Perpol Nomor 10 Tahun 2025 dan Masa Depan Pelayanan Publik

Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 belakangan ini menjadi sorotan luas dan ramai dibahas di media. Regulasi ini menuai polemik karena mengatur penugasan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk menduduki jabatan di luar struktur organisasi Polri pada sejumlah kementerian dan lembaga negara. Perdebatan yang muncul tidak hanya berkutat pada aspek legalitas dan hubungan antar lembaga, tetapi juga menyentuh isu yang lebih mendasar, yakni dampaknya terhadap tata kelola pemerintahan sipil serta kualitas pelayanan publik.
Ramainya perbincangan mengenai Perpol Nomor 10 Tahun 2025 menunjukkan adanya kegelisahan publik terhadap kemungkinan kaburnya batas antara fungsi aparat penegak hukum dan fungsi birokrasi sipil. Dalam negara hukum yang demokratis, pelayanan publik seharusnya diselenggarakan secara transparan, profesional, dan akuntabel dengan menempatkan masyarakat sebagai subjek utama pelayanan. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang berpotensi memengaruhi wajah pelayanan publik perlu dikaji secara kritis dari perspektif kepentingan warga negara.
Penulis yang merupakan masyarakat sipil memandang isu polemik Perpol Nomor 10 Tahun 2025 perlu untuk ditelaah lebih jauh dari sudut pandang transparansi dan profesionalisme pelayanan publik. Peraturan ini tidak dapat dilihat semata sebagai kebijakan internal Polri, melainkan sebagai bagian dari kebijakan publik yang berpotensi berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat.
Perpol Nomor 10 Tahun 2025 mengatur penugasan anggota Polri untuk menduduki jabatan di luar struktur organisasi pada sejumlah kementerian dan lembaga negara. Dari perspektif internal institusi, kebijakan ini kerap dipahami sebagai langkah strategis untuk memperkuat koordinasi lintas sektor dan memanfaatkan kompetensi sumber daya manusia di instansi Polri. Namun, dari sudut pandang pelayanan publik, penugasan tersebut menimbulkan pertanyaan serius mengenai batas peran aparat penegak hukum dalam ruang birokrasi sipil yang seharusnya bekerja secara transparan, netral, dan profesional.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menegaskan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik harus dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, profesionalitas, dan partisipasi masyarakat. Transparansi menjadi elemen kunci agar masyarakat dapat mengetahui siapa penyelenggara layanan, kewenangan yang dimilikinya, serta mekanisme pertanggungjawaban yang berlaku. Dalam konteks ini, kehadiran anggota Polri aktif dalam jabatan sipil berpotensi mengaburkan garis kewenangan dan status pejabat pelayanan, sehingga menyulitkan publik untuk menilai secara jernih proses dan tanggung jawab pelayanan yang diterima.
Penerapan Perpol 10 Tahun 2025 semakin berpolemik ketika dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menegaskan prinsip pemisahan peran antara aparat keamanan dan jabatan sipil. Putusan tersebut pada hakikatnya bertujuan menjaga supremasi sipil dan memastikan bahwa birokrasi pelayanan publik dijalankan oleh pejabat yang sepenuhnya tunduk pada sistem administrasi pemerintahan sipil. Dari perspektif profesionalisme pelayanan publik, putusan Mahkamah Konstitusi ini penting untuk mencegah terjadinya peran ganda yang dapat memengaruhi independensi dan objektivitas penyelenggara layanan.
Sejumlah ahli hukum tata negara menilai Perpol Nomor 10 Tahun 2025 bertentangan dengan penerapan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Mahfud MD misalnya, menyatakan bahwa penempatan anggota Polri aktif dalam jabatan sipil tanpa pengunduran diri atau pensiun dari dinas kepolisian berisiko melanggar prinsip negara hukum dan mereduksi tata kelola pemerintahan sipil. Dalam konteks pelayanan publik, pandangan ini menegaskan bahwa profesionalisme pelayanan menuntut aparatur yang bekerja dengan pendekatan administratif dan pelayanan, bukan dengan kultur komando yang melekat pada institusi keamanan.
Selain isu transparansi, Perpol 10 Tahun 2025 juga memunculkan persoalan akuntabilitas dan profesionalisme dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur bahwa setiap pejabat pemerintahan wajib bertindak sesuai asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), termasuk asas kepastian hukum, tidak menyalahgunakan kewenangan, dan keterbukaan. Ketika anggota Polri aktif menjalankan fungsi pelayanan publik di luar struktur kepolisian, timbul ketidakjelasan mengenai mekanisme pengawasan dan penegakan tanggung jawab administratif apabila terjadi maladministrasi. Kondisi ini berpotensi melemahkan profesionalisme pelayanan dan perlindungan hak masyarakat.
Dari sudut pandang kepercayaan publik, transparansi dan profesionalisme pelayanan merupakan faktor penentu legitimasi negara di mata masyarakat. Ketika publik memandang bahwa ruang pelayanan sipil diisi oleh aparat keamanan aktif tanpa batasan yang jelas dan penjelasan yang terbuka, persepsi independensi dan netralitas pelayanan publik dapat terganggu. Situasi ini berpotensi meningkatkan jumlah pengaduan masyarakat serta memperkuat persepsi negatif terhadap kualitas pelayanan publik.
Secara keseluruhan, memandang polemik Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 dari perspektif transparansi dan profesionalisme pelayanan publik menunjukkan bahwa isu utama bukan semata-mata kebutuhan organisasi Polri, melainkan bagaimana negara menjaga agar pelayanan publik tetap dikelola secara terbuka, profesional, dan akuntabel. Penugasan anggota Polri di luar struktur kepolisian harus disertai dengan batasan peran yang tegas, mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, serta keterbukaan informasi kepada publik.
Pada akhirnya, polemik Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 perlu dipandang secara proporsional dan berimbang dalam kerangka pelayanan publik. Peraturan ini mencerminkan adanya kebutuhan koordinasi dan penguatan kapasitas antarlembaga negara, namun pada saat yang sama memunculkan kekhawatiran publik terkait transparansi, profesionalisme, dan kejelasan peran dalam penyelenggaraan pelayanan.
Dari perspektif pelayanan publik, kunci persoalannya bukan semata pada siapa yang menduduki jabatan tertentu, melainkan pada bagaimana pelayanan tersebut dijalankan. Selama prinsip keterbukaan informasi, kepastian kewenangan, akuntabilitas administratif, dan profesionalisme aparatur dapat dijamin secara nyata, maka kualitas pelayanan publik tetap dapat dijaga. Sebaliknya, tanpa kejelasan batas peran dan mekanisme pertanggungjawaban, potensi masalah dalam pelayanan publik akan tetap terbuka, terlepas dari latar belakang institusi pejabat yang bersangkutan.
Oleh karena itu, Penulis memandang bahwa Perpol Nomor 10 Tahun 2025 sebaiknya dipahami sebagai kebijakan yang masih memerlukan pengaturan teknis dan penyelarasan lebih lanjut agar selaras dengan prinsip-prinsip pelayanan publik. Pendekatan yang hati-hati, terbuka, dan berbasis kepentingan masyarakat menjadi penting agar polemik ini tidak berlarut, sekaligus memastikan bahwa tujuan peningkatan kinerja pemerintahan tidak mengorbankan transparansi dan profesionalisme pelayanan publik.
Oleh: Dida Rizakti Kiswara
Asisten Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kepulauan Bangka Belitung








