Pelayanan Publik Bagi Aspiring Middle Class
Pada tahun 2019, laporan Bank Dunia menyebut bahwa perekonomian Indonesia dalam 50 tahun terakhir tumbuh dengan rata-rata 5,6% setiap tahunnya. Menurut mereka, pertumbuhan ekonomi ini sangat berkaitan dengan bagaimana pemerintah memberikan pelayanan publik bagi warganya.
Salah satu pembahasannya mengenai keberadaan lima kelompok kelas ekonomi di Indonesia, yaitu masyarakat kelompok poor (miskin), kelompok vulnerable (rawan), kelompok aspiring middle (calon kelas menengah), kelas middle (kelas menengah), dan kelompok upper class (kelas atas). Kelompok ini dikategorikan berdasarkan pendapatan rata-rata per kapita dari tiap individu.
Dijelaskan
bahwa salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi
Indonesia adalah kelompok aspiring middle
class atau calon kelas menengah yang berpenghasilan 2 - 4,8 juta rupiah
per bulan. Dalam kehidupan sehari-hari, fasilitas dan pemenuhan kebutuhan
(pendidikan, kesehatan, sandang, pangan, maupun papan) yang dapat di akses oleh
masyarakat pada kelompok ini sangat terbatas.
Sebagai
perbandingan, masyarakat pada kelompok middle
class dan upper memiliki
pendapatan lebih tinggi sehingga mempunyai pilihan untuk menggunakan fasilitas
yang relatif lebih berkualitas dan mahal (seringkali dari pihak swasta). Misalnya
pendidikan untuk anak, fasilitas kesehatan dari rumah sakit, trasportasi
pribadi, dan pilihan tempat tinggal dengan rumah di daerah strategis.
Sementara
itu bagi kelompok aspiring middle pilihannya
mungkin terbatas untuk pendidikan sekolah negeri, berobat menggunakan BPJS pada
rumah sakit pemerintah atau puskesmas, fasilitas transportasi umum/publik yang
disediakan pemerintah, hingga tempat tinggal di rumah bersubsidi.
Di sini
terlihat bagaimana aspek kehidupan kelompok aspiring
middle lebih sering bersentuhan dengan pelayanan publik. Kualitas
pelayanan publik memberikan pengaruh signifikan terhadap kualitas hidup
masyarakat di kelompok ini. Berbeda dengan kelompok middle dan upper yang mungkin bisa memilih untuk tidak menggunakan akses pelayanan publik, dan
lebih memilih ke ranah pelayanan dari pihak swasta.
Kelompok
aspiring middle ini hampir
dipastikan ada di sekeliling kita, bahkan mungkin kita sendiri termasuk dalam
kelompok ini. Wajar, karena berdasarkan data, kelompok ini memiliki jumlah
populasi terbesar, yaitu sebanyak ±115 juta jiwa atau hampir separuh dari total
populasi warga di Indonesia.
Mengapa
kelompok aspiring middle memegang
peranan penting bagi perekonomian dan masa depan Indonesia? Karena dengan
jumlah populasi yang sedemikian besar tersebut, maka tingkat konsumsi dan daya
beli dari kelompok inilah yang kemudian mempengaruhi roda perekonomian di
Indonesia. Penghasilan yang terbilang secukupnya, seringkali membuat kelompok
ini hanya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa mampu berinvestasi atau
bahkan sekadar memiliki simpanan uang untuk kondisi tertentu/darurat.
Apabila
daya beli kelompok aspiring middle menurun,
dampaknya tidak hanya dirasakan oleh mereka, namun juga bagi seluruh kelas ekonomi
lainnya. Mulai dari perusahaan besar
yang bergerak di bidang barang dan jasa, Usaha Kecil dan Menengah, hingga Usaha
Mikro akan mengalami kerugian karena berkurangnya konsumen dan pasar, pada
ujungnya berdampak kepada pemutusan hubungan kerja, berkurangnya lapangan
pekerjaan, hingga berkurangnya investasi penanaman modal di Indonesia yang
tentunya membawa kerugian besar bagi Indonesia.
Kelompok
aspiring middle berada dalam
posisi yang masih rawan untuk jatuh ke kelas ekonomi di bawahnya yaitu vulnerable (rentan) hingga poor (miskin). Masalah seperti kehilangan pekerjaan, sakit parah atau kecelakaan
yang tidak mendapat perlindungan dari BPJS, hingga terjerat bunga hutang/kredit
dapat terjadi sewaktu-waktu dan masih menghantui kehidupan kelompok aspiring middle. Bertambahnya
jumlah kelompok vulnerable dan poor di Indonesia tentu sangat
dihindarkan, khususnya ketika jurang resesi ada di depan mata.
Menghadirkan
pelayanan publik yang berkualitas akan membawa dampak besar bagi kelompok aspiring middle. Hampir seluruh
aspek kehidupan masyarakat, mulai dari kelahiran, kehidupan sehari-hari, hingga
kematian tidak terlepas dari pelayanan publik. Persoalan administrasi
kependudukan, pendidikan, kesehatan, air bersih, pangan, papan, transportasi,
dan masih banyak lagi merupakan contoh urusan pelayanan publik yang akan selalu
dihadapi bahkan tidak hanya oleh kelompok aspiring
middle.
Apabila
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dapat dipenuhi melalui pelayanan publik
yang berkualitas, maka ini dapat memberikan 'ruang' bagi kelompok aspiring middle untuk bernafas dan
mulai menggunakan sumber dayanya untuk hal lain. Tidak hanya mendongkrak daya
beli, namun juga melakukan hal-hal yang dapat membantu meningkatkan taraf
hidup, misalnya menabung, berinvestasi, atau bahkan membuka lapangan pekerjaan baru
guna menghidupkan perekonomian.
Maka dari itu, peningkatan kualitas pelayanan publik merupakan salah satu solusinya. Dimulai dari pemenuhan salah satu kewajiban pemerintah selaku penyelenggara pelayanan publik sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yaitu pemenuhan standar pelayanan. Standar pelayanan adalah tolok ukur yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan teratur (Pasal 1 ayat 7).
Sekurang-kurangnya
terdapat 14 komponen standar pelayanan yang wajib dipenuhi oleh penyelenggara
pelayanan publik (Pasal 21). Namun pada praktiknya masih banyak penyelenggara
pelayanan yang belum mampu memenuhinya. Hal ini nampak dari hasil
survei/penilaian yang dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia dari tahun ke
tahun.
Kurangnya
kesadaran penyelenggara pelayanan untuk memenuhi komponen standar pelayanan
sangat berpotensi menimbulkan berbagai jenis maladministrasi di instansi
pelayanan publik, misalnya ketidakjelasan persyaratan dan prosedur,
ketidakpastian jangka waktu pelayanan, ketidakjelasan biaya sehingga
memunculkan potensi terjadinya pungutan liar, diskriminasi, petugas yang tidak
kompeten, dan berbagai bentuk maladministrasi lainnya yang merupakan celah
terjadinya tindakan korupsi.
Dengan memenuhi komponen standar pelayanan sesuai amanat Undang-Undang Pelayanan Publik, diharapkan terwujud kondisi ideal dimana tindakan maladministrasi dapat dicegah. Pemenuhan standar pelayanan juga memberikan keterbukaan informasi kepada masyarakat sehingga memperoleh akses yang mudah untuk menjangkau pelayanan dasar dan pada akhirnya dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, dalam hal ini khususnya adalah kelompok aspiring middle.
Rizki Arrida, Asisten Perwakilan Ombudsman RI Kalimantan Selatan