Pelayanan Publik Indonesia dan Pengawasannya

Negara Republik Indonesia sendiri berdasarkan amandemen ke-tiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 1 Ayat (3) secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum atau biasa disebut Rechtsstaat. Namun apabila kita telaah, dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 alinea ke-empat yang mengamanahkan tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, maka sejatinya Negara Republik Indonesia merupakan negara kesejahteraan (welfarestaat). Hal ini juga tampak dari ciri adanya keluluasaan dalam fungsi administrasi dalam menjalankan negara, yang menjadi ciri umum dari negara kesejahteraan.
Berbeda dengan negara hukum "klasik" yang tidak diberikan kewenangan secara aktif mengurusi warga negaranya, negara kesejahteraan (welfarestaat) diberikan kewenangan untuk ikut campur atau masuk dalam urusan-ursan warga negaranya hal mana juga merupakan ciri negara kekuasaan(maachstaat). Lalu apa dan bagaimana perbedaan dari keduanya, jawaban sederhana dari pertanyaan tersebut adalah penyelenggaraan Pelayanan Publik, dalam rangka pemenuhan hak-hak warga negara.
Secara sederhana ide atau tujuan awal dari masyarakat membentuk negara adalah untuk melindungi hak-hak mereka dari ancaman,baik yang datang dari luar maupun dari dalam masyarakat itu sendiri. Hak-hak itu berupa keselamatan nyawa, badan, kemerdekaan, dan harta benda, selain itu tak lupa juga dalam dunia moderen ini, nama baik juga menjadi perhatian penting sehingga menjadi bagian dari hak-hak tersebut. Oleh karena itu dalam rangka melindungi hak-hak tersebut, masyarakat lalu memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan negara untuk bertindak atas nama tujuan tersebut, tidak hanya memberikan kewenangan, tetapi juga memberikan negara penguasaan atas sumberdaya-sumberdaya yang diperlukan dalam menjalankan kewenangannya. Akan tetapi karena kurangnya instrumen yang membatasi kewenangan negara ini telah berdampak menjadikan negara berorientasi kepada kekuasaan. Sehingga menjadi negara kekuasaan yang mendominasi kehendak warga negara dan bersifat totaliter dan kekuasaan yang cenderung pada kerusakan, tidak salah kiranya pernyataan seorang Lord Acton (1833-1902)bahwa "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely".
Ketidakpuasan terhadap negara kekuasaan ini memunculkan suatu revolusi. Muncul kehendak masyarakat untuk untuk membatasi kekuasaan negara yang bersifat totaliter dan absolut tersebut. Timbul negara hukum dengan konstitusi dan asas legalitasnya yang bertujuan membatasi kewenangan negara terhadap warga negara. Kekuasaan penyelenggaaraan negara benar-benar dibatasi dan hanya dikembalikan kepada ide awal dibentuknya negara, yaitu untuk sekedar menjaga dan memelihara keamanan dan ketertiban semata, negara yang demikian seolah negara penjaga malam (nachwakkersstaat).
Seiring perkembangan kehidupan manusia, disadari pula bahwa dinamika dan persoalan hidup dalam masyarakat semakin berkembang, bukan hanya soal keamanan dan ketertiban, lebih dari itu masalah-masalah di bidang kesejahteraan yang dapat berdampak pada gejolak sosial apabila diabaikan, juga perlu mendapat perhatian, seperti pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, seni dan budaya dan lain sebagainya. Inilah kemudian memunculkan ide tentang konsep negara kesejahteraan (welfarestaat) guna mewujudkan cita-cita tercapainya kesejahteraan.
Dalam negara kesejahteraan ini kembali negara diberi kewenangan untuk ikut campur atau masuk dalam urusan-urusan warga negaranya. Namun hal ini tetap harus dibatasi agar negara tidak kembali kepada sistem negara kekuasaan yang bersifat totaliter. Kewenangan ikut campur tersebut haruslah dalam rangka pemenuhan hak-hak warga negara, bukan hanya soal jaminan terhadap keamanan dan keselamatan seperti pada negara hukum klasik, tetapi juga terkait kesejahteraan.
Pada Negara Republik Indonesia cita-cita kesejahteraan itu bukan hanya kesejahteraan secara fisik tetapi juga mencakup kesejahteraan rohani sebagai hakikat pembangunan nasional yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang diejawantahkan dalam Garis Besar Haluan Negara Tahun 1993, dalam Makna dan Hakikat Pembangunan Nasional bahwa, "adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan, dan pedoman pembangunan nasional".
Dari atas kita dapati dan simpulkan perbedaan antara Indonesia sebagai negara Kesejahteraan dengan Negara Kekuasaan yaitu pada penyelenggaraan Pelayanan Publik oleh Negara Republik Indonesia yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak warga negara dalam upaya mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya yang sejahtera fisik dan rohani.
Atas hal tersebut, diperlukan suatu bentuk pengawasan dan pengawalan terhadap pelaksanaan pelayanan publik. Untuk memastikan tujuan dan cita-cita Negara tersebut tercapai, akhirnya Ombudsman Republik Indonesia selaku Lembaga Negara yang diamanahi secara khusus mengawas dan mengawal penyelenggaraan Pelayanan Publik di Negara Republik Indonesia, agar tercapai pelayanan publik yang maju dan berkualitas merupakan suatu pengejawantahan dari tujuan dan cita-cita besar tersebut.
Â
Mas Agus Aqil, S.E., S.H.
(Asisten Ombudsman RI, Keasistenan Bidang Pencegahan Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat)