.
Aduan ini sekaligus juga menjadi isyarat bahwa, alokasi APBD yang selama ini dikatakan telah mencapai 20 persen lebih, alirannya sedikit sampai di sekolah/satuan pendidikan. Di sanalah berada guru/tenaga kependidikan, sarana dan siswa. Tiga faktor kunci kualitas pendidikan. Jangan-jangan, APBD 20 persen, lebih banyak digunakan untuk birokrasi pendidikan itu sendiri, hal ini perlu diteliti lebih jauh. Sementara, satuan pendidikan butuh dana, komite berinisiatif menggalang dana, namun bentuknya pungli.
Potret ini sangat penting dalam mengambil kebijakan di masa datang. Para kepala daerah dan Kepala Kanwil Pertanahan Sumatera Barat sebagai atasan terlapor, dapat menjadikan pijakan perbaikan penyelenggaraan publik. Hal ini, selaras dengan road map reformasi birokrasi, yang mengarah pada New Public Service (NPS). Salah satunya indikatornya adalah suara publik mesti didengar, pengaduan publik dijadikan basis dalam mengambil kebijakan perbaikan pelayanan publik.
Adel Wahidi
Asisten Perwakilan Ombudsman Provinsi Sumatra Barat