Pemenuhan Layanan bagi Difabel
Berdasarkan data statistik yang dikutip dari Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa pada tahun 2020 persentase penduduk difabel berusia 15 tahun ke atas hanya 0,18%. Berdasarkan data tersebut dapat terlihat bahwa penduduk difabel merupakan minoritas. Meskipun begitu, bukan berarti mereka tidak mendapatkan hak pelayanan yang sama dengan masyarakat lainnya.
Secara istilah, penyandang disabilitas atau secara halus disebut sebagai difabel dapat diartikan sebagai setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu yang lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Adapun pengertian tersebut tertuang dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Kemudian, dalam Pasal 1 Angka 8 aturan tersebut dijelaskan pula tentang aksesibiltas, yakni kemudahan yang disediakan untuk penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan. Sehingga aksesibiltas layanan bagi difabel dimaksudkan agar para difabel memiliki kemudahan dan kesamaan hak dalam hal pelayanan publik. Bahkan dalam peraturan tentang Penyandang Disabilitas dijelaskan bahwa difabel berhak mendapatkan berbagai aspek pelayanan sama seperti masyarakat umum lainnya.
Undang-undang juga mengatur negara untuk dapat berupaya mewujudkan kesamaan kesempatan dalam setiap aspek kehidupan dan penghidupan sehingga difabel dapat hidup bermasyarakat secara utuh. Menurut Thohari (2014) hal tersebut dapat diwujudkan dengan memberikan kemudahan aksesibiltas kepada difabel khususnya pada pelayanan publik. Oleh karena itu, penyelenggara pelayanan publik bukan hanya dituntut untuk mampu menyelenggarakan pelayanan publik, akan tetapi juga harus mampu memastikan pelayanan publik tersebut dapat diakses oleh masyarakat, terlebih difabel.
Berdasarkan catatan sejarah, Indonesia telah meratifikasi Convention on The Rights of Persons with Disabilities yang dituangkan melalui Undang-undan Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Melalui ratifikasi tersebut, Indonesia memiliki tanggung jawab seperti negara lain dalam memberikan perlindungan hak-hak bagi para difabel. Adapun salah satu bentuk tanggung jawab tertuang dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Oleh karena itu, sebenarnya negara melalui penyelenggara pelayanan publik memiliki kewajiban dalam memberikan pelayanan dengan perlakuan khusus salah satunya kepada difabel melalui penyediaan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik dengan aksesnya dilarang digunakan untuk orang yang tidak berhak sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dijelaskan dalam Pasal 29 UU 25/2009. Namun, secara realita penyelenggaraan pelayanan publik saat ini belum mampu memenuhi hak-hak maupun akses pelayanan publik para difabel. Sebagaimana dijelaskan oleh Harahap dan Bustanudin (2015) bahwa faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut meliputi faktor sosial budaya, faktor ekonomi, serta masih lemahnya kebijakan atau penegakan hukum yang memihak para difabel. Â
Selain faktor-faktor yang telah dijelaskan sebelumnya, ada hal lain yang menjadi penting namun kerap terabaikan oleh penyelenggara pelayanan publik, yaitu infrastruktur penunjang difabel. Firdaus dan Iswahyudi (2008) menjelaskan bahwa hambatan aksesibilitas difabel terhadap pelayanan publik yang menjadi urgensi adalah arsitektural. Masih banyak bangunan-bangunan pelayanan publik yang belum ramah difabel, seperti belum tersedianya ram, rambatan, dan lain-lain. Sebagai perbandingan, negara Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang sudah ramah difabel. Hal tersebut dapat terlihat dari sisi aturan melalui American Disability of Act (ADA) yang mengatur terkait akses pendidikan, perumahan, lapangan kerja, kesehatan dan sebagainya, maupun tangible-nya melalui bangunan dan fasilitas publik ramah difabel. Sudah sepatutnya Indonesia pun dapat mencontoh negara Amerika terlebih telah meratifikasi Convention on The Rights of Persons with Disabilities.
Berdasarkan hal tersebut tidak heran apabila Ombudsman Republik Indonesia menetapkan penilaian standar pelayanan publik salah satunya terkait aksesibiltas difabel dalam pelayanan publik. Hal tersebut sejalan dengan kewajiban penyelenggara pelayanan publik dan hak pengguna layanan publik untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas sesuai UU 25/2009. Adapun bentuk pengawasan Ombudsman terhadap akses difabel sebagaimana Survei Kepatuhan pada tahun 2021 lalu, yaitu ketersediaan sarana khusus bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus berupa ram, rambatan, kursi roda, jalur pemandu, toilet khusus, dan lain-lain, serta ketersediaan pelayanan khusus bagi difabel, salah satunya loket pelayanan khusus difabel.
Berdasarkan hasil Survei Kepatuhan Ombudsman Republik Indonesia Tahun 2021 bahwa masih banyak instansi penyelenggara pelayanan publik yang belum memenuhi standar pelayanan publik ramah difabel, seperti belum tersedianya ram, rambatan, kursi roda, loket khusus difabel, dan lainnya. Atas hal tersebut diharapkan setiap penyelenggara pelayanan publik dapat memperhatikan pemenuhan standar pelayanan publik ramah difabel. Kemudian, diharapkan untuk Pejabat Penyelenggara Pelayanan Publik dapat berkomitmen dalam pemenuhan hal tersebut agar dapat terwujud pelayanan publik yang berkualitas ramah difabel, tanpa diskriminasi dan maladministrasi.
Oleh: Maya Septiani
Asisten Perwakilan Ombudsman RI Bangka Belitung
Â