Pernikahan Antarkaryawan Dilihat dari Kacamata Hukum
Dewasa ini, kita masih sering mendengar kekhawatiran untuk pasangan yang akan menikah ketika bekerja di kantor yang sama. Padahal tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit mengatur mengenai larangan suami istri bekerja di tempat yang sama. Di sisi lain, kepegawaian merupakan salah satu substansi pengawasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pegawai memiliki hak dan tanggung jawab dalam bekerja, salah satu haknya adalah memperoleh kepastian atau penjelasan terkait mutasi atau pemutusan hubungan kerja pegawai dengan alasan karena pegawai suami istri dalam satu kantor yang sama.
Aspek Hukum
Menilik lebih lanjut, pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja mempunyai ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya di dalam satu perusahaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan, "Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja Bersama (PKB)."
Akan tetapi, pada tahun 2017 Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 menyatakan bahwa frasa kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal tersebut menegaskan bahwa tidak boleh melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan ikatan perkawinan (suami istri). Oleh sebab itu pimpinan instansi/pengusaha dilarang memberlakukan larangan pernikahan antarsesama pekerja dalam suatu perusahaan. Apabila tertuang dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, maka hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan tidak berlaku.
Lebih lanjut pada putusan Mahkamah Kontitusi tersebut, dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa pertalian darah atau hubungan perkawinan adalah takdir yang tidak dapat direncanakan maupun dielakkan. Oleh karena itu, menjadikan sesuatu yang bersifat takdir sebagai syarat untuk mengesampingkan pemenuhan hak asasi manusia, dalam hal ini hak atas pekerjaan serta hak untuk membentuk keluarga, adalah tidak dapat diterima sebagai alasan yang sah secara konstitusional.
Mencintai Adalah HAM
Berbicara mengenai HAM, menurut penulis, mencintai adalah Hak Asasi Manusia. Mencintai merupakan perasaan yang tidak dapat dicegah karena berasal dari diri sendiri bahkan secara psikologis cinta dan kasih sayang merupakan salah satu kebutuhan yang sangat mendasar dalam hidup manusia. Pada konteks pekerjaan hal yang sama juga terjadi. Manusia secara psikologis, antara lain juga memiliki kebutuhan untuk diterima, diakui, artinya dalam kerjasama tim perasaan diterima sebagai tim, diakui keberadaannya dapat menunjang kerjasama dalam mencapai target yang ditetapkan. Sebaliknya berdasarkan sebuah penelitian, orang-orang yang mengumbar kebencian, termasuk di media sosial, cederung lebih depresif dan secara kepribadian lebih banyak mengalami kecemasan dan kebencian. Maka sudah seharusnya yang kita cegah adalah rasa saling benci bukan rasa saling mencintai/kasih sayang.
Di sisi lain pekerja yang dijamin haknya untuk memiliki ikatan perkawinan dalam satu instansi/perusahaan secara tidak langsung memiliki beban moril yang lebih, pekerja tersebut harus membuktikan tetap profesional dan tidak terlibat urusan perasaan atau nepotisme pada tindakan atau keputusan yang diambil dalam pekerjaan. Pada sisi lainnya diskriminasi atau kebijakan yang melibatkan ikatan perkawinan juga rawan terjadi, misalnya pelatihan cukup diberikan kepada salah seorang saja karena dianggap suami istri, maka salah seorang sudah mewakili. Keseimbangan ini merupakan tugas seorang pimpinan, maka peran pimpinan dalam mengontrol harmonisasi hubungan kerja juga menjadi faktor penting dalam memimpin suatu instansi atau perusahaan yang memiliki pegawai dalam ikatan perkawinan.
Menjaga Profesionalisme
Berbicara ikatan perkawinan tentu tidak lepas dengan kenyamaan saat bekerja. Berikut solusi yang penulis tawarkan bagi pegawai yang memiliki ikatan perkawinan dalam satu kantor. Pertama hindari kontak fisik, dalam rapat instansi hindari duduk dekat dengan pasangan anda ataupun memanggil dengan panggilan khas (sayang/cinta/ayah/bunda, dan sebagainya). Menunjukkan kontak fisik atau panggilan khas, dapat menyebabkan ketidaknyamanan rekan anda lainnya dan dipandang tidak dapat beradaptasi pada lingkungan kerja.
Kedua, membuat keputusan secara transparan. Jika anda satu tim dengan pasangan anda, maka jangan membuat keputusan dengan mengedepankan perasaan anda pada pasangan. Buatlah keputusan untuk kepentingan bersama dan lakukan transparansi, artinya keputusan tersebut berdasarkan pertimbangan kinerja dan kepentingan bersama.
Ketiga, memberi kepercayaan kepada pasangan anda. Artinya biarkan pasangan anda memiliki pergaulannya masing-masing di instansi bekerja, jangan menutup diri hanya berdua dengan pasangan anda, agar masing-masing dapat berkembang dan beradaptasi dengan baik.
Keempat, jangan bawa masalah keluarga ke instansi anda bekerja. Hal ini tentu sangat tidak professional jika anda bertengkar atau memutuskan kebijakan dengan membawa masalah pribadi anda di kantor, bekerjalah seperti biasa dan jangan tunjukkan di depan rekan-rekan anda.
Kelima, tunjukkan performa kinerja semaksimal mungkin, anda dan pasangan harus dapat menunjukkan ikatan perkawinan tidak menghalangi untuk berprestasi di lingkungan instansi. Justru jadikan motivasi antara anda dan pasangan agar dapat disiplin bekerja, memberikan hasil kerja maksimal dan menciptakan inovasi-inovasi baru bagi instansi tempat anda bekerja.
Akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa ikatan perkawinan tidak dapat menjadi penghalang seseorang untuk bekerja disuatu instansi atau perusahaan. Pegawai dengan ikatan perkawinan dengan pegawai lainnya memiliki hak dan tanggungjawab yang sama untuk membuktikan kemampuan diri dalam bekerja sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Pada akhirnya penilaian kinerja menjadi tolok ukur profesionalisme pegawai baik dari kedisiplinan kehadiran, performa kinerja dan inovasi-inovasi dalam menjalankan kinerja. Jika dewasa ini masih ditemukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan ikatan perkawinan masyarakat dapat melaporkan hal tersebut ke Ombudsman Republik Indonesia. Hak-hak pegawai memperoleh pelayanan publik dalam proses kepegawaian merupakan salah satu ruang lingkup pelayanan publik yang wajib diawasi.
Shintya Gugah Asih Theffidy, S.I.P., M.I.P.
Asisten Ombudsman RI