Pengaduan Bukan Nyinyir
Perlu dilakukan dikotomi antara sikap nyinyir dengan pengaduan, perilaku nyinyir bertendensi menyerang harga diri seorang petugas pelaksana pelayanan publik, yang salah satunya dapat ditandai dari tindakan itu dilakukan tidak sesuai mekanisme atau sarana yang telah disediakan, dan kontennya bukan berupa spekulasi melainkan berbentuk penggiringan opini.
Ini jelas berbeda dengan pengaduan, yang mana konten pengaduan bersifat spekulatif (dugaan), esensi yang disampaikan menyoal kualitas pelayanan yang secara prinsip merupakan kewajiban bagi pelaksana/penyelenggara pelayanan publik dan sebaliknya merupakan hak bagi masyarakat.
Penyampaian pengaduan dalam konteks penyelenggaraan pelayanan publik merupakan bentuk pengejewantahan hak masyarakat untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Berbeda dengan menyematkan tuduhan di media sosial, menyampaikan pengaduan merupakan bentuk pemanfaatan akses yang memang disediakan oleh negara maupun sebagai penerapan sistem demokrasi dalam menjalankan pemerintahan, dimana masyarakat berhak mengemukakan pendapat sehingga menyambut pengaduan masyarakat dengan defensif mencerminkan pelayanan publik yang 'kolot'.
Kelatahan instansi pelayanan publik dalam mendiferensiasi antara pengaduan dengan ke-nyinyiran akan berdampak pada bagaimana cara instansi merespons aksi tersebut. Pelaksana pelayanan publik dituntut untuk merepresentasi asas akuntabel yang konsekuensinya tidak lain adalah bersedia menerima sorotan dari masyarakat. Sudah seharusnya pelaksana pelayanan publik lebih terbuka, termasuk dalam menerima kritik.
Satjipto Rahardjo (Ilmu Hukum, 2012 : 67) seorang yang mempunyai hak oleh hukum diberi kekuasaan untuk mewujudkan haknya itu, yaitu dengan cara meminta pihak lain untuk menjalankan kewajiban tertentu.
Poinnya, sejauh yang dilaporkan oleh masyarakat kepada instansi penyelenggara adalah menyoal dugaan perbuatan pelaksana dalam kapasitasnya sebagai pemberi pelayanan publik selaku pemangku kewajiban maka seharusnya dipandang sebagai bentuk input atau kritik atasperformaseseorang sebagai pemberi pelayanan publik.
Dalam pengaduan itu sendiri, misalnya kepada Ombudsman, bersifat spekulatif yaitu berupa dugaan, sehingganya terdapat proses mekanisme yang akan berlangsung sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, di antaranya adalah instansi pelayanan publik sebagai pihak yang dilaporkan memiliki hak dan diberikan ruang untuk mengklarifikasi, memberikan keterangan dan menyerahkan salinan dokumen yang dapat menjustifikasi tidak terjadi perbuatan maladministrasi, barulah kemudian setelah melakukan pemeriksaan Ombudsman akan menyimpulkan terjadi atau tidaknya maladministrasi.
Dari proses ini sesungguhnya tercermin bahwa esensi dari penyampaian pengaduan oleh masyarakat bukanlah serangan kepada martabat dan kehormatan seorang pelaksana itu sebagai pribadi, tetapi kepada kualitas layanan publik yang diberikan dan tentu dalam kapasitasnya yang memang sebagai pelaksana pelayanan publik yang terikat pada kewajiban dan standar pelayanan.
Memberi kesempatan pada masyarakat untuk menyampaikan keluhan maupun pengaduan manakala pelayanan yang diterima tidak sesuai dengan harapan atau tidak sesuai standar layanan adalah salah satu wujud praktik demokrasi dalam pelayanan publik. Pengaduan yang diterima selayaknya harus dikelola secara baik, karena pengaduan merupakan salah satu cara organisasi untuk memperolehfeed backdari pengguna atas layanan yang telah diberikan.
Selain itu, pengaduan juga berfungsi untuk memperkuat mekanisme pengendalian kinerja dan pembinaan pegawai, termasuk memperkuat mekanisme pengawasan dan fungsi pertanggungjawaban instansi penyelenggara kepada masyarakat.
Adapun hal-hal yang penting dilakukan dalam pengelolaan pengaduan adalah secara masif melakukan internalisasi kepada pelaksana untuk menumbuhkan kesadaran/perspektif positif terhadap pengaduan, memastikan ketersediaan sarana dan prasarana, menetapkan mekanisme penanganan pengaduan yang menjadi acuan dalam menindaklanjuti pengaduan, dan memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa laporan pengaduan yang diajukan ditangani secara efektif, efisien, cepat, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Id perfectum est quad ex omnibus suis partibus constant (sesuatu dinyatakan sempurna apabila setiap bagiannya lengkap), pengaduan mesti ditempatkan pada porsinya sebagai salah satu komponen standar pelayanan publik, sebab tanpa pengelolaan pengaduan, penyelenggaraan pelayanan publik tidaklah utuh.
ST. Dwi Adiyah Pratiwi, SH.,MH.,M.AP
Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi
Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan