Penguatan LAHP Tindakan Korektif Ombudsman
Ombudsman Republik Indonesia merupakan lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Selanjutnya, Ombudsman Republik Indonesia memiliki perwakilan pada seluruh provinsi di Indonesia, salah satunya Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Jambi.
Adapun Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Jambi menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan peraturan berlaku, termasuk menyusun Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Tindakan Korektif. LAHP Tindakan Korektif pada dasarnya merupakan hasil dari serangkaian proses pemeriksaan untuk perbaikan yang wajib dilaksanakan oleh terlapor. Tindakan korektif memiliki tujuan dalam aspek dampak maupun tujuan untuk mencegah terjadinya kembali tindakan maladministrasi.
Pada tahun 2022,Ombudsman Jambi telah mengeluarkan tiga LAHP Tindakan Korektif, dengan rincian satu LAHP Tindakan Korektif terkait penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) di Kabupaten Bungo, dan dua LAHP Tindakan Korektif terkait pungutan di Sekolah Menengah Atas. Pada dua LAHP Tindakan Korektif terkait pungutan di Sekolah Menengah Atas saat ini sudah dalam proses penyelesaian oleh terlapor dan atasan terlapor. Sedangkan satu LAHP Tindakan Korektif terkait penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) tidak dijalankan oleh Terlapor maupun atasan terlapor, yaitu Bupati Bungo.
Menilik LAHP Tindakan Korektif yang tidak dijalankan tersebut harus menjadi perhatian, terkait kekuatan LAHP Tindakan Korektif oleh Ombudsman di Kantor Perwakilan. Padahal, fungsi pengawasan sangat diperlukan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik. Menurut (Glorista, 2016) bahwa good governance merupakan akumulasi dari kehendak yang kuat (political will) pemerintah yang berpegang teguh pada peraturan yang berlaku termasuk kerelaan untuk diawasi dan dikritisi serta menerima saran dari seluruh pihak, baik internal maupun eksternal dalam mewujudkan pemerintahan yang baik.
Terkait hal tersebut, semestinya penyelenggara pelayanan publik harus memahami bahwa sebagai pelayan publik harus menerima kritik termasuk dari masyarakat. Dikarenakan pemahaman penyelenggara pelayanan publik pada kritik masyarakat yang masih minim, sesungguhnya warga negara membutuhkan pemerintah maupun lembaga negara yang independen, berintegritas, dan tangguh dalam melaksanakan fungsi pengawasan pada pelayanan publik.
Adapun lembaga negara yang sesungguhnya dapat mengawasi pelayanan publik adalah Ombudsman RI. Hadirnya Ombudsman sesungguhnya dapat menjadi lembaga yang melindungi hak-hak masyarakat agar penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik tidak melakukan hal-hal yang menyimpang demi mewujudkan asas-asas pemerintahan yang baik. Dalam hal ini adalah meminimalkan tindakan maladministrasi.
Pada dasarnya, maladministrasi adalah sikap yang tidak dibatasi oleh konteks administrasi saja. Maladministrasi dapat menyebabkan munculnya pemerintahan yang tidak efisien, tidak transparan, dan menyimpang dari prosedur. Oleh karena itu, sesungguhnya pengaruh Ombudsman sangatlah besar. Selain itu, para penyelenggara pelayanan publik tidak memiliki alasan untuk mangkir dalam LAHP Tindakan Korektif. Terlebih, pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, bahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menjelaskan kewenangan Ombudsman yang kuat.
Apabila dikaji secara mendalam, pada Pasal 351 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yang tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman dapat diberikan pembinaan khusus oleh Kementerian Dalam Negeri. Bahkan pada Pasal 352 ayat (4) dijelaskan bahwa para penyelenggara dapat dievaluasi dan hasilnya dapat mempengaruhi insentif dan disinsentif fiskal dan/atau non-fiskal kepada daerah. Oleh sebab itu, satu LAHP Tindakan Korektif yang tidak dijalankan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo perlu menjadi perhatian. Selain itu, perlu adanya penguatan kembali terkait hadirnya Ombudsman sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik.
Adapun saran yang dapat diberikan bagi penguatan lembaga Ombudsman sekaligus LAHP Tindakan Korektif bagi Kantor Perwakilan adalah sebagai berikut, pertama, perlunya disegerakan penerbitan Peraturan Ajudikasi Khusus yang dapat diterapkan oleh Ombudsman RI maupun kantor perwakilan. Apabila dikaji melalui Pasal 50 ayat (6) bahwa sebenarnya ajudikasi khusus dapat dilaksanakan paling lambat lima tahun sejak Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik diundangkan. Seharusnya, pada tahun 2014 Peraturan Ajudikasi Khusus dapat diterbitkan, namun faktanya sampai tahun 2022 peraturan tersebut belum kunjung diterbitkan.
Kedua, perlunya perubahan regulasi untuk menguatkan tugas dan fungsi Ombudsman sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik. Apabila ditilik pada penjelasan sebelumnya bahwa pada dasarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur terkait sanksi bagi penyelenggara pelayanan publik yang tidak menaati rekomendasi maupun produk Ombudsman, dalam hal ini LAHP Tindakan Korektif. Namun, belum ada secara tertulis terkait sanksi tersebut pada Peraturan Ombudsman, sehingga Ombudsman tidak memiliki kewenangan secara langsung dalam mengeksekusi penyelenggara pelayanan publik yang mangkir pada LAHP Tindakan Korektif dan rekomendasi Ombudsman.
Maya Septiani, Asisten Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Jambi