• ,
  • - +

Artikel

Pelapor dan Peran Asisten Ombudsman
• Rabu, 01/11/2023 •
 

"Birokrasi di Indonesia harus diubah, jika negara ini ingin maju!" katanya berapi-api.

Saya, hanyalah seorang Asisten Ombudsman Republik Indonesia yang bekerja di Perwakilan Provinsi Lampung. Baru satu dekade saya mengabdi melalui Lembaga ini. Apalah saya jika harus menjawab statement seorang Ibu yang usianya memasuki 7 (tujuh) dekade dan pengalamannya telah menembus beberapa negara di dunia. Statemen di atas, diucapkan oleh salah seorang Pelapor yang pernah saya tangani. Saat itu tengah menumpahkan kekesalannya dengan instansi yang ia laporkan dan beberapa instansi yang pelayanannya pernah ia akses.

Sebagai Asisten Ombudsman, menjadi tempat tumpahan kekesalan Pelapor tentu sudah menjadi hal yang biasa. Namun, izinkan saya mengeksplorasi sekelumit pengalaman pada saat memberikan pelayanan kepada beliau dan semoga bis akita peroleh beberapa hal berharga dari pengalaman ini. Meski sayangnya, setelah saya meminta izin kepadanya untuk membuat sebuah tulisan tentangnya, ia tidak berkenan untuk saya buatkan tulisan. Jikapun ingin membuat tulisan, tak perlu menyebutkan identitasnya. Menurutnya, biarlah itu menjadi amalannya saja.

Pertama kali ia hadir di Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Lampung pada awal Tahun 2022. Dari rekan saya sesama Asisten yang menerima laporannya, Saya tau, saat itu ia belum memiliki trust pada Ombudsman. Tapi mungkin menurutnya, kepada siapa lagi ia coba berharap. Ia menyampaikan laporan tentang permohonan pemasangan tiang listrik untuk 6 (enam) gang di salah satu kelurahan berpenduduk padat di Bandar Lampung. Setelah kami meninjau lokasi, memang sudah sangat layak lokasi tersebut untuk mendapat pemasangan tiang listrik. Karena kabel-kabel listrik terlihat menjuntai-juntai diantara batang pohon dan rumah penduduk, Sangat berbahaya untuk keselamatan. Uniknya, ia melaporkan kondisi di daerah yang bukan tempat tinggalnya. Ia menjadi kuasa dari sepupunya yang saat itu belum terlalu percaya diri untuk melaporkan permasalahan tersebut. Hasilnya? 14 tiang listrik terpancang dan kabel-kabel listrik tidak lagi terjuntai di sepanjang jalan diantara 54 rumah penduduk.

Sepanjang prosesnya, saya melihat bagaimana emosi sang Pelapor bisa bergerak naik turun, sesuai dengan kondisi yang terjadi. Pada awal melaporkan, ia begitu jengah, dan bahkan marah, menceritakan laporannya. Ia sangat heran. Seringkali saya mendengar ia membandingkan dengan kondisi di sejumlah negara maju. Ternyata ia memang telah menempuh Pendidikan Magister pada dua Universitas di dua negara, University of Warwick Coventry, West Midland UK dan School of Public Health Boston, Massachusetts USA. Ia pun telah menempuh pendidikan Doktor di UK. Pengalamannya sebagai seorang dosen juga telah menghantarkannya menjadi salah seorang konsultan WHO (World Health Organization). Jangan tanya bagaimana saya bisa mengetahuinya. Karena beberapa pengalaman itulah yang kerap ia sampaikan, lalu ia bandingkan dengan kondisi di Indonesia.

Seringkali tumpahan kekesalan, tambahan kronologis laporan, ataupun informasi terbaru tentang tindak lanjut Laporannya tersampaikan kepada saya melalui whatsapp diluar jam kerja, baik di malam hari, dini hari maupun subuh hari, meskipun selanjutnya ia minta maaf seraya menjelaskan bahwa ia melakukannya sambil mengisi kuliah di salah satu negara secara online (karena adanya perbedaan waktu). Saat itu, saya menanggapinya dengan senyuman getir. Sambil berucap "Tentu tidak bisa ibu bandingkan kondisi Indonesia dengan negara-negara maju", tentu saja dalam hati. Ah ya, Saya beritahu, sebagai seorang Asisten Ombudsman, menurunkan ego untuk tidak selalu mendebat pernyataan Pelapor, adalah salah satu keahlian yang harus dimiliki. Karena Asisten Ombudsman bekerja untuk menyelesaikan dugaan maladministrasi yang ada dalam sebuah laporan yang disampaikan masyarakat, dan bukan bertugas mendebat setiap hal yang disampaikan Pelapor maupun Terlapor meski kita merasa perlu mendebatnya.

