Peran Partisipasi Masyarakat
Setiap kebijakan publik yang berdampak pada masyarakat, harus melibatkan masyarakat dalam penentuan kebijakan itu. Kebijakan minus partisipasi masyarakat, merupakan kebijakan yang melanggar hak-hak warga negara untuk didengar pendapatnya. Partisipasi masyarakat dalam dalam penyelenggaraan pelayanan publik, mutlak dilakukan. Sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik yang efektif, partisipatif, berkeadilan dan akuntabel.
Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, menjelaskan bahwa Partisipasi Masyarakat (Parmas) adalah peran serta warga masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, pemikiran, dan kepentingannya dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Bahkan diatur dalam Bab tersediri tentang Partisipasi Masyarakat. Hal ini menegaskan bahwa masyarakat berhak untuk dilibatkan dalam setiap pengambilan kebijakan publik yang mengatur dan membenahi masyarakat. Hak tersebut mulai dari tahap perancangan, penerapan hingga evaluasinya.
Parmas dalam Pelayanan Publik
Parmas dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 354 UU Pemda, dalam dilakukan dalam bentuk konsultasi publik, musyawarah, kemitraan, penyampaian aspirasi atau aduan, pengawasan dan keterlibatan lainnya.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, mewajibkan penyelenggara untuk menyusun dan menetapkan standar pelayanan dengan memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat, dan kondisi lingkungan. Dalam menyusun dan menetapkan standar pelayanan tersebut, penyelenggara wajib mengikutsertakan masyarakat dan pihak terkait, seperti pengguna layanan yang terlibat langsung atau tidak langsung, tokoh masyarakat, akademisi, dunia usaha, organisasi profesi, hingga lembaga swadaya Masyarakat.
Pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik tersebut, mulai dari tahap penyusunan kebijakan Pelayanan Publik, penyusunan Standar Pelayanan, pengawasan dan evaluasi serta pemberian penghargaan.
Pertama, pelibatan masyarakat dalam penyusunan standar pelayanan. Saat ini, masih sedikit penyelenggara pelayanan publik melibatkan masyarakat dalam penyusunan standar pelayanan. Standar pelayanan biasanya sudah ditetapkan oleh penyelenggara. Sejatinya, standar pelayanan tadi sebelum dioperasionalkan, hendaknya dibahas terlebih dahulu untuk meminta masukan dan tanggapan dari masyarakat. Bentuknya masih berupa rancangan standar pelayanan. Kemudian penyelenggara mengundang masyarakat dalam forum diskusi publik atau diskusi kelompok terarah, untuk meminta masukan dari masyarakat. Kemudian baru standar pelayanan tadi ditetapkan dan dipublikasikan secara luas. Dengan adanya pelibatan masyarakat dalam menyusun standar pelayanan, maka bisa diseleraskan antara harapan masyarakat dengan kemampuan penyelengara pelayanan, baik dari sisi SDM, sarana prasarana hingga pendanaan.
Reward dan punihsmentperlu dijadikan sarana untuk memacu agar penyelenggara melibatkan masyarakat dalam pelayanan publik. Pasal 54 ayat (7) Undang-Undang tentang Pelayanan Publik, telah mengatur sanksi yang tegas bagi Penyelenggara atau Pelaksana, yang tidak mengikutsertakan masyarakat dalam menyusun standar pelayanan, dikenai sanksi pembebasan dari jabatan. Sanksi ini cukup berat. Tinggal bagaimana implementasinya.
Kedua, pelibatan masyarakat dalam pengawasan. Masyarakat sebagai pengawas eksternal penyelenggaraan pelayanan publik, dapat menyampaikan laporan atau pengaduan terkait penyelenggara pelayanan yang melanggar standar layanan yang sudah ditetapkan. Selama ini, ada paradigma yang salah dari beberapa penyelenggara. Mereka menganggap laporan dari masyarakat sebagai tindakan yang mencoreng wajah instansinya. Masyarakat dianggap tidak sabar. Terlalu kritis. Tidak kooperatif, terlalu berlebihan dalam menyikapi masalah. Paradigma inilah yang perlu diluruskan.
Pengaduan atau aspirasi masyarakat merupakan sarana untuk melakukan perbaikan. Masyarakat tersebut sedang menjalankan haknya sebagai pengawas pelayanan. Kita tidak akan bisa melakukan perbaikan, kalau tidak ada kritik dari masyarakat. Hanya tamulah yang bisa menilai, apakah makanan yang kita sajikan enak atau tidak. Seperti itulah analogi laporan masyarakat.
Begitu juga ketika masyarakat melapor ke Ombudsman RI, karena tidak mendapatkan pelayanan atau mendapati maladminstrasi. Masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Pengaduan dari masyarakat semestinya dimaknai sebagai bahan introspeksi untuk melakukan perbaikan. Selama ini, belum ada kepala daerah yang menjadikan data laporan masyarakat di Ombudsman RI sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas layanan. Semestinya, statistik data laporan tadi, bisa dijadikan sebagai bahan untuk penyusunan anggaran, maupun pengambilan kebijakan di masa mendatang.
Ketiga, masyarakat juga dapat terlibat dalam pemberian penghargaan secara swadaya kepada Penyelenggara atau Pelaksana pelayanan yang memiliki kinerja baik. Pemberian penghargaan ini telah dilakukan oleh beberapa LSM yang memiliki perhatian terhadap pelayanan publik.
Memberikan ruang partsipasi yang luas kepada masyarakat sebagai jawaban bagaimana membangun sistem penyelenggaraan Pelayanan Publik yang adil, transparan, dan akuntabel. Tanpa masukan dari masyarakat, kita tidak akan tahu sebaik apa pelayanan yang sudah kita berikan selama ini.
Penulis :
Sopian Hadi, S.H., M.H, Kepala Keasistenan Pemeriksaan Laporan Ombudsman RI Kalsel