Potensi Konflik Akibat Pembangunan
Beberapa waktu lalu Perwakilan Ombudsman RI Kalimantan Selatan menerima laporan masyarakat terkait bangunan yang diduga tidak sesuai dengan IMB (Izin Mendirikan Bangunan), yang merujuk pada Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 15 Tahun 2012. Akibat pendirian bangunan yang tidak sesuai perjanjian tersebut, pelapor mengalami kerugian materiil, diantaranya kerusakan rumah akibat terendam banjir jika turun hujan. Hal tersebut terjadi karena pemilik IMB tidak melaksanakan perjanjian yang tertuang dalam dokumen IMB. Berdasarkan perjanjian yang dimaksud, terdapat 11 poin perjanjian khusus, satu diantaranya berbunyi, bahwa pemohon seharusnya bersedia membuat saluran pembuangan air hujan/drainase. Namun, fakta di lapangan menunjukkan saluran tersebut tidak pernah dibuat oleh pemilik IMB. Atas dasar hal tersebut, pelapor akhirnya melapor ke Ombudsman Kalsel karena merasa sangat dirugikan.
Jika kita lihat dalam Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 15 Tahun 2012 menjelaskan, bahwa sebelum mendirikan suatu bangunan/gedung, wajib memiliki IMB dari wali kota. Adapun dalam penerbitan dokumen IMB terdapat beberapa prosedur yang harus dipenuhi, salah satunya surat persetujuan tetangga untuk bangunan yang berhimpit dengan batas persil. Prosedur lain, sesuai pasal 14 angka 5 menyebutkan bahwa wali kota/pejabat dapat mencabut dan membekukan IMB apabila 1 (satu) tahun setelah berlakunya IMB, pemegang IMB belum melaksanakan pekerjaannya dan pembangunan menyimpang dari rencana dan syarat-syarat yang disahkan.
Berdasarkan keterangan pelapor, bahwa beberapa prosedur di atas diduga telah dilanggar oleh pihak pendiri bangunan. Diantaranya, pelapor merasa tidak pernah menyetujui pendirian bangunan yang diajukan pemegang IMB, fakta lain bahwa IMB pemilik terbit tahun 2016 akan tetapi baru memulai pembangunan di awal tahun 2021, hal tersebut tentu bertentangan dengan pasal 14 angka 5, serta masih terdapat beberapa persyaratan yang diduga dilanggar, tiga diantaranya adalah pembangunan yang tidak sesuai alas panggung, tidak adanya drainase dan keengganan pemegang IMB untuk melakukan ganti rugi kerusakan.
Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), pemerintah menghapus istilah Izin Mendirikan bangunan (IMB) sebagai salah satu syarat untuk mendirikan bangunan gedung. Istilah IMB digantikan dengan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Pemberlakuan UU Cipta Kerja ini dirasa mempermudah masyarakat dari segi waktu dan biaya karena tidak perlu mendapatkan IMB terlebih dahulu untuk mendirikan gedung/bangunan. Akan tetapi, berlakunya peraturan tersebut juga pastinya memiliki dampak negatif, diantaranya adalah lemahnya mekanisme pengawasan terhadap Rencana Detail Tata Ruang (RDTL) yang menyebabkan terjadinya banyak pelanggaran di lapangan. Dalam kaitannya dengan pelanggaran di lapangan tentunya akan berhubungan dengan kerugian yang akan dirasakan pihak lain, seperti kasus di atas.
Lantas apakah yang bisa dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini dinas terkait agar potensi konflik pembangunan tidak terulang?
Pembangunan bangunan/gedung harusnya sesuai dengan peraturan yang berlaku agar nantinya tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kaitannya dengan laporan kasus di atas, terjadi pada saat UU Cipta Kerja belum disahkan. Sehingga dalam melihat kasus ini, penulis berlandaskan Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 15 Tahun 2012 tentang Izin Mendirikan Bangunan yang sampai saat ini masih berlaku. Dalam Pasal 64 berbunyi "Dinas Tata Ruang, Cipta Karya dan Perumahan mempunyai kewenangan untuk memeriksa konstruksi bangunan yang dibangun/akan dibangun baik dalam rancangan bangunannya maupun pada masa pelaksanaan pembangunannya, terutama untuk ketahanan terhadap bahaya gempa". Lebih lanjut, dalam Pasal 19 menyatakan bahwa instansi yang membidangi bangunan berwenang untuk memeriksa apakah pelaksanaan pembangunan sudah dilakukan sesuai dengan syarat teknis yang tercantum dalam IMB. Jika merujuk pada peraturan tersebut, Pemerintah Daerah Kota Banjarmasin secara jelas telah menunjuk Dinas Tata Ruang, Cipta Karya dan Perumahan, dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Banjarmasin. Salah satu bentuk kewenanganya adalah memeriksa konstruksi bangunan dan memastikan apakah pemilik IMB sudah mematuhi syarat teknis yang tercantum dalam dokumen IMB.
Dalam kaitanya dengan laporan yang diterima oleh Ombudsman Kalsel, agar potensi konflik pembangunan dalam masyarakat tidak terulang kembali, maka dinas terkait harus bekerja sesuai dengan kewenanganya, yakni melakukan pengawasan terkait konstruksi bangunan dan memastikan bahwa bangunan yang dibangun sudah sesuai dengan persyaratan teknis. Sehingga, apabila terbukti di lapangan terjadi pelanggaran yang tidak sesuai dengan ketentuan yang tertera di IMB, maka Dinas PUPR dapat mengambil tindakan. Terlaksananya fungsi pengawasan inilah yang dapat meningkatkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, sehingga apabila benar-benar diperhatikan, potensi konflik akibat pembangunan di Kota Banjarmasin tidak terulang ke depanya.
Terdapat beberapa upaya pencegahan yang dapat dilakukan Dinas PUPR untuk mengurangi konflik masyarakat akibat pembangunan agar potensi konflik dalam masyarakat terkait pembangunan tidak terulang. Beberapa upaya tersebut diantaranya, pertama, memaksimalkan fungsi pengawasan. Jika dilihat dari Peraturan Pemerintah RI Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2022 tentang Bangunan Gedung menyebutkan bahwa pengawasan konstruksi dilakukan oleh pihak jasa dan manajemen kontruksi bangunan. Pengawasan dapat dilakukan secara berkala mulai dari tahap pengawasan perencanaan, persiapan konstruksi, tahap pelaksanaan konstruksi sampai pada tahap pemeliharaan pekerjaan konstruksi. Dalam peraturan tersebut walaupun pemerintah tidak turun secara langsung di lapangan, namun fungsi pengawasan sudah diatur mulai dari awal pembangunan sampai pada tahap pemeliharaan bangunan, sehingga yang perlu ditekankan lagi adalah implementasi/penerapan peraturan di lapangan. Sebagai pembuat kebijakan, peran pemerintah sangat dibutuhkan, dalam hal ini agar pihak pengawas dapat melakukan apa yang sudah menjadi tanggung jawabnya.
Kedua, memaksimalkan layanan pengaduan. Bentuk nyata dalam upaya ini adalah dengan menyediakan kanal-kanal pengaduan yang mudah diakses oleh masyarakat, adanya akses pelayanan yang mudah, akan sangat membantu Dinas PUPR dalam menjaring permasalahan-permasalahan yang terjadi di lapangan. Tentunya, memaksimalkan layanan pengaduan juga harus diimbangi dengan komitmen dalam menyelesaikan pengaduan masyarakat.
Ketiga, transparansi tindak lanjut. Upaya ini sangat diperlukan, dengan adanya akses keterbukaan kepada masyarakat akan menimbulkan rasa kepercayaan (trust) terhadap masyarakat. Sehingga ke depanya masyarakat dapat lebih mudah dalam meyampaikan aspirasinya.
Munculnya konflik akibat pembangunan di atas, disebabkan kurang maksimalnya pemerintah/dinas terkait dalam menegakkan peraturan yang berlaku. Diberlakukanya suatu aturan guna mengatur tatanan kehidupan agar tidak ada individu/golongan yang dirugikan. Dalam kaitan kasus di atas, seharusnya Dinas PUPR dapat melaksanakan kewenangan dan tindak lanjut, sehingga konflik akibat pembangunan di atas dapat diselesaikan dan tidak terulang kembali.
Lilik
Suryani, S. Psi
Calon Asisten Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Selatan