• ,
  • - +

Artikel

Pemenuhan Layanan Pendidikan VS Makan Bergizi Gratis
• Jum'at, 21/02/2025 •
 
Aksi penolakan MBG di Kota Jayapura (foto by kelabur_fhotography)

Pada 3 Februari 2025, ratusan pelajar Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) di Distrik Dekai Kabupaten Yahukimo mengelar aksi dengan meneriakan"Kami Tolak MBG, Kami Pilih Pendidikan Gratis". Hal serupa terjadi pada 17 Februari 2025 di Kota Jayapura yang tuntutannya yaitu meminta Presiden Prabowo mengevalusasi program makan bergizi gratis dan menggantinya dengan program sekolah gratis. Hal ini tentu mengagetkan mengingat program Makan Bergizi Gratis (MBG) di daerah lain disambut positif oleh masyarakat.

Program MBG di Papua belum dilaksanakan oleh seluruh Provinsi di Papua, dari enam Provinsi baru terdapat tiga Provinsi yang sudah mulai melaksanakan program MBG yaitu Provinsi Papua Barat, Papua Barat Daya dan Papua Selatan. Sedangkan tiga lainnya yaitu Provinsi Papua, Papua Tengah dan Papua Pegunungan masih melakukan perencanaan dan tahap uji coba di beberapa sekolah.

Pelaksanaan MBG di Papua memang tidak semudah di daerah lainnya, per 13 Januari 2025 pelaksanaan MBG di Kota Sorong Provinsi Papua Barat Daya baru dapat menjangkau 3.349 siswa dari sembilan SD dan SMP dengan harga Rp15.000 per porsinya yang disiapkan dari dapur yang dibentuk oleh Kodim 1802/Sorong.

Resistensi terhadap Kebijakan Pemerintah

Penolakan pelaksanaan MBG disinyalir akibat penggunaan aparat TNI dalam mengelola dan mendistribusikan makanan ke sekolah-sekolah, MBG dianggap sebagai upaya pemerintah untuk melemahkan daya pikir serta mengancam kehidupan siswa, karena pelaksanaan MBG diakomodir oleh TNI, adanya ketidakpercayaan terhadap kebijakan MBG juga karena karena penyelenggara membawa makanan dengan mobil TNI sehingga membuat orang tua dan siswa ketakutan. Eksistensi aparat Pemerintahan di Papua memang tidak kesemuanya disambut positif oleh masyarakat. Hal tersebut karena masyarakat mengangggap banyak tindakan represif yang dilakukan oleh aparat pemerintah kepada masyarakat.

Di beberapa daerah, aksi penolakan dibubarkan oleh aparat keamanan karena dianggap tidak memiliki izin untuk menyuarakan aspirasinya, apalagi yang melakukan aksi merupakan pelajar SMP-SMA yang dianggap masih dibawah umur. Jika dilihat dalam aspek pelayanan publik, masyarakat tentu boleh menyuarakan aspirasinya untuk menolak kebijakan pemerintah yang dianggap tidak menyentuh langsung ke akar persoalan di tengah-tengah masyarakat,

Aksi penolakan ini seharusnya dianggap sebagai proses demokrasi yang sehat dalam menjalankan sistem pemerintahan, jika lembaga negara tidak bisa memberikan pengawasan dalam skemacheck and balance atas kebijakan pemerintah. Apalagi dipertegas dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Sosial-politik di Papua memang berbeda dibandingkan daerah lainnya, proses integrasi Papua bergabung kepada NKRI baru terjadi pada 1 Mei 1963 dan itupun masih harus melalui proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada 1969 (Frans Pekey 2018). Pro dan kontra terhadap bergabungnya Papua ke pangkuan Indonesia hingga saat ini masih mengemuka dengan eksistensinya kelompok-kelompok separatis yang tetap ingin memisahkan diri dari Indonesia, sehingga kelompok-kelompok ini juga yang aktif berlawanan dengan aparat pemerintah Indonesia dan menolak kebijakan-kebijakan yang dianggap membahayakan kelompok mereka.

Kondisi Pendidikan di Papua

Kondisi pendidikan di Papua memang tidak baik-baik saja jika di bandingkan oleh daerah lain, Menurut Agus Sumule (2023) ada 244 ribu anak jenjang SD, 224 ribu di jenjang SMP dan 151 ribu di jenjang SMA/SMK tidak bersekolah atau tidak menyelesaikan pendidikan.

Data tersebut dikuatkan oleh BPS dalam hasil survei terkait Angka Partisipasi Sekolah (APS) tahun 2023 untuk di Provinsi Papua Barat kategori usia 7-12 Tahun sebesar 98,41%, usia 13-15 Tahun sebesar 97,42%, usia 16-18 Tahun sebesar 80,58% dan usia 19-24 tahun sebesar 31,15%. sedangkan di Provinsi Papua kategori usia 70-12 tahun sebesar 83,61%, usia 13-15 tahun sebesar 80,91%, usia 16-18 tahun 64,15% dan usia 19-24 tahun sebesar 23,89%. Untuk hasil APS di Provinsi Papua khususnya sangat jauh dari rata-rata nasional yaitu usia 7-12 tahun sebesar 99,16%, usia 13-15 tahun sebesar 96,1%, usia 16-18 tahun sebesar 73,42% dan usia 19-24 tahun sebesar 26,85%.

Tantangan pemenuhan pendidikan di Papua adalah kondisi geografis yang beragam, pulau Papua sebagian besar terdiri dari hutan belantara dan pegunungan membuat akses terhadap pendidikan menjadi timpang antara wilayah perkotaan dan perkampungan, karena kondisi tersebut sehingga insfrastruktur penunjang pendidikan masih belum memadahi untuk menyediakan akses pendidikan yang layak bagi seluruh masyarakat.

Selain masalah geografis, faktor keamanan juka menjadi masalah serius. Adanya konflik horizontal dan vertikal yang terjadi seringkali mengganggu proses belajar mengajar yang berdampak pada keamanan siswa dan tenaga pengajar, sehingga tidak sedikit tenaga pengajar yang enggan untuk ditugaskan di sekolah-sekolah pada wilayah dengan keamanan yang tidak stabil. Sehingga terdapat kekurangan tenaga pengajar yang berkualitas karena sulitnya rekrutmen guru dari luar Papua dan minimnya jumlah guru yang memiliki kualifikasi yang memadahi. Menurut Agus Sumule (2023) jika menginginkan peningkatan kualitas pendidikan di Papua maka perlu memperbaiki fasilitas penunjang dan harus diadakan 20 ribu tenaga pengajar.

Simpulan

Pelaksanaan program MBG di Papua perlu dibarengi dengan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas, penambahan jumlah guru dan peningkatan kualitas guru, penambahan program beasiswa yang dapat diakses oleh seluruh siswa-siswa di Papua, jaminan keamanan bagi tenaga pengajar serta siswa dan pemberian insentif khusus bagi tenaga pengajar yang bersedia mengabdi di pedalaman Papua. Jika hal tersebut dilaksanakan maka resistensi masyarakat Papua terhadap kehadiran kebijakan yang baru dari pemerintah akan pelan-pelan memudar.

 

Oleh : Faisal A. Satria Putra

Asisten Ombudsman RI pada Perwakilan Provinsi Papua





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...