Pelayanan Publik di Tanah Papua dan Faktor Keamanan
Berbagai peristiwa di Tanah Papua, terutama dalam 10 tahun belakangan ini, didominasi oleh krisis keamanan. Situasi keamanan yang tidak kondusif menyebabkan penurunan mutu pelayanan publik, yang menjadi tanggung jawab pemerintah sesuai Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Namun bila ditelisik lebih dalam, situasi krisis keamanan tidak terjadi secara merata di semua kabupaten di Tanah Papua. Demikian pula, tidak semua kabupaten kota memperoleh nilai "rendah" menurut standar pelayanan publik sesuai UU Nomor 25 Tahun 2009 yang dinilai oleh Ombudsman RI.
Bagaimana Hubungan antara Keamanan dan Pelayanan Publik di Suatu Daerah?
Kata "keamanan" berasal dari akar kata "aman". Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "aman" berarti "bebas dari bahaya; bebas dari gangguan; atau tenteram; tidak merasa takut atau khawatir". Sementara itu, definisi keamanan menurut UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, pasal 1 ayat 5 adalah sebagai berikut, "Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat". Lebih lanjut pada Pasal 1 Ayat 6 didefinisikan kata "keamanan dalam negeri" adalah "suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat".
Beberapa kata kunci yang berkaitan erat dengan keamanan, yaitu ketenteraman, ketertiban, hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat atau publik. Berdasarkan landasan hukum tersebut terkandung hak-hak masyarakat untuk mendapatkan suasana aman, sekaligus kewajiban yang di dalamnya berbentuk keterlibatan aktif untuk menaati hukum dan menjaga kondisi dinamis sekaligus kondusif bagi berlangsungnya pembangunan nasional.
Menurut UU Nomor 25 Tahun 2009, tidak disebutkan secara tersurat bahwa keamanan termasuk di dalam pelayanan publik. Di dalam UU tersebut disebutkan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Namun bila dihubungkan, masalah keamanan sangat erat kaitannya dengan pelayanan publik. Baik kaitan dengan hak masyarakat untuk mendapatkan keamanan berupa ketenteraman, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan publik, juga berkaitan dengan kewajiban penyelenggara negara, termasuk kepolisian untuk mewujudkannya dengan menegakkan hukum, menjaga ketertiban umum, dan memberi pelayanan administratif.
Ombudsman RI telah melakukan Penilaian Kepatuhan Pelayanan Publik di 29 kota/kabupaten se-Provinsi Papua pada tahun 2022. Hasilnya, beberapa kabupaten di Papua Tengah maupun Papua Pegunungan memperoleh nilai "sangat rendah". Di daerah-daerah ini, menurut pengamatan penulis, memang tidak ada pelayanan publik di kantor-kantor pemerintah kabupaten. Demikian pula proses pembangunan dalam arti luas sangat terhambat. Para pegawai negeri yang bertugas sebagian besar tidak berada di tempat karena alasan keamanan.
Alasan lain yang muncul adalah karena kurangnya sarana dan prasarana pendukung, juga karena mahalnya bahan kebutuhan sehari-hari. Bila ditelusuri lebih dalam, kurangnya sarana/prasarana dan faktor kemahalan disebabkan juga oleh faktor keamanan. Di beberapa ibu kota kabupaten, kantor-kantor pemerintah dan fasilitas umum pernah terbakar dan hingga kini (akhir 2023) belum semua dapat dibangun kembali.
Menurut hemat penulis, pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten hendaknya memprioritaskan pemulihan kondisi keamanan disertai dengan pemulihan dan peningkatan pelayanan publik. Peningkatan pelayanan publik dapat mengakibatkan peningkatan kepuasan masyarakat dan pada gilirannya "mempercantik wajah" negara di mata masyarakat. Citra positif negara di mata publik lambat laun menurunkan potensi konflik vertikal, sehingga meningkatkan potensi keamanan daerah. Situasi keamanan yang kondusif akan sangat mendorong terselenggaranya pelayanan publik yang bermutu, demikian seterusnya.
Bagaimana Hubungan Peran Pemerintah Daerah dengan Mutu Pelayanan Publik?
Semua visi dan misi pemimpin daerah, termasuk di Papua kurang lebih sama, yaitu menyelenggarakan pembangunan sehingga kesejahteraan masyarakat semakin hari semakin meningkat. Semua pemimpin daerah mempunyai kemampuan untuk menghadapi berbagai kendala dan tantangan, sekaligus menggunakan semua potensi yang ada dengan strategi masing-masing. Kendala yang dimaksud termasuk gangguan keamanan akibat tingginya potensi konflik vertikal.
Menurut pengamatan penulis, ada juga daerah-daerah yang memiliki gangguan keamanan, tetapi mampu meningkatkan mutu pelayanan publik. Sebut saja Kabupaten Jayawijaya (Wamena) yang saat ini menjadi ibukota Provinsi Papua Pegunungan. Kabupaten ini selama empat tahun terakhir (2019 hingga 2022, minus tahun 2020 tidak dinilai karena pandemi) memperoleh predikat "tinggi" dalam penilaian kepatuhan penyelenggaraan pelayanan publik menurut Ombudsman RI.
Pernyataan tersebut di atas tidak bermaksud menafikan peristiwa berdarah pada akhir Februari 2023, beberapa peristiwa berdarah pada masa-masa terdahulu yang menimbulkan "memoria passionis" (ingatan kolektif akan penderitaan). Namun di sisi lain, upaya pemerintah daerah untuk tetap menjaga bahkan meningkatkan pelayanan publik tetap patut dihargai. Menurut hemat penulis, bahkan pelayanan publik dalam arti luas juga termasuk upaya "mengobati memoria passionis" tersebut, bukan sekadar "membalut perban".
Sementara beberapa kabupaten lain yang kondisi keamanannya lebih kondusif justru memperoleh nilai kepatuhan pelayanan publik "rendah". Untuk daerah seperti ini, tentu yang mempengaruhi penilaian tersebut bukanlah faktor keamanan. Demikian pula di daerah lain, yang situasi keamanannya relatif lebih kondusif sekaligus memiliki Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah yang lebih tinggi, justru mendapat nilai kepatuhan pelayanan publik "rendah".
Menurut laporan hasil Penilaian Kepatuhan Pelayanan Publik yang dikeluarkan Ombudsman RI pada tahun 2022, dapat dilihat bahwa beberapa kabupaten, seperti Kepulauan Yapen, Biak Numfor, dan Kota Jayapura dalam dua tahun terakhir mendapatkan nilai "Tinggi" dan "Sedang". Ketiga daerah ini menurut hemat penulis, dipimpin oleh pemimpin yang memprioritaskan pelayanan publik dan mampu melakukan koordinasi ke tingkat paling depan dari pelayanan kepada masyarakat.
Pernyataan di atas tidak dimaksudkan bahwa daerah yang mendapatkan nilai "Rendah" dari Ombudsman, pemimpinnya tidak memiliki kemampuan memimpin. Bisa jadi, prioritas di daerahnya belum menyasar aspek pelayanan publik. Demikian pula dengan faktor koordinasi. Kemungkinan besar koordinasi macet pada tingkat middle management sehingga pesan atau perintah yang datang dari top leader tidak dapat terimplementasi ke level pelaksana di garis depan. Penulis menemukan juga di lapangan, pada level pelaksana masih ditemukan kekurangan personel atau ketidakmampuan menjalankan tugas karena faktor "the right person in the right place" belum terlaksana dengan baik.
Walaupun judul tulisan ini
tentang Tanah Papua, namun pengamatan dan penilaian penulis hanya terfokus pada
wilayah Provinsi Papua sebelum pemekaran, yang terdiri atas 29 kabupaten/kota.
Dengan asumsi bahwa pengamatan pada sebagian wilayah ini dapat mewakili keadaan
Tanah Papua secara menyeluruh. Inti yang ingin disampaikan penulis adalah keamanan dan pelayanan publik saling mempengaruhi, dan dalam
konteks Papua, mutu pelayanan publik dapat ditingkatkan dengan memberi
prioritas, koordinasi dan penempatan personel pelaksana yang sesuai dengan
prinsip "the right person in the right place".
Penulis :
Dr. Yohanes B.J. Rusmanta, M.Si.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Papua
Tulisan ini telah dipublikasi dalam buku berjudul "Membawa Keadilan dan Perdamaian Ke Tanah Papua" yang diterbitkan oleh UNPAR Pres (Bandung) Tahun 2024.