Pemasungan Hak Pendidikan Anak
Pendidikan merupakan rangkaian proses pembelajaran mulai dari pengetahuan, keterampilan, hingga kebiasaan perilaku yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui pangkajian, hingga pengajaran yang bersifat formal maupun non-formal. Pada kenyataannya, pendidikan tidak selamanya terjadi di lingkungan formal seperti sekolah, akan tetapi lingkungan lain seperti keluarga juga bagian dari lingkungan pendidikan.
Jika merujuk pada UUD NRI 1945 Pasal 31 ayat 1 berbunyi bahwa "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan". Atas dasar peraturan perundang-undangan tersebut, pendidikan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Artinya, tidak ada seorang pun bahkan negara dapat merampas hak pendidikan seseorang, karena sejatinya pendidikan merupakan hak dasar yang melekat pada individu sejak lahir. Pendidikan merupakan aspek penting dalam kehidupan, bahkan secara tegas disebutkan dalam pembukaan UUD NRI 1945 alinea keempat dan merupakan salah satu tujuan bangsa Indonesia yaitu "mencerdaskan kehidupan bangsa".
Pada kenyataanya, walaupun pendidikan merupakan salah satu hak dasar bagi individu, fakta di lapangan justru menyebutkan masih banyak anak yang tidak memiliki akses atau bahkan diputus aksesnya untuk bisa mengenyam bangku pendidikan.
Laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2021, menunjukkan bahwa terdapat 75.303 anak Indonesia tidak dapat bersekolah. Berdasarkan pantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2021, menyebutkan beberapa alasan peserta didik memutuskan untuk tidak bersekolah, di antaranya karena alasan menikah, bekerja, menunggak pembayaran sekolah, kecanduan game online dan bahkan terdapat beberapa siswa yang harus drop out atau terpaksa pindah sekolah karena tidak mematuhi sistem tata tertib yang dibuat oleh sekolah.
Beberapa alasan putus sekolah tersebut, tentunya sangat disayangkan karena pemerintah dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Program Indonesia Pintar telah menetapkan rintisan wajib belajar selama 12 tahun. Laporan terkait adanya siswa yang harus drop out atau terpaksa pindah sekolah karena tidak mematuhi sistem tata tertib yang dibuat oleh sekolah juga diterima oleh Perwakilan Ombudsman Kalimantan Selatan beberapa waktu lalu.
Dalam pengaduan laporan tersebut menyebutkan bahwa terdapat seorang siswa yang bersekolah di salah satu SMA Negeri Banjarmasin, terpaksa akan dikeluarkan oleh pihak sekolah karena diduga tidak mematuhi tata tertib di sekolah. Pihak sekolah berpendapat jika siswa tersebut tetap berada dalam lingkungan sekolah yang dimaksud, dikhawatirkan akan mempengaruhi siswa yang lain.
Jika kita menilik kembali dalam Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 Tentang wajib belajar Pasal 12 Ayat (1) yang menegaskan bahwa "Setiap warga negara Indonesia usia wajib belajar, wajib mengikuti program wajib belajar''. Serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menyatakan dalam Pasal 1 Ayat (1) "Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia anak pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah".
Berdasarkan kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah menunjukkan, bahwa upaya yang dilakukan sangat serius dalam menjamin hak pendidikan generasi penerus bangsa. Salah satu contohnya, dengan mengeluarkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) guna membuka akses bagi anak Indonesia yang mengalami kesulitan dalam pembiayaan sekolah. KIP sendiri dibuat oleh pemerintah untuk mengakomodir hak pendidikan dan mencegah anak putus sekolah karena kendala biaya. Upaya ini seharusnya sejalan dengan visi/misi satuan pendidikan atau tenaga pendidik untuk dapat memberikan upaya maksimal dalam mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik, sehingga perlu untuk menyamakan persepsi/pendapat bahwa pendidikan merupakan hak dasar warga negara yang tidak bisa dicabut oleh siapapun termasuk sekolah.
Munculnya kasus diatas seharusnya menjadi bahan evaluasi pihak sekolah, apakah satuan pendidikan benar-benar telah melaksanakan tugasnya untuk mendidik dan mencerdaskan anak bangsa. Memang, pemerintah tidak melarang sekolah untuk membuat peraturan/tata tertib beserta sanksinya, namun jika merujuk pada peraturan perundangan diatas, sekolah tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan anak secara sembarangan, apalagi terkait pelanggaran tata tertib yang sengaja dibuat sekolah, bukan tindak pidana.
Justru, seharusnya sekolah menjadi garda terdepan untuk mengubah perilaku siswa yang dianggap "kurang terdidik", bukan malah lepas tangan terhadap apa yang sudah menjadi tugasnya. Jika melihat kedepan, pengeluaran siswa dari sekolah justru akan menimbulkan masalah baru baik dari sisi psikologis anak dan terhadap sekolah selanjutnya. Labeling anak 'kurang terdidik/anak nakal/anak tidak disiplin" akan berpengaruh pada citra diri anak yang negatif serta menjadi sumber pembenaran dalam berperilaku. Memindahkan anak di lingkungan sekolah baru, menurut penulis bukan upaya yang bijak karena justru tidak menyelesaikan masalah dan menimbulkan permasalahan sama di sekolah baru, sehingga terkesan sekolah melempar tanggung awab.
Jika melihat teori ekologi bronfenbrenner (tokoh psikologi), terdapat lima lapisan lingkungan yang berpengaruh pada tahap pertumbuhan dan perkembangan anak, yaitu: kronosistem, makrosistem, eksosistem, mesosistem dan mikrosistem. Disini penulis akan mengupas lingkungan yang paling dekat dengan anak yaitu mikrosistem (lingkungan inti). Termasuk dalam lingkungan ini adalah keluarga dan sekolah. Dalam mikrosistem, keluarga dalam hal ini orangtua adalah agen sosialisasi pertama dan terpenting yang membentuk pondasi anak. Kuatnya atau lemahnya sosialisasi yang ditanamkan lingkungan keluarga akan mempengaruhi perkembangan anak baik secara fisik, mental dan emosi.
Jika dilihat kondisi saat ini, yang kita hadapi adalah banyak dari orangtua menyerahkan tugas pendidikan kepada sekolah dan mengabaikan tugas pendidikan yang harusnya tetap diberikan pada anaknya. Jika, tugas pendidikan hanya dibebankan kepada pihak sekolah tentu saja terlalu berat. Oleh karenanya dibutuhkan sinergitas, keluarga tetap memberikan tugas pendidikan yang tidak diajarkan di sekolah dan sekolah memberikan pendidikan yang tidak anak dapatkan ketika di rumah. Kegagalan sosialisasi dalam lingkungan inti ini, akan sangat berpengaruh terhadap masa depan anak, oleh karenanya orangtua dan sekolah harus mengupayakan peran semaksimal mungkin agar tercipta generasi penerus bangsa yang berkarakter dan terdidik.
Lantas apakah yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah, jika pada kenyataanya anak tidak mendapatkan peran maksimal dari orangtua?
Pertama, memaksimalkan koordinasi dengan orangtua. Perlunya sekolah untuk menegaskan kembali bahwa tugas pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara pihak keluarga dan sekolah. Melihat kembali, teori pertumbuhan dan perkembangan anak bahwa keluarga merupakan basis pertama anak belajar mengenal lingkunganya. Sehingga perlunya peran keluarga untuk membentuk pondasi yang kuat bagi anak agar memiliki mental yang berkarakter dan terdidik.
Kedua, memaksimalkan peran guru Bimbingan Konseling (BK), salah satu tugas dari guru BK adalah memberikan konseling kepada siswa yang bermasalah di sekolah. Hadirnya guru bimbingan konseling akan sangat membantu siswa untuk menggali apa yang menjadi sumber masalahnya serta menemukan solusi yang mungkin tidak bisa mereka temukan tanpa bantuan orang lain. Seringkali pendekatan yang digunakan dalam sekolah adalah pendekatan superior vs inferior. Pendekatan kuno ini justru akan membuat jarak antara siswa dan guru BK, sehingga perlunya pendekatan yang lebih personal. Ketiga, memaksimalkan peran teman sebaya untuk memberikan konseling (peer counselor). Seringkali siswa tidak bisa menceritakan apa yang menjadi sumber permasalahanya karena terciptanya jarak antara guru dengan murid. Sehingga diperlukan kedudukan yang sepadan agar murid bisa lebih terbuka. Konselor sebaya ini, akan sangat berguna karena siswa akan lebih mudah untuk membangun rasa percaya/trust sehingga akan merasa percaya untuk membagi ceritanya.
Penulis :
Lilik Suryani
Asisten Pemeriksaan Laporan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Selatan