Lalu, ketika akhirnya Laporan yang ia sampaikan telah terselesaikan, tentu juga atas dasar kesadaran pihak Terlapor yaitu PLN yang saat itu dengan segera menindaklanjuti Laporan Pelapor, Ia tak segan memuji segala kerja nyata yang telah ia lihat. Tidak hanya Ombudsman, tapi juga PLN. Tak cukup perkataan, pujian dan apresiasi ia sampaikan tertulis bahkan sampai kepada Ketua Ombudsman, Dirut PLN dan Menteri BUMN. Saat itu saya berfikir, apa ia tak berlebihan?

Lalu, ternyata di akhir Tahun 2022 ia kembali menyampaikan pengaduan. Kali ini tentang perbaikan jalan di rumahnya yang telah ia ajukan sejak Tahun 2020. Saat itu ia menyampaikan permohonan perbaikan jalan melalui bidang yang berbeda dengan yang seharusnya ia tuju. Disitulah awal mula muncul kemarahannya. Ia mengkritisi habis birokrasi di Indonesia. Menurutnya, di Inggris, di Jerman, atau di negara lain, kita tak harus selalu bersurat dan menunggu waktu birokrasi yang panjang untuk mengakses pelayanan atau untuk mendapatkan tanggapan atas komplain yang kita berikan. Berbagai bidang/bagian yang ada pada sebuah instansi ditujukan bukan untuk memperpanjang birokrasi, seharusnya untuk mempermudah. Apa sulitnya antar bidang saling berkomunikasi? Begitu kurang lebih yang ia sampaikan saat itu.

Sayapun berucap, tapi kali ini tidak di dalam hati, "Harapan Ibu sama dengan saya. Tapi inilah kondisi negara kita saat ini. Karena itu butuh banyak orang seperti Ibu untuk bisa membuat perubahan besar di Negara ini". Meski iapun semakin berapi, saya bak melihat seseorang sedang berorasi. Dan apa yang ia sampaikan sebenarnya saya setujui.

Ketika akhirnya Laporan ini berhasil ditangani, jalan telah dibangun dan sekitar 100 penerima manfaat bisa merasakan hasilnya (terdapat sekitar 19 rumah dengan 4 diantaranya kos-kosan), Ia kembali melayangkan sejumlah puji dan apresiasi, tidak hanya untuk Ombudsman tapi juga untuk Terlapor. Tidak sampai disitu, sepanjang laporannya ditindaklanjuti oleh Instansi Terlapor, ia kerap mengirimkan foto bahwa ia rutin memberikan makanan dan minuman kepada para pekerjanya. Ia pun menyampaikan tak segan mengetuk rumah para tetangga untuk bersama-sama ikut memberikan makanan kepada para pekerja secara bergantian. Ia berkata "Kita yang butuh lho, masa kita gak peduli", begitu kurang lebih.

Yang membuat saya sedikit terkejut, di surat ucapan terimakasih yang ia kirimkan kepada kami dan kepada Ketua Ombudsman Republik Indonesia, ia menyebutkan nama lengkap seluruh tim, tidak hanya saya selaku Asisten yang menangani laporannya. Ia menuliskan apresiasi untuk seluruh tim yang turun lapangan, juga Kepala Tim Riksa dan Kepala Perwakilan yang menandatangani Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) pun tak luput ia sebutukan ia sebutkan dalam suratnya.

Saat saya menyampaikan "Ibu, sebetulnya tidak perlu sampai seperti ini".

Maka jawabnya, "Negara ini masih butuh proses sangat panjang untuk bisa menyamai negara-negara maju. Satu hal yang sulit membuat kita menjadi negara maju, orang-orangnya seringkali tidak mau mengakui dan mengapresiasi kinerja dan karya anak bangsa". Ucapnya. Sayapun terdiam.

