• ,
  • - +

Artikel

Pertimbangan Sosial Ekonomi dalam Revitalisai Pasar Rakyat
• Senin, 28/10/2024 •
 
Iman Dhani Ramdani (Asisten Ombudsman RI)

Pasar Rakyat/Tradisional tidak hanya dipandang sebagai pusat kegiatan ekonomi, namun juga sebagai pusat kegiatan sosial. Berdasarkan data profil pasar pada tahun 2020 yang disusun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setidaknya terdapat 16.235 sebaran pasar tradisional di Indonesia, dengan melibatkan sekitar 2,8 juta pedagang (data BPS tahun 2019). Pada tahun 2024 ini, kemungkinan terjadi fluktuasi dari segi jumlah, karena dipengaruhi kondisi dan dinamika di daerah. Namun demikian, data kuantitatif yang ada dapat menggambarkan bahwa Pasar Rakyat/Tradisional merupakan episentrum kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat yang tidak boleh diabaikan oleh pemerintah (pusat maupun daerah) khususnya dari segi pelayanan. Intervensi pemerintah tersebut, dapat dilihat dalam hal tata kelola Pasar Rakyat/Tradisional, apakah telah memenuhi harapan masyarakat dalam menciptakan ekosistem pasar yang baik atau belum?.

Dalam beberapa tahun terakhir, geliat transformasi pasar melalui revitalisasi atau relokasi banyak diinisiasi oleh pemerintah daerah (Kota/Kabupaten/Desa). Kondisi ini salah satunya dilatarbelakangi faktor daya saing dan peningkatan aspek kenyamanan. Sebagian pemerintah daerah bahkan tidak dapat menghindari adanya relokasi dan revitalisasi terhadap kawasan Pasar Rakyat/Tradisional yang sudah ada (existing), dikarenakan kebijakan optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui penertiban aset pemerintah daerah, pengembangan wilayah dan penyesuaian tata ruang (penyebab kemacetan/pembangunan infrastruktur baru) dan lain-lain.

Beberapa kasus pengaduan, mengindikasikan bahwa kebijakan relokasi/revitalisasi berpotensi menimbulkan benturan kepentingan antara pemerintah dengan para pedagang existing, dipicu adanya proses yang tidak simultan dari para stakeholders pasar dengan harapan/keinginan para pedagang, seperti pada aspek: pendataan pedagang yang tidak clear, mekanisme penertiban/penggusuran diluar Standar Operasional Prosedur (SOP), serah terima/penatausahaan kepemilikan aset yang tidak terdokumentasikan dengan baik dan lain-lain. Secara substantif kondisi tersebut tidak hanya bermuatan pengaduan, namun juga bermuatan kebijakan daerah yang membutuhkan wisdom sebagai bentuk Affirmative Action (diskriminasi positif) bagi para pedagang pasar yang terdampak serta memiliki kerentanan secara ekonomi, sehingga pertimbangan sosial dan ekonomi perlu dikedepankan untuk menangani permasalahan tersebut.

Berdasarkan pengalaman dalam penanganan pengaduan masyarakat, terdapat beberapa faktor kegagalan dalam pelayanan relokasi/revitalisasi Pasar Rakyat/Tradisional yang dikelola oleh pemerintah daerah. Pertama, sosialisasi yang tidak menyeluruh pada setiap tahapan relokasi/revitalisasi pasar. Pemerintah daerah atau stakeholders pasar bersama kelompok pedagang pasar, sering menemukan kebuntuan dalam menjembatani keinginan dan harapan masing-masing dikarenakan menggunakan pendekatan dan perspektif yang berbeda dalam menyelesaikan konflik pasar. Pada sisi pemerintah daerah misalnya, kegagalan negosiasi dengan para pedagang/kelompok pedagang pasar dimungkinkan terjadi karena pertimbangan ekonomi yang lebih dominan dibanding kepentingan sosial masyarakat, sehingga tingkat penerimaan para pedagang/kelompok pedagang pasar terhadap kebijakan relokasi/revitalisasi pasar menjadi alot.

Pertimbangan ekonomi yang digunakan oleh pemerintah daerah biasanya berkaitan dengan tingkat produktivitas penerimaan daerah, baik berupa investasi melalui kerjasama (dengan pihak swasta/BUMD/PD Pasar) dalam tata kelola pasar maupun optimalisasi PAD berdasarkan kajian tim percepatan ekonomi daerah melalui penertiban aset/kawasan ekonomi baru. Sementara itu, aspek sosial yang sering luput dari perhatian pemerintah daerah yaitu 1) memprioritaskan pedagang lama (exsisting) untuk menempati kios/loss/tempat berdagang pada pasar eks revitalisasi atau pasar baru yang dituju; 2) menciptakan eksosistem pasar ditempat baru (khusus relokasi) yang dapat menarik masyarakat, berdampak positif, dan dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat/warga. Jika aspek sosial tersebut dapat diperhatikan secara serius oleh pemerintah daerah, maka hal itu akan menjadi jaminan untuk memengaruhi para pedagang/kelompok pedagang pasar dalam mempercepat proses revitalisasi atau perpindahan bisnis para pedagang ke pasar tujuan relokasi.

Selanjutnya, faktor kegagalan yang Kedua seringkali dipengaruhi oleh pelaksanaan penertiban yang kurang soft kepada para pedagang/kelompok pedagang. Penertiban ini biasanya dilakukan kepada minoritas pedagang yang masih bertahan di pasar yang akan terkena relokasi atau revitalisasi. Penggunaan aparat ataupun alat berat dalam pelaksanaan penertiban tanpa didahului pengosongan oleh para pedagang/kelompok pedagang secara sukarela akan berpotensi menimbulkan gejolak di lapangan. Oleh karenanya, jaminan atau kepastian layanan yang bersifat fisik (sarana/prasarana) dan non fisik (aspek manajemen, ekonomi dan sosial) pada pasar yang akan direlokasi/direvitalisasi sangat penting disiapkan secara matang oleh pemerintah daerah, agar mata pencaharian utama para pedagang/kelompok pedagang dapat tetap berjalan pasca relokasi/revitalisasi. Hal tersebut penting untuk dipastikan oleh pemerintah daerah, agar proses penertiban tidak dilakukan secara parsial sehingga menimbulkan kecemburuan sosial bagi ekosistem pasar seperti terjadinya revitalisasi yang tidak merata dan relokasi yang tidak tuntas sehingga pemindahan pusat kegiatan ekonomi pasar tidak berjalan optimal.

Faktor kegagalan yang Ketiga diantaranya disebabkan oleh kurangnya Sinergitas Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang memiliki kewenangan dalam urusan pasar Rakyat/Tradisional. Dalam beberapa kasus, tidak sedikit pemerintah daerah yang belum memiliki satgas khusus yang menangani urusan pasar sehingga para OPD cenderung berjalan masing-masing, bahkan beberapa pasar terkesan "terlantar" dan dibiarkan berjalan sendiri tanpa adanya pembinaan, sehingga dikenal dengan status swadaya/swakelola padahal berdiri diatas aset pemerintah daerah yang terlantar. Kondisi tersebut dapat diperparah oleh para pedagang yang secara turun temurun menempati objek tersebut dan diperjualbelikan tanpa alas hak yang jelas sehingga menimbulkan kerugian materil bagi beberapa pihak yang terlibat. Oleh sebab itu, sinergitas antar OPD sangat penting karena proses relokasi/revitalisasi tidak dapat diselenggarakan oleh satu OPD saja, melainkan oleh beberapa OPD terkait.

Sebagai contoh, didalam penyiapan fisik pasar seperti sarana dan prasarana tentunya dibutuhkan peranan otoritas bidang Perindustrian dan Perdagangan, Bidang Aset Daerah (jika menggunakan aset daerah), Bidang Perencanaan dan Pembangunan Daerah, bagian Hukum dan Kerjasama pada Sekretariat Daerah (Jika pasar berbentuk kerjasama dengan swasta/BLUD/BUMD). Sementara itu dibidang non fisik dibutuhkan peran permodalan seperti Dinas Koperasi, Perbankan di daerah ataupun sertifikasi manajemen oleh otoritas berwenang. Terlebih, jika secara khusus proyek revitalisasi/relokasi tersebut berkerjasama dengan pihak Ketiga (Swasta, BLUD/BUMD) maka peran pemerintah daerah seharusnya tidak berhenti pada saat proses kerjasama ditandatangani, namun juga perlu memastikan bahwa masyarakat terdampak terfasilitasi dengan baik sesuai win-win solution yang telah dimusyawarahkan dengan para investor dan masyarakat.

Terlepas dari persoalan-persoalan yang timbul, secara regulasi pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan PP 29/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan yang menghapus Perpres No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Kemudian, secara operasional diperkuat melalui Permendag No. 23/2021 sebagaimana diubah oleh Permendag No. 18/2022 tentang pedoman pengembangan, penataan, dan pembinaan pusat perbelanjaan dan toko swalayan. Lebih teknis, pemerintah daerah biasanya memiliki peraturan daerah/bupati/walikota dalam operasionalisasi proses relokasi/revitalisasi pasar walaupun sebagian mungkin masih melakukan penyesuaian dengan PP dan Permendag dimaksud. PP No. 29/2021 dan Permendag No. 23/2021 atau No 18/2022 ini tidak terlalu merinci terkait relokasi/revitalisasi namun secara eksplisit memberikan gambaran mengenai kriteria, persyaratan, pendanaan, kerjasama dan kepemilikan. Melalui peraturan tersebut, pemerintah daerah juga memiliki elastisitas untuk mengatur urusan pasar melalui peraturan di daerah masing-masing.

Melalui kapabilitas daerah dalam membuat regulasi teknis tersendiri terkait urusan pasar berdasarkan acuan PP dan Permendag yang ada, penulis berpendapat bahwa kajian sosial dan kajian ekonomi dapat dipertimbangkan untuk masuk kedalam peraturan daerah yang dibuat sebagai salah satu unsur pendukung, agar setiap keputusan yang diambil didalam pelaksanaan relokasi/revitalisasi pasar tidak digantungkan kepada selera masing-masing pembuat keputusan, namun juga tersistem kedalam Standar Operasional Prosedur tata kelola pasar yang jelas, terukur dan terstandar. Peraturan teknis di daerah perlu menjamin adanya batasan hak dan kewajiban antara masyarakat dan pemerintah daerah agar segala permasalahan yang terjadi di lapangan memiliki acuan penyelesaian yang jelas sesuai dengan legal standing para pihak yang terlibat. Kebijaksanaan (wisdom) dari kepemimpinan kepala daerah akan turut mempengaruhi proses keberhasilan dan penyelesaian konflik dalam tercapainya cita-cita relokasi/revitaliasi yang sesungguhnya.

Iman Dhani Ramdani

Asisten Ombudsman RI





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...