• ,
  • - +

Artikel

Pengawasan Ombudsman Melalui Mekanisme Investigasi Atas Prakarsa Sendiri
• Selasa, 02/12/2025 •
 
Dida Rizakti Kiswara (Asisten Pratama, Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung)

Ombudsman Republik Indonesia adalah lembaga yang hadir untuk memastikan masyarakat mendapatkan pelayanan publik yang layak. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat sering berhadapan dengan berbagai jenis layanan publik mulai dari pengurusan administrasi kependudukan, layanan pendidikan, kesehatan, hingga urusan pertanahan. Tidak jarang, proses pelayanan ini menimbulkan persoalan, seperti lambatnya penanganan, prosedur yang tidak jelas, atau bahkan tindakan yang merugikan warga. Dalam situasi seperti inilah Ombudsman mengambil peran sebagai tempat masyarakat menyampaikan keluhan dan mencari penyelesaian. Keberadaan lembaga ini menjadi penting karena memberi ruang bagi warga negara untuk mengawasi jalannya pelayanan publik secara lebih mudah dan terstruktur.

Untuk memahami posisi strategis Ombudsman dalam sistem pemerintahan Indonesia, penting untuk merujuk regulasi yang menjadi dasar kedudukannya. Ombudsman adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia ini menegaskan bahwa Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat independen dan bebas dari campur tangan kekuasaan manapun, termasuk pemerintah. Kedudukannya sebagai lembaga negara independen memperkuat peran pengawasan karena Ombudsman tidak berada di bawah kementerian atau lembaga eksekutif tertentu, sehingga dapat menjalankan fungsi secara objektif.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia memberikan dasar hukum yang kuat bagi Ombudsman untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk instansi pusat, daerah, BUMN, BUMD, serta badan swasta yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik. Regulasi ini juga menegaskan bahwa Ombudsman memiliki wewenang menerima laporan masyarakat, melakukan pemeriksaan, memanggil pihak terkait, meminta dokumen, hingga memberikan rekomendasi. Rekomendasi Ombudsman bersifat mengikat secara moral dan administratif, dan penyelenggara wajib menindaklanjutinya.

Pengaturan pengawasan pelayanan publik tidak hanya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman tetapi juga dikuatkan oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam Undang-Undang ini, Ombudsman diberikan peran sebagai pengawas eksternal penyelenggaraan pelayanan publik. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Pelayanan Publik menegaskan bahwa Ombudsman berfungsi melakukan pengawasan terhadap kepatuhan penyelenggara pelayanan terhadap standar pelayanan, sistem pengelolaan pengaduan, dan pencegahan maladministrasi. Dengan dua payung hukum tersebut, dapat disimpulkan bahwa posisi Ombudsman sebagai pengawas pelayanan publik memiliki landasan yang kokoh dan jelas dalam struktur pemerintahan.

Selain menerima laporan, Ombudsman memiliki fungsi pengawasan aktif yang memungkinkan investigasi dilakukan meskipun tidak ada pengaduan masyarakat. Kewenangan ini dikenal dengan istilah Investigasi Atas Prakarsa Sendiri (IAPS). Mekanisme ini dimuat dalam Pasal 7 huruf d Undang-Undang 37 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa Ombudsman dapat melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Di tingkat pelaksanaan, kewenangan IAPS diatur lebih teknis dalam Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2019 Tata Cara Investigasi atas Prakarsa Sendiri. Regulasi ini menjelaskan bagaimana IAPS diinisiasi, kriteria pemilihan isu, tahapan investigasi, hingga penyusunan laporan akhir dan penerbitan rekomendasi.

