Pengelolaan Pengaduan Layanan Publik
Tidak semua ingin komplain apabila mendapatkan pelayanan yang tidak baik dari penyelenggara pelayanan publik. Memang merasa jengkel, namun terkadang apabila mengadukan oknum yang melakukan "Maladministrasi" tersebut, publik merasa khawatir, apabila laporannya berimbas terbalik, justru akan merugikannya. Atau bersikap apatis. Artinya apabila mengadu boleh jadi nantinya responsnya biasa-biasa saja, terlalu muluk-muluk, bila berharap ada perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan atas kritikan yang disampaikan.
Atau boleh jadi masyarakat bingung ke mana menyampaikan pengaduan, bagaimana cara menyampaikannya. Biasanya, paling umum ada tersedia kotak saran, terletak di sudut ruangan, namun berdebu, tidak tersedia kertas dan alat tulis untuk menuliskan saran. Pernah saat penulis ingin melihat isi kotak saran, petugas bingung karena kunci kotaknya tidak tahu ada di mana dan dipegang oleh siapa.
Padahal, harusnya pengelolaan pengaduan pada instansi penyelenggara pelayanan publik, selain wajib menyediakan sarana pengaduan, baik melalui nomor kontak pengaduan dan lainnya yang mudah diakses publik, juga mesti memampang informasi prosedur penyampaian pengaduan di ruang pelayanan, agar masyarakat sebagai pengguna layanan mengetahui alur/mekanisme dan kepastian jangka waktu penyelesaian aduan yang akan disampaikannya. Selain itu, penyelenggara juga wajib menunjuk petugas khusus, sebagai pengelola pengaduan, agar apabila ada masyarakat yang ingin menyampaikan kritik masukan atau pengaduan, petugas front office tidak "tunjuk-tunjukan" siapa yang menghadapi publik. Sebagaimana inti dalam Pasal 36 Ayat (4) Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayananan Publik.
Kembali menyoal terkait respons komplain. Secara jelas telah diatur, bahwa ada kewajiban bagi penyelenggara pelayanan publik, untuk menerima dan merespons pengaduan yang disampaikan oleh publik atas pelayanan yang diberikan. Serta dalam melaksanakan pemeriksaan materi pengaduan, penyelenggara pelayanan termasuk pengelola pengaduan, wajib berpedoman pada prinsip independen, tidak boleh bersikap memihak, diskriminasi, apalagi memungut biaya. Hal-hal tersebut, diatur dalam Pasal 48 UU Pelayanan Publik.
Namun saat ini, masih banyak penyelenggara pelayanan publik abai akan kewajiban tersebut. Kotak saran tersedia hanya sebagai formalitas, pelengkap sarana pelayanan bukan menjadi alat ukur perbaikan pelayanan. Tidak ada petugas pengelola pengaduan yang khusus ditunjuk untuk menangani pengaduan. Hasilnya, banyak pengaduan masyarakat tidak sampai "terdengar" ke pimpinan instansi, karena petugas yang ada hanya sebagai pendengar keluhan publik, bukan fokus sebagai pencari solusi.
Ketidakpastian tindak lanjut dari aduan yang disampaikan publik sebagai pengguna layanan, menjadikan publik ragu untuk menyampaikan saran/kritikan apalagi pengaduan. Hasilnya lagi, kepercayaan publik kepada pemerintah selaku penyelenggara pelayanan publik, menjadi menurun. Di sisi internal instansi, penyelenggara akan stagnan dengan pola pelayanan yang ada, enggan berinovasi memberikan pelayanan terbaik kepada publik, karena merasa tidak ada masalah selama ini dalam memberikan pelayanan. Pelayanan tetap berbelit-belit, ditambah sikap layanan petugas yang ketus. Abainya penyelenggara pelayanan atas kewajibannya menyediakan sarana pengelolaan pengaduan yang baik, "alergi" terhadap kritik dan masukan publik yang membangun, adalah cerminan budaya-budaya minta dilayani tidak sadar akan fungsinya sebagai pelayan publik.
Di sisi publik selaku pengguna layanan, sepatutnya mengetahui akan haknya, untuk menyampaikan pengaduan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak mengakses pelayanan, dan mendapat tanggapan dari penyelenggara paling lambat 14 (empat belas) hari. Bahkan publik yang dirugikan boleh untuk memasukkan tuntutan ganti rugi, apabila tindakan penyelenggara merugikannya baik secara materil maupun immateril. Sebagaimana inti dari Pasal 42 dan 44 UU Pelayanan Publik.
Kewajiban dalam membangun sistem pengelolaan pengaduan yang baik, perlu dilihat sebagai sisi korektif yang baik untuk memperbaiki pelayanan oleh instansi layanan publik, tidak hanya sebagai pemenuhan kewajiban perundang-undangan, atau mengindari temuan pengawasan dari Ombudsman RI. Adanya kritik, saran masukan, bahkan pengaduan dari publik, artinya masyarakat peduli dan ingin terlibat berperan untuk membenahi kualitas pelayanan agar dapat berjalan lebih baik.
Terakhir, hal-hal tersebut di atas, kembali lagi menjadi komitmen dari pimpinan daerah maupun pimpinan instansi penyelenggara pelayanan publik, untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik menjadi lebih baik. Mendorong kepada instansi penyelenggara pelayanan publik yang dipimpinnya, untuk menciptakan dan memberikan pelayanan publik yang transparan kepada seluruh masyarakat/pengguna layanan. Artinya berani terbuka untuk bisa diawasi publik, serta memberi solusi dan menaruh perhatian atas kritik dan pengaduan publik. Karena tidak mungkin penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan baik, dan program pemerintahan dapat terlaksana maksimal, tanpa adanya kepercayaan dari masyarakat/publik, yang dipersilahkan untuk dapat mengambil peran.
Benny Sanjaya, S.H., M.H.
Kepala Keasistenan PVL Perwakilan Ombudsman Kalsel