Penahanan Ijazah Dalam Perspektif Hukum dan Pelayanan Publik

Akhir-akhir ini isu tentang penahanan ijazah ramai diperbincangkan baik penahanan ijazah dalam konteks ketenagakerjaan (pengusaha menahan ijazah para buruh sebagai "jaminan") maupun dalam dunia Pendidikan (sekolah menahan ijazah siswa karena belum melunasi pembiayaan sekolah). Ribuan atau mungkin jutaan ijazah para siswa yang ditahan oleh sekolah serta para pekerja yang ditahan pengusaha dan setiap tahun angkanya terus bertambah seperti gunung es. Bagaimana perspektif hukum dan pelayanan publik melihat persoalan ini dan apa sebaiknya yang harus dilakukan oleh pemerintah (dinas Pendidikan, dinas tenaga kerja) serta pihak-pihak terkait agar peristiwa tersebut dapat diminimalisir.
Secara normatif ketentuan hukum ketenagakerjaan melarang pengusaha atau pemberi kerja menahan ijazah para buruh sebagai jaminan. Hal ini dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang tidak mengizinkan perusahaan menahan dokumen pribadi sebagai jaminan. Pasal 5 Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyatakan pekerja berhak memperoleh perlakukan yang adil tanpa diskriminasi termasuk hak atas dokumen pribadi. Selanjutnya pasal 31 menyatakan larangan kerja paksa (forced Labour) yang mencakup pembatasan kebebasan pekerja melalui penyitaan dokumen. (Nurul Ghufron, JP 25/4/25).
Dalam beberapa peristiwa penahanan ijazah, penahanan dokumen tersebut diawali penyerahan secara "sukarela" karena adanya perjanjian yang melandasi proses rekrutmen tenaga kerja. Dalam posisi tidak berdaya atau posisi rentan, pekerja terpaksa menandatangani perjanjian dan penyerahan dokumen pribadi tersebut. Menurut M. Hadi Shubhan (2025) secara prinsip hubungan industrial bersifat Subordinatif. Pengusaha berposisi diatas karena yang memiliki Perusahaan (berkuasa) sementara pekerja berposisi dibawah (membutuhkan pekerjaan), artinya kalaupun ada kesepakatan (perikatan) terkait pehananan ijazah Jadi Kesepakatan tersebut harus dibaca sebagai kesepakatan dibawah keterpaksaan sehingga harus dipandang pula sebagai kesepakatan yang batal demi hukum. Batal demi hukum dalam hubungan industrial tidak harus memerlukan pembatalan oleh pengadilan, maka fungsi dan tugas pengawas ketenagakerjaan untuk mereview norma termasuk Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Artinya pemerintah dalam hal ini melalui pengawas ketenagakerjaan harus mulai aktif turun ke lapangan mendatangi pabrik dan perusahaan untuk memberikan "pembinaan" serta memberikan sangsi yang tegas bagi perusahaan yang masih menahan ijazah para buruh atau pekerja. Pengawas ketenagakerjaan juga bisa berkolaborasi dengan serikat pekerja untuk mendata para pekerja yang dokumen pribadinya masih tahan oleh Perusahaan/pengusaha. Contoh Langkah tegas ini sudah ditunjukkan oleh pemerintah Kota Surabaya yang meminta para pengusaha di Surabaya untuk segera menyerahkan ijazah para pekerja atau akan menerima sangsi.
Penahanan Ijazah Oleh Sekolah
Dalam konteks regulasi pendidikan secara normatif ada peraturan yang melarang sekolah menahan ijazah. Regulasi yang melarang sekolah menahan ijazah siswa adalah Peraturan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Peraturan Sekjen Kemendikbudristek) Nomor 1 Tahun 2022 dan Permendikbud Nomor 58 Tahun 2024. Aturan tersebut menegaskan bahwa satuan pendidikan tidak diperkenankan menahan ijazah siswa dengan alasan apapun.
Terkait penahanan ijazah di sekolah menurut hemat penulis harus dibedakan antara sekolah negeri dan sekolah yayasan/swasta. Untuk sekolah negeri karena semua pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah maka tidak ada alasan bagi sekolah negeri untuk menahan ijazah para siswa yang sudah lulus. Untuk swasta menurut hemat penulis juga harus dibedakan lagi, ada sekolah swasta "elit" yang pendanaan pendidikannya mandiri atau tidak memakai bantuan pemerintah Batuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pendidikan Daerah (BOPDA), ada juga sekolah swasta yang "menengah" serta sekolah swasta yang "pinggiran" yang biaya Pendidikannya masih memerlukan iuran dari para walimurid.
