• ,
  • - +

Artikel

Panglima Perang dan Tukang Minyak
• Selasa, 21/05/2024 •
 
Hadi Rahman - Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Selatan


Ada suatu kisah yang menarik dalam buku "The Incredible Habits" karya Dewi Indra. Di Tiongkok dahulu kala, ada seorang panglima perang yang terkenal karena keahlian memanahnya. Suatu hari, ia ingin memperlihatkan keahliannya ini kepada rakyat dan memerintahkan prajuritnya untuk menyiapkan papan sasaran dan seratus buah anak panah. Setelah siap, panglima masuk lapangan dan mulai memanah. Hasilnya luar biasa. Seratus anak panah dilepas, seratus pula tepat sasaran. Rakyat bersorak, "Panglima hebat!". Rakyat berdecak kagum dan memuji kehebatan sang panglima perang.

Di tengah keriuhan itu, muncul seorang tua penjual minyak menyeletuk, "Panglima memang hebat! Tapi itu keahlian yang didapat dari kebiasaan yang terlatih." Orang-orang lantas tercengang dan bertanya-tanya, apa maksud orang tua ini. Tukang minyak kemudian berucap "Tunggu sebentar". Dia lalu mengambil sebuah uang koin Tiongkok kuno yang berlubang ditengahnya. Koin itu diletakkan di atas mulut botol minyak yang kosong. Dengan yakin, si penjual mengambil gayung penuh berisi minyak dan selanjutnya menuangkan lewat lubang kecil di tengah koin tadi sampai botol minyak terisi penuh. Hebatnya, tidak ada setetes pun minyak yang mengenai permukaan koin tersebut. Orang-orang kembali bersorak, mengagumi keahlian sang tukang minyak.

Moral dari kisah dimaksud disimpulkan oleh sang penulis buku bahwa kebiasaan yang diulang secara terus menerus, akan melahirkan keahlian. Hasil dari kebiasaan yang terlatih dapat membuat sesuatu yang sulit menjadi mudah dan apa yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, keahlian merupakan modal dasar dan kewajiban yang harus dipenuhi. Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik jelas menetapkan bahwa pelaksana (pejabat, pegawai ataupun petugas) pelayanan publik harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugasnya, sebagai perwujudan dari asas keprofesionalan. Termasuk dalam penjabaran kompetensi yaitu kemampuan yang meliputi pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan pengalaman.

Maka wajar apabila masyarakat atau pengguna pelayanan publik khususnya menuntut pelaksana pelayanan publik adalah orang yang berkompeten dalam melayani. Faktanya, pengaduan dari masyarakat ke Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) terkait pelaksana yang tidak kompeten terus muncul setiap tahun. Hal ini merupakan suatu bentuk maladministrasi karena lalai atau abai dalam melaksanakan kewajiban penyelenggaraan pelayanan publik sehingga menimbulkan kerugian materiil maupun immateriil bagi masyarakat atau perorangan.

Bayangkan saja, misalnya, apabila dunia kesehatan kita dilayani oleh dokter dan tenaga kesehatan yang tidak memiliki keterampilan atau keahlian yang memadai serta tidak ditunjang dengan bukti atau pengakuan kompetensi yang legal. Seperti kasus-kasus yang viral dalam beberapa waktu terakhir. Pertama, bayi tertukar di Bogor dan kedua, dokter gadungan yang berpraktik di salah satu klinik di Jawa Tengah. Banyak contoh lain di luar dunia kesehatan. Seperti, kesalahan dalam pencantuman identitas diri pada dokumen administratif, kegagapan dalam pemanfaatan teknologi di satuan pendidikan dan kurangnya pemahaman terkait pemberlakuan regulasi baru. Tentu dalam hal ini banyak masyarakat yang merasa dirugikan.

Oleh karena itu penting kiranya agar pelaksana pelayanan publik berkomitmen untuk selalu meningkatkan kompetensi diri. Kompetensi adalah salah satu komponen dari standar pelayanan sekaligus area yang perlu mendapat atensi serius dari setiap penyelenggara pelayanan publik. Hal ini dengan mengingat hasil penilaian atau survei kepatuhan Ombudsman Kalsel tahun 2022 yang lalu dimana dari empat dimensi penilaian (Input, Proses, Output, Pengaduan) yang pencapaiannya paling rendah adalah Input. Termasuk sebagai variabel dari dimensi Input yaitu Kompetensi Pelaksana. Hasil tersebut merata ditemukan baik di lingkup pemerintah daerah, kepolisian resor maupun kantor pertanahan.

Peningkatan kompetensi merupakan hal yang sangat strategis untuk direalisasikan. Tidak boleh sebatas wacana, namun menjadi arus utama yang mewujud dalam aksi nyata. Harus dipandang sebagai kebutuhan dan investasi pada modal manusia (human capital), bukan beban yang memberatkan dan menghabiskan anggaran saja. Tidak pula sekadar formalitas atau asal ada, tetapi didesain secara sistematis dan komprehensif.

Sistematis dalam konteks penerapan siklus manajemen secara umum yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian, serta penetapan ke dalam program kerja penyelenggara pelayanan publik yang mencakup diantaranya bentuk kegiatan, indikator dan target kinerja, penanggungjawab dan peserta, waktu serta alokasi anggaran. Komprehensif dalam konteks materi dan metode pembelajaran yang digunakan-materi pada tingkat pemula, menengah hingga mahir yang menyangkut pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill) secara teknis, manajerial dan etis (kode etik dan standar perilaku); metode pembelajaran partisipatif baik di dalam kelas maupun di luar kelas, juga secara daring atau luring.

Cakupan materi yang termuat dalam kurikulum pembelajaran pelayanan publik bisa disesuaikan. Namun hal yang mendasar yaitu pelaksana pelayanan publik mau membaca dan memahami dengan utuh fungsi, tugas dan kewenangan jabatan serta hak, kewajiban dan larangan yang melekat didalamnya. Kemudian aspek-aspek substantif dalam pelayanan publik, antara lain komponen-komponen standar pelayanan, pengelolaan pengaduan, layanan khusus bagi kelompok rentan serta pengertian dan bentuk-bentuk maladministrasi. Termasuk pula beberapa aspek penunjang yang diperlukan, semisal kemampuan berbicara, menulis, mendengarkan serta mengendalikan emosi.

Tidak kalah pentingnya adalah kontinuitas dari berbagai upaya peningkatan kompetensi. Sebagaimana penulis buku di atas, pengetahuan dan keterampilan harus dipelajari dan dilatih dengan rutin, berulang-ulang, agar berubah menjadi kebiasaan dan menghasilkan keahlian yang melekat sebagai kompetensi pada diri setiap pelaksana pelayanan publik. Artinya, alam bawah sadarnya sudah bekerja dengan sendirinya untuk selalu memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai standar yang berlaku dan terhindar dari praktik-praktik maladministrasi.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...