Perilaku Pelayanan Yang Menyenangkan
Ada beberapa laporan yang diterima Ombudsman Perwakilan Provinsi Kalsel di sepanjang tahun 2021 ini tentang perilaku pelaksana pelayanan publik. Perilaku tersebut terlihat antara lain dari perbuatan dan perkataan. Bentuk perbuatan yang dikeluhkan seperti tidak ramah, cemberut, dan tidak tersenyum. Sementara perkataan contohnya ucapan ketus dan tidak menyenangkan. Meskipun urusannya selesai, masyarakat merasa tidak nyaman dengan perilaku dimaksud bisa jadi oleh pejabat, pegawai atau petugas lainnya yang bekerja sebagai pelaksana pelayanan publik (yanlik).
Tulisan ini bermaksud menekankan betapa pentingnya perilaku yang baik dan menyenangkan dalam penyelenggaraan yanlik, terutama bagi pelaksana yanlik yang bertugas melayani atau berhubungan langsung dengan masyarakat, dengan melihat beberapa kemungkinan penyebab munculnya perilaku-perilaku yang tidak baik atau tidak menyenangkan di atas. Tulisan ini juga ingin menawarkan beberapa upaya yang dapat dilakukan penyelenggara untuk memperbaiki perilaku pelaksana dan meningkatkan kualitas layanannya.
Sesungguhnya Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik telah mengatur tentang perilaku pelaksana yanlik. Pada Pasal 34 ada 15 poin perilaku yang sifatnya wajib dipatuhi para pelaksana dalam menyelenggarakan yanlik, satu di antaranya adalah 'santun dan ramah'. Meskipun terkesan mudah untuk dituliskan atau diucapkan, pada praktiknya banyak pelaksana yang kesulitan dalam menampilkan perilaku yang diharapkan. Padahal sejak UU tersebut diundangkan dan berlaku mengikat, semua pelaksana yanlik harus mengetahui, memahami dan menjalankan keseluruhan perilaku yang diatur, termasuk poin kesantunan dan keramahan. Dalam hal norma ini sudah diketahui namun tindakan yang diambil berbeda, maka bisa dianggap sebagai suatu bentuk disonansi kognitif. Konsep yang dikenalkan oleh seorang ahli bernama Leon Festinger yang merujuk pada kondisi ketidakselarasan antara perilaku yang ditampilkan dengan nilai-nilai yang diyakini atau norma-norma yang berlaku mengikat.
Dalam perspektif Ombudsman, pelanggaran terhadap kewajiban berperilaku sebagaimana Pasal 34 UU 25/2009 berpotensi maladministrasi. Konteksnya terutama kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan yanlik. Bentuknya adalah 'tidak patut' atau perilaku tidak layak yang dilakukan oleh penyelenggara yanlik dalam memberikan layanan yang baik kepada masyarakat pengguna layanan. Tentu masyarakat ingin menikmati pelayanan yang baik dan menyenangkan. Sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ekspektasi ini wajar dan manusiawi. Mereka tidak hanya berharap memperoleh produk layanan (barang/jasa publik atau pelayanan administratif) secara mudah, cepat, dan jelas persyaratan, prosedur, biaya maupun waktunya, tetapi juga berharap mengalami perlakuan yang berkualitas dari para pelaksana yanlik. 5S: Senyum, Salam, Sapa, Sabar, Sopan. Ini penting, agar pengguna layanan mendapatkan kepuasan dan pemberi layanan meraih penilaian positif atas kinerja mereka.
Beragam faktor dimungkinkan menjadi penyebab munculnya perilaku yang tidak baik atau tidak menyenangkan. Pertama, faktor fisik − khususnya terkait dengan isu keselamatan dan kesehatan kerja. Pelaksana yanlik yang tidak berada dalam kondisi fisik prima berpotensi tidak mampu memberikan pelayanan 5S. Fisiknya bermasalah sebagai akibat dari kelelahan kerja (job burnout), menderita cedera atau terkena penyakit. Pelaksana dengan pekerjaan menumpuk atau beban tinggi (overload) dan sering lembur secara fisik akan mengalami kelelahan kerja, sehingga membawa pengaruh negatif terhadap kesehatannya. Sementara cedera atau penyakit akan mudah dialami pelaksana apabila aspek keselamatan dan kesehatan kerja tidak mendapat perhatian penting.
Kedua, faktor psikologis, berhubungan dengan kejiwaan. Sumbernya bisa mewujud dalam bentuk hilangnya motivasi dan timbulnya stres. Banyak pakar yang membahas motivasi, salah satunya adalah teori dua faktor dari Frederick Herzberg. Faktor satisfier atau motivator diperlukan untuk menumbuhkan motivasi yang kuat dalam menghasilkan kinerja yang baik, sementara faktor dissatisfier atau hygiene diperlukan dalam rangka mencegah munculnya ketidakpuasan kerja. Hal lainnya adalah stres. Stres bisa dimaknai sebagai respons individual terhadap stimulus eksternal atau kondisi lingkungan, khususnya lingkungan pekerjaan. Pelaksana yang tidak mampu mengelola stres dengan baik akan merasa tegang, takut, sedih, mudah marah, susah relaks dan tidak kooperatif.
Ketiga adalah faktor personal. Sifatnya pribadi dan kebanyakan di luar pekerjaan namun berpengaruh terhadap kualitas kerja. Contohnya, kehilangan orang yang dicintai, permasalahan rumah tangga, gaya hidup dan lingkungan pergaulan.
