• ,
  • - +

Artikel

Ombudsmanship: dari Revolusi ke Resolusi
• Selasa, 05/07/2022 •
 
Hasrul Eka Putra - Asisten Muda Ombudsman RI Perwakilan Sulsel

Ada dua istilah untuk menyebut warsa 1809 di Swedia. Kita bisa menyebutnya dengan "Kudeta 1809", atau dari perspektif berbeda, sebagai "Revolusi 1809".

Tahun itu adalah masa yang paling menentukan bagi bangsa Swedia. Perang antara Kerajaan Swedia dan Kekaisaran Rusia telah membuat bangsa Nordik terbesar itu rugi besar dan kehilangan wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Finlandia. Kekalahan itu membuat Raja Swedia, Gustav IV harus menghadapi kekecewaan dan kemarahan dari para pembesar di kerajaannya. Kudeta tak bisa lagi dielak. Autokrasi tumbang.

Setahun setelahnya, kekuatan baru di Swedia membentuk sebuah model pemerintahan yang sama sekali berbeda. Terinspirasi ajaran-ajaran Montesqueu, kekuasaan raja yang terpusat digantikan oleh konstitusi yang memisahkan antara eksekutif dan legislatif.

Undang-undang Riksdag yang terbit setahun kemudian memandatkan Riksdag kekuasaan untuk mengontrol adikara raja. The Riksdag Act of 1810 juga berisi kewenangan parlemen untuk menunjuk seorang konselor yang disebut "Riksdagens Ombudsman" atau Parliamentary Ombudsman.

Ombudsman ini dipilih oleh parlemen untuk melindungi hak-hak warga negara serta mengawasi implementasi hukum yang dijalankan oleh pengadilan dan penyelenggara layanan publik. Untuk mengemban tugas itu, konstitusi Swedia mensyaratkan bahwa seorang Ombudsman haruslah individu yang "dikenal karena pengetahuannya yang dalam tentang hukum dan kejujuran yang patut dicontoh".

Sejak itu, Ombudsman akhirnya muncul sebagai entitas kekuasaan baru yang dibutuhkan oleh sebuah negara moderen.


Adaptasi Seiring Zaman

Seratus tahun setelah Riksdagens Ombudsman Swedia berdiri, Finlandia mengadopsi total model tersebut dengan nama Eduskunnan Oikeusasiamies. Di negara semipresidensial ini, Ombudsman memiliki kewenangan yang lebih luas. Misalnya, dapat memulai proses pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh hakim agung, dan dengan mandat parlemen dapat menjadi jaksa penuntut umum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat-pejabat tinggi negara.

Berakhirnya Perang Dunia II juga turut mendorong ide tentang sebuah lembaga independen untuk menjamin hak-hak sipil semakin menyebar di Eropa. Setelah Finlandia, model institusi Ombudsman semakin bertransformasi dan beradaptasi dengan kebutuhan demokrasi negara modern.

Kita lihat misalnya pada 1952, Norwegia membentuk lembaga Ombudsman yang awalnya hanya memiliki kewenangan untuk mengawasi angkatan bersenjatanya. Negara Skandinavia lainnya, Denmark, turut membentuk lembaga independen ini pada 1953. Tahun 1967, Inggris Raya dan Kanada mendirikan pula institusi Ombudsman sebagai konsekuensi atas semakin banyaknya aduan ketidakpuasan warga pada layanan yang dijalankan oleh pemerintah. Dengan semakin meningkatnya public demand atas layanan publik, parlemen tidak cukup untuk menampung semua keluhan itu.

Ide tentang Ombudsmanship ini terus menyebar ke negara-negara Eropa dan Amerika. Pada 1981, Spanyol, seperti Finlandia, mengambil model Ombudsman Swedia dan mendirikan Ombudsman-Ombudsman wilayah sesuai dengan sistem federasi yang dianutnya. Jauh sebelumnya, di seberang Atlantik, Hawai tercatat sebagai negara bagian Amerika Serikat pertama yang mengadopsi model independsi Ombudsman melalui Undang-undang yang disahkan oleh legislatif Hawai pada 30 April 1967.

Tak berhenti di situ, Australia pada 1973 pun mulai memperkenalkan Ombudsman untuk didirikan di negara-negara bagian dan teritorinya. Begitupun negara-negara di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia yang mulai menginternalisasi konsep ini saat Presiden K.H. Abdurrahman Wahid, setahun setelah reformasi mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman.

Dari kilasan sejarah ini dapat kita pirsa bahwa konsep insitusi ini menyebar dengan cepat ke negara-negara yang semakin dituntut untuk akuntabel, transparan, serta melindungi hak-hak asasi manusia.


Organisasi Global

Semakin banyaknya negara yang membentuk lembaga Ombudsman akhirnya mendorong untuk membentuk sebuah wadah global. Sebuah forum yang dapat menghubungkan lembaga-lembaga Ombudsman di seluruh belahan dunia. Setelah diskusi panjang tahun 1978 didirikanlah International Ombudsman Institute (IOI) yang bersekretariat di Fakultas Hukum Universitas Alberta, Kanada. Organisasi ini memiliki misi untuk menjadi pusat jejaring bagi lembaga-lembaga Ombudsman di seluruh dunia untuk bertukar pengalaman melalui kajian-kajian, publikasi, dan forum-forum konferensi.

Hingga hari ini, IOI telah beranggotakan 200-an lebih lembaga Ombudsman yang berasal dari lebih dari 100 negara di seluruh dunia. Lembaga-lembaga Ombudsman ini datang dari berbagai level pemerintahan, juga dengan berbagai nama, bentuk serta kewenangan yang dimilikinya.

Selain pada level global, IOI juga mengorganisir enam chapter sebagai ajang pertemuan Ombudsman di tingkat regional. Dibentuklah chapter Afrika, Asia, Australia dan Pasifik, Eropa, Amerika Latin dan Karibia, hingga chapter Amerika Utara. Indonesia sendiri tergabung dalam Asosiasi Ombudsman Asia dan South East Asian Ombudsman Forum (SEAOF) sebagai bagian dari jaringan Ombudsman di tingkat kawasan.

Dengan semua keragaman itu, IOI mendasarkan dirinya pada semangat Ombudsmanship. Nilai untuk memastikan kekuasaan negara agar melindungi warga dari pelanggaran hak asasi, penyalahgunaan kewenangan, pembiaran, kebijakan yang tidak adil, dan jenis maladministrasi lain. Melalui nilai ini, Ombudsman di seluruh dunia memposisikan diri sebagai lembaga penjaga kepentingan publik dengan mempromosikan praktik-praktik pemerintahan yang baik.

Nilai ini menjadikan suara-suara minor berupa keluhan dari warga negara menjadi berarti. Yang dulunya hanya dianggap noise, kini menjadi voice. Warga merasa didengar, ditangani, dan dicarikan solusi atas permasalahan yang dia hadapi ketika berhadapan dengan kekuasaan birokratik negara. Nilai Ombudsmanship ini perlahan tapi pasti menjadi prinsip-prinsip yang berlaku umum dan diterima seacara global sebagai sebuah keharusan sejarah.


Resolusi PBB

Perjalanan panjang lembaga dan nilai-nilai Ombudsman semakin kukuh dan diakui setelah Majelis Umum PBB pada 16 Desember 2020 mengadopsi resolusi tentang "The role of Ombudsman and mediator institutions in the promotion and protection of human rights, good governance and the rule of law".

Melalui instrumen ini, peran Ombudsman dan nilai-nilai Ombudsmanship telah diadopsi menjadi suatu norma internasional. Resolusi ini juga mendorong agar negara-negara anggota PBB untuk membentuk lembaga Ombudsman, memperkuat lembaga yang ada dengan kerangka legislasi yang lebih kuat, serta menyediakan sumber daya anggaran untuk menjamin independensi dan kredilitas dari kerja-kerja Ombudsman.

Resolusi ini menjadi penting mengingat banyak lembaga-lembaga Ombudsman yang belum memiliki pijakan hukum yang kuat dalam sistem hukum nasional. Hal ini berakibat pada misalnya, kekuatan hukum dan moral rekomendasi yang keluarkan oleh Ombudsman, hingga adanya perlawanan dari instansi yang diawasi (seperti yang terjadi di Afrika Selatan dimana Ombudsman/Public Protector dituntut hukum oleh South Africa Reserve Bank).

Dalam konteks domestik, Indonesia sendiri telah memiliki pijakan hukum yang cukup kuat melalui UU 37/2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Kerangka legal ini telah memberikan Ombudsman RI hak-hak istimewa seperti hak untuk memanggil paksa (subpoena power) dan hak untuk tidak dituntut di muka pengadilan (imunitas). Hanya saja, sebagaimana yang didorong oleh Resolusi Majelis Umum PBB, masih terdapat banyak aspek hukum, kelembagaan, hingga penganggaran yang membuat gerak kerja Ombudsman RI menjadi terbatas dan belum bisa sepenuhnya menjalankan fungsi pengawasan dan penanganan pengaduan di Indonesia.

Di antara harapan dan keterbatasan-keterbatasan ini, Ombudsman terus hadir untuk memenuhi panggilan sejarahnya. Panggilan yang lahir dari hasrat mahardika untuk mengawasi kekuasaan sembari memperkuat hak-hak kewargaan. Panggilan untuk menciptakan suatu pemerintahan yang baik dan bersih. Yang melayani hidup dan kebahagian warganya. Yang mengingatkan kita pada pidato Thomas Jefferson di awal abad 19 lampau "The care of human life and happiness, and not their destruction, is the first and only object of good government". **


Hasrul Eka Putra

Asisten Muda Perwakilan Ombudsman RI Perovinsi Sulawesi Selatan





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...