• ,
  • - +

Artikel

Pelayanan Publik Kita Masih Buruk
• Kamis, 26/01/2023 •
 
Opini

Potret pelayanan publik kita ditandai dengan bertele-tele (menunda pelayanan), mahal (pelayanan tidak tepat waktu) dan petugas yang tidak kompeten. Padahal pelayanan publik itu sendiri wajah nyata kehadiran pemerintah yang dapat dirasakan masyarakat secara langsung. Tidak berhenti di situ, jika diurai sebenarnya banyak faktor penyumbang buruknya pelayanan yang diberikan pemerintah. Pertama, Sumber Daya Manusia yang rendah. Rendahnya jumlah dan SDM petugas layanan berbanding lurus dengan kualitas layanan yang diberikan. SDM yang rendah itu berakibat kepada layanan yang akan diterima masyarakat. Misalnya jumlah SDM yang tersedia dengan jumlah penerima layanan yang tidak seimbang akan berdampak buruk. Belum lagi SDM yang tersedia tersebut sangat rendah, semisal pendidikan yang masih tidak memadai sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan pelayanan.  

Kedua, maraknya pungutan liar. Pelayanan yang prima itu semestinya transparan. Namun apa jadinya jika budaya untuk apa dipermudah kalau bisa dipersulit. Masyarakat sebagai pengguna pelayanan publik harus diberi edukasi agar tidak lagi melakukan budaya uang terima kasih. Begitu juga dengan petugas agar tidak menerima imbalan dalam bentuk apapun. Adanya peluang lamanya jangka waktu penyelesaian layanan menjadi peluang bagi pengguna layanan untuk mengambil jalan pintas dengan memberikan suap kepada petugas. Dalam kondisi ini, terjadi simbiosis mutualisme, sehingga seolah tidak ada yang dirugikan dan dilanggar.  Akhirnya, budaya ini menyebar ke masyarakat, jika mau urusan cepat agar memberikan uang tip (sogokan) kepada petugas.

Hasil Penilaian Ombudsman RI

Ombudsman RI sebagai pengawas pelayanan publik sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik telah melakukan penilaian terhadap penyelenggaraan pemerintahan untuk tingkat kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota se-Indonesia. Berdasarkan hasil penilaian yang dilakukan terhadap 25 kementerian, 14 lembaga, 34 pemerintah provinsi, 98 pemerintah kota dan 415 pemerintah kabupaten, pada tahun 2022 diperoleh hasil bahwa jumlah instansi yang masuk zonasi hijau sebesar 52,96%. Adapun jumlah instansi penyelenggara pelayanan publik yang dinilai antara lain dari 586 instansi, namun yang masuk ke zona hijau sebanyak 272 instansi (46,42%), zona kuning sebanyak 250 instansi (42,66%), dan zona merah sebanyak 64 instansi (10,92%).

Penilaian secara rinci pada tingkat kementerian, hasil penilaian terhadap 25 kementerian dengan capaian 21 kementerian (84%) pada zonasi hijau, 4 kementerian (16%) pada zonasi kuning, dan tidak terdapat kementerian masuk zonasi merah. Penilaian pada tingkat lembaga, hasil penilaian terhadap 14 lembaga dengan capaian 9 lembaga (64,29%) masuk zonasi hijau, 5 lembaga (35,71%) masuk zonasi kuning, dan tidak terdapat lembaga masuk zonasi merah. Pada tingkat pemerintah provinsi, dari 34 pemerintah provinsi yang dinilai, 19 pemerintah provinsi (55,88%) masuk zonasi hijau, 13 pemerintah provinsi (38,24%) masuk zonasi kuning, dan 2 pemerintah provinsi (5,88%) pada zonasi merah. Kemudian di tingkat kota, dari 98 pemerintah kota yang dinilai, 53 pemerintah kota (54,08%) masuk zonasi hijau, 42 pemerintah kota (42,86%) masuk zonasi kuning, dan 3 pemerintah kota (3,06%) masuk zonasi merah. Terakhir, pada tingkat kabupaten, dari 415 pemerintah kabupaten yang dinilai, 170 pemerintah kabupaten (40,96%) pada zonasi hijau, 186 pemerintah kabupaten (44,82%) pada zonasi kuning, dan 59 pemerintah kabupaten (14,22%) pada zonasi merah.