Itulah dia. Seorang ibu yang memasuki usia 7 dekade, telah melanglangbuana ke beberapa negara maju, dengan latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Saya sempat meminta CV beliau. Sayapun memastikan, dengan mencari sejumlah jurnal yang ia tuliskan. Mungkin ia tertawa jika membaca ini. Ya, saya sedang berupaya menghapus skeptis pada diri saya saat itu. Meyakinkan diri, bahwa sejumlah ungkapan kekesalan dan kemudian puja-puji dan apresiasi itu memang datang dari seorang Konsultan WHO, dari seorang dengan latar belakang sebagaimana yang ia sampaikan kepada saya. Dan hasilnya, ternyata benar.

Belakangan ia menyampaikan akan terbang ke Jerman untuk sebuah seminar, namun masih tertunda karena alasan kesehatan. Dan karena ia tetap memiliki rumah di Lampung, sangat mungkin ia akan menjadi Pelapor berulang di Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Lampung.

Setidaknya, saya temukan beberapa hal yang dapat dilakukan manakala ia nanti kembali hadir sebagai Pelapor di Ombudsman. Tentu hal-hal di bawah ini dapat dilakukan sembari kita berupaya semaksimal mungkin dalam penyelesaian laporan yang ia sampaikan. Ketika ia berapi-api mengungkapkan keresahannya, dengarkan sembari mengingat bahwa keresahan tersebut muncul dari seseorang yang telah melanglangbuana di beberapa negara maju. Wajar jika ekspektasinya terdengar terlalu berlebihan untuk kita, tapi tentu saja tidak untuknya. Lalu ajak ia resah bersama sembari mengingatkan akan realita di negara kita saat ini, tak lupa mengapresiasi dirinya yang telah turut berupaya membuat sebuah perbaikan. Lalu, ketika ia menghubungi kita diluar jam kerja, tak perlu dijawab, ia cukup faham. Tanggapi ketika telah memasuki jam kerja. Ketika ia mengirim whatsapp sangat panjang, kita bisa segera membacanya, tanpa harus langsung menjawab, belakangan ia sendiri yang menganalisa bahwa dengan beban kerja Ombudsman ternyata melebihi jumlah Asisten (hal ini ia lakukan dengan menghitung jumlah Asisten di Perwakilan Ombudsman dan jumlah laporan Ombudsman per tahun serta jumlah kabupaten/kota di Provinsi Lampung).

Lalu, ketika ia hendak memberikan apresiasi berupa surat ucapan terimakasih yang isinya sangat panjang, terimalah dengan senang hati. Karena ternyata itu adalah bagian dari komitmennya untuk memberi penghargaan kepada kinerja dan karya anak negeri. Hal itu juga merupakan salah satu upayanya untuk membuat negara ini selangkah demi selangkah semakin berkembang hingga suatu hari nanti akan menjadi negara maju.

Dari pengalaman ini dapat kita simpulkan, Asisten membutuhkan effort lebih dalam penyelesaian sebuah laporan pada Ombudsman Republik Indonesia yang disampaikan. Selain kelihaian dalam memaknai peristiwa dugaan maladministrasi dan harapan Pelapor yang disandingkan dengan peraturan terkait, kepiawaian dalam menghadapi berbagai ragam perilaku Pelapor tentu sangat dibutuhkan. Saya ingat salah satu hal yang hampir selalu disampaikan oleh pimpinan kami dalam setiap kegiatan yang kurang lebih secara substansi yaitu "jangan bandingkan para pengguna layanan di Ombudsman dengan pengguna layanan di hotel atau di tempat wisata. Pengguna layanan tempat wisata datang dengan hati yang riang, sementara pengguna layanan di Ombudsman tentunya datang membawa persoalan". Jika harus mengadopsi kalimat tersebut, mungkin sayapun dapat menyimpulkan, "jangan bandingkan seorang Pelapor yang mengakses pelayanan di negara kita saja, dengan seorang Pelapor yang telah terbiasa mengakses pelayanan publik di beberapa negara maju. Tentu ekspektasinya akan berbeda".

"Bravo, Ombudsman. Salam Hormat." akhir kalimat yang seringkali pada pesan whatsapp yang dikirimkan olehnya.



Atika Mutiara Oktakevina

Asisten Muda I 

Ombudsman Republik Indonesia





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...