Menurut hemat penulis untuk sekolah swasta yang "menengah" dan "pinggiran" serta orang tua atau wali muridnya masuk kategori miskin, maka pemerintah dalam hal ini kepala daerah (besama legislatif] bisa ikut intervensi dengan membantu menganggarkan dana APBD agar para siswa yang tidak mampu yang masih menunggak di sekolah bisa ditebus oeh pemerintah. Hal ini sudah dilakukan oleh para kepala daerah seperti Walikota Surabaya, Gubernur DIY, Gubernur DKI dan lain sebagainya. Namun masalahnya, karena anggaran APBD terbatas dan jumlah nominal tunggakannya besar, maka hal tersebut tidak bisa menyelesaikan semua ijazah yang tertahan.
Maka selain adanya intervensi dari kepala daerah dengan menganggarkan APBD untuk membantu siswa yang tidak mampu melunasi tunggakan biaya pendidikan, solusi lainnya adalah sekolah harus secara aktif turun ke masyarakat apakah ijazah yang tidak diambil ini murni karena faktor ekonomi atau faktor yang lain. Kalau dilapangan ditemukan fakta misalnya orang tua siswa meninggal atau kondisinya benar-benar miskin maka sudah semestinya sekolah harus memberikan ijazah tersebut. Kalau kondisinya ekonominya lumayan dan kemungkinan bisa mengangsur maka orang tua siswa diminta mengangsur sesuai dengan kemampuannya. Penulis punya banyak pengalaman dalam menyelesaikan persoalan seperti ini ketika sekolah dan orang tua dipertemukan maka biasanya dari pihak orang tua ada iktikad baik untuk mengangsur sesuai kemampuannya. Memang cara ini memerlukan waktu dan tenaga, maka kalau kesadaran dari sekolah, orang tua dan pemerintah tidak ada, maka masalah penahanan ijazah akan menjadi bom waktu yang kapan saja bisa meledak.
Mungkin sebaiknya Dinas Pendidikan memulai pendataan atas ijazah yang masih ditahan di sekolah-sekolah dan diumumkan secara terbuka di website nama siswa dan nama sekolahnya karena itu bagian dari prinsip transparansi dan masyarakat bisa menilai apakah layak sekolah melakukan penahanan ijazah tersebut atau tidak?
Regulasi Daerah
Larangan penahanan ijazah juga banyak ditemukan dalam berbagai produk peraturan daerah. Setidaknya ada dua daerah yang melarang penahanan ijazah pertama DIY terkait larangan penahan ijazah dalam lingkup Pendidikan (sekolah) dan kedua Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang melarang pengusaha menahan ijazah para buruh/pekerja.
Perda DIY Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pedoman Pendanaan Pendidikan. Perda ini menyatakan bahwa sekolah dilarang melakukan penahanan ijazah atau sertifikat kelulusan karena alasan hutang biaya pendidikan. Sekolah juga dilarang menghambat kegiatan pembelajaran atau melarang peserta didik mengikuti ujian karena alasan yang sama. Pasal 37 ayat (1) d Perda Nomor 10 Tahun 2013 tentang pedoman pendanaan Pendidikan berbunyi " setiap satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah, pemerintah kabupetan/kota dan Masyarakat dalam melakukan pungutan dilarang melakukan penahanan ijazah atau sertifikat kelulusan, menghambat mengikuti kegiatan pembelajaran dan/atau melarang mengikuti ujian peserta didik dengan alasan berhutang pendidikan.
Sementara di Jawa Timur ada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan, dimana dalam perda tersebut secara tegas melarang pengusaha untuk menahan atau menyimpan dokuman asli yang bersifat melekat pada pekerja sebagai jaminan seperti KTP, SIM, Paspor dan Ijazah. Dalam Perda tersebut terdapat sangsi pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp. 50 juta.
Akhirul Kalam, Kita semua berharap pemerintah, sekolah dan masyarakat bisa arif, bijaksana serta mencari solusi bersama yang terbaik agar persitiwa penahanan ijazah bisa diminimalisir agar masa depan para generasi bangsa tetap terjaga Wallahu'alam.
Penulis : Muflihul Hadi (Kepala Perwakilan Ombudsman RI DIY )