Memang jumlah yang meraih zona hijau ini telah meningkat dari tahun 2021. Pada tahun 2021, jumlah instansi yang masuk zonasi hijau sebanyak 179 instansi, naik menjadi 272 instansi di tahun 2022. Namun untuk zonasi kuning mengalami penurunan dari 316 instansi di tahun 2021 menjadi 250 instansi di tahun 2022. Begitu juga dengan zonasi merah juga mengalami penurunan, dari 92 instansi di tahun 2021 menjadi 64 instansi di tahun 2022. Hasil penilaian yang dilakukan oleh Ombudsman RI menjadi gambaran bahwa penyelenggaraan pelayanan publik untuk tingkat kementerian/lembaga dan pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota belum menyentuh pelayanan dasar yang diharapkan masyarakat. Hal ini dapat disebabkan karena adanya komitmen dari pimpinan di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah untuk berubah menjadi lebih baik. Sehingga pelayanan publik di setiap unit layanannya dilakukan upaya peningkatan kualitas dengan memenuhi standar pelayanan dan menjala.

Komitmen Pimpinan

Menurut Albrecht dan Zemke (1990) kualitas pelayanan publik merupakan hasil interaksi dari berbagai aspek, sistem pelayanan, sumber daya manusia penyedia layanan, strategi, dan pelanggan. Mesti kita akui sudah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Upaya tersebut seperti meningkatkan kesejahteraan petugas agar tidak lagi melakukan pungli, melakukan lelang jabatan untuk mendapatkan pejabat yang kompeten dan meningkatkan pengawasan pelayanan. Namun semua hampir saja jalan di tempat. Kalau mengacu kepada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik bahwa memberikan pelayanan publik prima dan berkualitas merupakan tanggung jawab penyelenggara pelayanan publik. Artinya, sudah seyogianya itu terwujud. Mengapa demikian? Tentu kurangnya komitmen pimpinan baik kementerian/lembaga maupun kepala daerah itu sendiri untuk mewujudkan amanat UUD 1945 tersebut. Semestinya jika bicara pelayanan, tentu berpedoman kepada standar pelayanan publik seperti penilaian yang dilakukan oleh Ombudsman RI. Sebab standar pelayanan menjadi acuan setiap instansi untuk memberikan pelayanan. Jadi masing-masing instansi sudah memiliki koridor untuk melakukan segala sesutu sesuai kebutuhan. Oleh karena itu, pimpinan setiap instansi berpacu untuk melakukan pengawasan atas jalannya pelayanan publik.

Tujuan akhir dari pelayanan tentu kepuasan pengguna layanan. Memang setiap instansi memiliki kotak Indeks Kepuasaan Masyarakat (IKM). Problema, apakah kotak IKM tersebut dikelola dengan baik, apakah ada petugas yang mengevaluasi IKM tersebut, atau justru kotak tersebut hanya pajangan untuk memenuhi unsur standar pelayanan? Tentu IKM sangat berguna membantu instansi untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Kritik dan saran dari masyarakat sebagai pengguna layanan yang paling mengetahui kebutuhan yang diharapkan. Berdasarkan IKM tersebut atasan penyelenggara pelayanan dapat memperbaiki pelayanan. Misalnya, jika ada petugas yang kepribadiannya marah sebagai hasil evaluasi bahwa petugas tersebut bisa dipindahkan ke bagian lain yang tidak bersentuhan langsung dengan pengguna layanan. Ini merupakan contoh kecil bagaimana memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan publik.


Penulis:  Asisten Ombudsman RI dan Alumni Pascasarjana Ilmu Sejarah USU 

                                                                                                                                                                                                                                                                       





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...