Berangkat dari ketiga faktor penyebab di atas, maka beberapa hal dapat ditawarkan sebagai solusi. Tidak ada obat yang betul-betul mujarab untuk semua kondisi. Semua perlu diramu, perlu waktu. Tapi memang penyelenggara yanlik harus melakukan aksi konkret agar perilaku tidak patut tidak didiamkan dan perilaku pelayanan 5S bisa dikedepankan.
Pertama, membangun nilai. Nilai merupakan hal yang sangat penting dan dianggap benar dalam suatu instansi atau lembaga, sehingga menjadi prinsip atau panduan yang dianut bersama. Menjadi perekat atas berbagai perbedaan yang ada. Untuk itu, perumusannya perlu melibatkan sumber daya di instansi atau lembaga tersebut baik unsur pejabat dan non pejabat maupun pimpinan hingga staf di level terbawah. Semua bekerja sama dan berdiskusi dalam waktu yang cukup untuk mengidentifikasi dan menyepakati nilai-nilai internal yang dapat mendukung dan selaras dengan tujuan, fungsi, tugas serta visi dan misi instansi/lembaga.
Kedua, memperkuat sistem. Sistem setidaknya mencakup regulasi dan aplikasi. Nilai, kebijakan maupun standar yanlik harus dituliskan dan diformalkan menjadi norma atau aturan yang berlaku mengikat dan wajib dipatuhi. Misalnya, Kode Etik dan Kode Perilaku, pedoman pemberian penghargaan dan sanksi, petunjuk teknis (juknis) pelayanan 5S serta cara berkomunikasi yang efektif. Dukungan teknologi tidak kalah penting. Pemanfaatan perangkat keras dan lunak secara optimal akan membantu penerapan aturan dengan lebih mudah dan cepat. Dengan demikian diyakini sistem berjalan baik dan mencapai sasaran yang diinginkan.
Ketiga, proses internalisasi yang berkelanjutan. Membangun perilaku bukan pekerjaan satu malam. Mengubah perilaku seringkali membutuhkan waktu yang sama dengan membentuknya. Maka, pelaksana yanlik harus mendengar, membaca dan memahami terlebih dulu esensi dari perilaku pelayanan yang diharapkan sehingga timbul kesadaran intrinsik untuk melaksanakan dan bahkan menyebarluaskannya. Inilah pentingnya proses pembelajaran di internal yang berlangsung secara terstruktur, terukur dan kontinu. Antara lain melalui sosialisasi dan diskusi terfokus. Faktor kepemimpinan juga berperan besar. Tidak hanya menyampaikan perintah dan arahan, tetapi memberikan teladan, dorongan dan pendampingan dalam proses yang sedang berjalan. Satu lagi, yaitu kehadiran agen atau duta perubahan sebagai contoh nyata dalam implementasi perilaku pelayanan 5S.
Keempat, melaksanakan kegiatan bimbingan (coaching) dan konseling (counselling). Keduanya berbeda. Coaching fokus pada mengajarkan, membimbing dan memberikan instruksi kepada pelaksana agar terampil dalam mengerjakan sesuatu. Sasarannya adalah peningkatan kemampuan teknis dan perbaikan kinerja di mana pembimbing diutamakan berasal dari internal, seperti atasan langsung, pejabat atau pegawai lain yang memiliki kompetensi relevan. Sedangkan counselling berupaya membantu pelaksana dalam mengatasi atau menanggulangi permasalahan yang dialaminya baik secara fisik, psikologis atau personal namun berpengaruh terhadap kinerjanya di masa lalu maupun saat ini. Sasarannya adalah perubahan perilaku atas dasar kesadaran dari yang sebelumnya menghambat atau menimbulkan masalah beranjak ke perilaku yang baik dan sesuai dengan kebutuhan pekerjaan. Konselor sebaiknya dari pihak eksternal sebagai tenaga ahli/profesional yang mempunyai kompetensi, pendidikan dan pengalaman yang memadai, khususnya dalam membantu pelaksana untuk menemukan solusi atas permasalahannya.
Kelima, melakukan evaluasi jabatan. Dalam hal terjadi pengabaian terhadap signifikansi penerapan perilaku pelayanan 5S, maka pimpinan perlu segera mengambil tindakan. Apalagi kalau hal itu merupakan keluhan berulang oleh pengguna yanlik atau temuan Ombudsman. Yang cepat adalah mutasi atau peralihan jabatan yang tidak terkait pelayanan. Sifatnya sementara atau tetap - tergantung dari faktor penyebabnya. Berikutnya adalah evaluasi yang lebih menyeluruh supaya dihasilkan penempatan yang pas dengan kondisi yang bersangkutan maupun kebutuhan instansi/lembaga.
Jadi, perilaku pelayanan 5S bukanlah utopia. Ini merupakan ekspektasi masyarakat yang wajar dan kekinian. Penyelenggara sangat mungkin mewujudkannya sepanjang berupaya keras mencegah potensi maladministrasi berupa perilaku tidak patut atau tidak layak oleh pelaksana yanlik serta berkomitmen kuat membangun perilaku yang baik dan yanlik yang menyenangkan dengan menjalankan berbagai alternatif solusi sebagaimana ditawarkan di atas.
Akhirnya, sebagai penutup...
"Tersenyumlah kepada dunia
Hadirkan bahagia bagi semesta
Sungguh tugas manusia bawa pelita
Agar hidup penuh dengan makna"
Hadi Rahman, S.I.P., MPA (Mgmt)