Petaka di Tanah Surga
"Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu, tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu, orang bilang tanah kita tanah surga tongkat kayu dan batu jadi tanaman'', kira-kira seperti itulah penggalan lirik lagu "kolam susu" yang seringkali kita dengar semasa kanak-kanak. Lagu tersebut diciptakan untuk menggambarkan betapa kayanya negara Indonesia. Letak Indonesia yang dilalui tiga lempeng tektonik, menjadikan tanah di negara kita sangat subur. Adanya aktivitas geologi di perut bumi Indonesia juga mendukung pembentukan mineralisasi berbagai mineral atau bahan galian berharga seperti logam, minyak, batubara sampai emas.
Berawal dari agenda pemeriksaan lapangan, yang dilakukan penulis di salah satu Kabupaten di Kalimantan Selatan. Penulis melewati salah satu jalan poros nasional yang keadaanya sangat memprihatinkan. Kondisi jalan berlumpur yang hanya bisa dilalui satu lajur kendaraan secara bergantian, ditambah dengan pemandangan kubangan besar daerah bekas tambang yang jaraknya tidak sampai 1 meter dari badan jalan, serta lintasan jalan yang sebelah dan kanan kiri seperti jurang. Bayangkan masyarakat sekitar yang setiap hari harus mengakses jalan tersebut, betapa tinggi risiko yang mungkin bisa menghadang mereka kapan saja. Berawal dari rasa keingintahuan, penulis berusaha untuk mencari informasi tentang daerah tersebut. Benar saja, dalam headline berita salah satu media cetak bertajuk "Persoalan Jalan dan Rumah Retak di Sekitar Area Pertambangan" dalam berita tersebut menjelaskan bahwa adanya persoalan rumah retak dan ruas jalan ambles di Desa tersebut, adanya kerusakan tersebut membuat warga bahkan tidak ingin menempati rumahnya, karena adanya ketakutan jika rumah tiba-tiba ambruk. Warga bahkan sampai turun ke jalan untuk menggalang dana, guna mencari biaya untuk menutup kerugian akibat kerusakan tersebut. Hal tersebut nyatanya tidak hanya terjadi di Kalimantan saja, tetapi terjadi juga pada daerah-daerah yang dekat dengan area pertambangan di Indonesia.
Pertambangan merupakan salah satu dari rangkaian pembangunan, pasalnya jumlah APBN negara dari sektor pertambangan sangatlah besar hingga mencapai 50 triliunan. Meski demikian sulit sekali untuk menggabungkan antara kesehatan lingkungan hidup dengan kegiatan pertambangan. Peristiwa diatas contohnya, menggambarkan bahwa kerap kali terjadi kerusakan lingkungan diakibatkan aktivitas tambang, secara spesifik penulis belum menemukan data yang menyebutkan kerusakan lingkungan akibat pertambangan, namun berdasarkan catatan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyebutkan lebih dari 700.000 hektare lahan rusak akibat pertambangan. Luasnya lahan yang mengalami kerusakan tersebut tentu akan berdampak pada kualitas lingkungan dan masyarakat sekitar.
Dalam Pasal 28H UUD 1945 menyatakan bahwa "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan". Guna menegaskan pentingnya keseimbangan pengelolaan sumber daya alam dan kepentingan manusia. Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan perundang-undangan ini dibentuk untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan, terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja disahkan sebagai penyempurna Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Dalam UU Cipta Kerja terdapat beberapa pasal baru yang ditambahkan dan penghapusan beberapa pasal yang dinilai belum dapat menjawab permasalahan aktual terkait permasalahan pertambangan di Indonesia. Namun demikian, UU Minerba terbaru bagi beberapa pihak justru dinilai tidak berpihak pada lingkungan hidup dan hanya menguntungkan bagi beberapa orang saja. Selain itu, negara juga tidak bisa menjamin seutuhnya tentang biaya pemulihan ekologi yang sudah terlanjur rusak dan menimbulkan degradasi lingkungan yang mengancam bukan hanya lingkungan tapi juga keberlangsungan masyarakat sekitar. Walaupun terdapat upaya untuk memperbaiki daerah kerusakan dan pencemaran, hal tersebut tentunya tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang dialami masyarakat, apalagi proses pemulihan daerah tambang membutuhkan waktu yang lama, bahkan mencapai puluhan tahun.
Namun demikian, kegiatan pertambangan tidak sepenuhnya dilarang, asalkan sesuai dengan kaidah-kaidah yang memperhatikan konservasi sumber daya alam (natural resource oriented). Sehingga hak-hak dasar masyarakat sekitar tambang untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih juga terpenuhi. Sejatinya manusia tidak akan pernah lepas dari lingkungan dan eksistensi manusia sangat bergantung pada lingkungan. Walaupun, seringkali terjadi gesekan antara perusahaan tambang dan masyarakat sekitar area pertambangan, disinilah peran pemerintah dibutuhkan yakni sebagai pembuat regulasi dan menjalankan fungsi pengawasan pada kegiatan pertambangan, sehingga masyarakat selaku penikmat lingkungan hidup mendapatkan kepastian hukum dalam memperjuangkan hak-hak dasarnya disamping kegiatan pembangunan berupa pertambanganpun masih tetap berlanjut.
Penulis
Calon Asisten Ombudsman Kalsel, Lilik Suryani