IAPS merupakan mekanisme penting karena memungkinkan Ombudsman merespons fenomena atau kondisi tertentu yang berpotensi merugikan publik secara luas. Misalnya, pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, pertanahan, administrasi kependudukan, dan layanan publik lainnya yang sering kali menjadi isu yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dalam beberapa kasus, masyarakat enggan melapor karena pelayanan yang buruk dianggap sebagai hal biasa, atau karena takut intimidasi dari pihak tertentu hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kusuma (2021) yang menjelaskan bahwa masih banyak masyarakat yang enggan atau takut melapor meskipun mengalami maladministrasi. Sehingga tidak adanya laporan masyarakat terkait maladministrasi tidak serta merta menjadi indikator tidak ada maladministrasi. Melalui IAPS, Ombudsman dapat turun langsung ke lapangan, melakukan penilaian terhadap standar pelayanan, meminta keterangan dari instansi terkait, dan menganalisis dokumen-dokumen penting untuk memastikan ada tidaknya dugaan maladministrasi.

IAPS biasanya dipicu oleh beberapa indikasi, seperti pemberitaan media yang mengangkat masalah pelayanan publik, temuan internal Ombudsman, pemetaan risiko, laporan yang sifatnya massif, atau isu tertentu yang dinilai dapat berdampak sistemik. Ombudsman kemudian menentukan apakah isu tersebut memenuhi kriteria sebagai objek IAPS, seperti urgensi, potensi kerugian publik, dan relevansi dengan kewenangan Ombudsman. Setelah itu, Ombudsman membentuk tim investigasi khusus yang bekerja melakukan pengumpulan data, wawancara, verifikasi fakta, dan analisis hukum. Hasil investigasi ini selanjutnya dituangkan dalam laporan akhir yang memuat temuan, analisis, kesimpulan, dan rekomendasi.

Rekomendasi yang dihasilkan melalui IAPS memiliki kekuatan yang sama dengan rekomendasi hasil pemeriksaan laporan masyarakat. Instansi penyelenggara wajib menindaklanjuti rekomendasi tersebut dalam jangka waktu tertentu dan melaporkan progresnya kepada Ombudsman. Jika penyelenggara tidak menindaklanjuti, Ombudsman dapat menyampaikan laporan kepada lembaga legislatif, Presiden, atau publik sebagai bentuk naming and shaming. Tingley dan Tomz (2021) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa metode 'naming and shaming' dengan publikasi hasil temuan dapat berfungsi sebagai tekanan moral dan administratif yang efektif untuk meningkatkan kepatuhan dan perbaikan layanan publik.

Peran IAPS memberi gambaran bahwa Ombudsman tidak bersifat pasif. Selain menunggu laporan masyarakat, Ombudsman dapat bergerak cepat merespons potensi maladministrasi, melakukan evaluasi kebijakan publik, dan memperkuat sistem pelayanan publik melalui pendekatan investigatif. Kewenangan ini tidak dimiliki oleh banyak lembaga pengawas lain, sehingga menjadikan Ombudsman lebih adaptif dalam merespons dinamika pelayanan publik yang selalu berkembang.

Sebagai penutup, keberadaan Ombudsman Republik Indonesia sebagai pengawas pelayanan publik merupakan bagian penting dari upaya meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan. Melalui kewenangan IAPS, Ombudsman dapat bertindak proaktif mengidentifikasi dan menindaklanjuti persoalan pelayanan publik tanpa bergantung pada laporan masyarakat. Mekanisme ini memperkaya instrumen pengawasan eksternal dan memastikan bahwa perbaikan pelayanan publik berjalan secara berkelanjutan. Di tengah meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang transparan, akuntabel, dan bebas dari maladministrasi, peran Ombudsman terkhususnya melalui IAPS menjadi krusial untuk menjaga kepercayaan publik dan memastikan bahwa hak-hak warga negara dalam memperoleh pelayanan yang baik tetap terjamin.

Oleh: Dida Rizakti Kiswara (Asisten  Pratama, Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung) 


Daftar Pustaka:

Kusuma, D. A. dan F. A. (2021). Peran Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sumatera Barat dalam Pencegahan Maladministrasi Pelayanan Publik di Kota Padang. Journal of Social and Economics Research, 3(1), 21-29.

Tingley, D., & Tomz, M. (2022). The Effects of Naming and Shaming on Public Support for Compliance with International Agreements: An Experimental Analysis of the Paris Agreement. International Organization, 76(2), 445-468.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...