Ombudsman RI sebagai Kuasi Legislatif
Ombudsman RI sebagai kuasi legislatif nampaknya dapat menjadi diskusi yang menarik. Kuasi legislatif adalah lembaga yang seolah-olah memiliki fungsi kewenangan untuk mengatur atau membentuk peraturan (regeling). Di dalam UU Nomor 37 Tahun 2008 sebagai dasar pembentukan Ombudsman RI, lembaga ini diberikan wewenang dalam hal berkaitan pembentukan undang-undang, yaitu setidaknya untuk menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), atau Kepala Daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah maladministrasi. Namun sejatinya kewenangan tersebut hanya bersifat aspiratif, bukan kewenangan yang bersifat inisiatif, yaitu kewenangan yang memang berada pada dirinya sendiri. Kewenangan aspiratif yang "formil". (Penulis katakan aspiratif yang formil dikarenakan kewenangan menyampaikan aspirasi untuk merubah peraturan diatur dalam undang-undangnya), karena sejatinya setiap orang atau setiap kelompok juga dapat menyampaikan saran dan usulnya kepada badan legislatif terkait pembentukan peraturan dan kewenangan tersebut.
Sebagaimana ajaran Trias Politica yang dicetus oleh Montesquieu (1689Â - 1755), seorang filusuf Prancis yang memisahkan kekuasaan negara menjadi tiga. Pertama, kekuasaan pembentuk undang-undang (legislatif). Kedua, kekuasaan untuk melaksanakan kebijakan, peraturan, dan undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif (eksekutif). Dan ketiga, adalah kekuasaan untuk menjalankan kekuasaan peradilan (yudikatif).
Berdasarkan ajaran Trias Politica tersebut Ombudsman sebagai Lembaga Negara dalam wewenangnya tentu berdasarkan kekuasaan negara. Mencoba mengklasifikasi fungsi dan wewenang dari Ombudsman tersebut, pertanyaan yang muncul yaitu, di manakah rumpun kekuasaan yang dijalankan Ombudsman berdasarkan fungsi dan wewenang Ombudsman dalam Undang-Undang Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia?
Berbicara mengenai kekuasaan legislatif yang pengemban utamanya dilaksanakan oleh DPR berdasarkan Konstitusi UUD 1945. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia kewenangan DPR sebagai lembaga legislatif utama bukan hanya membentuk peraturan khususnya Undang-undang, DPR juga memiliki fungsi lain sebagaimana Pasal 20A UUD 1945 yaitu fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Ketiga fungsi itu adalah pengejawantahan fungsi representatif seluruh elemen bernegara, dalam kehidupan berdemokrasi untuk mewujudkan pemerintahan yang transparan dan akuntabel berdasarkan konsep negara hukum modern.
Ombudsman adalah bagian dari rumpun kekuasaan legislatif atau kuasi legislatif. Ombudsman, dalam tafsir otentiknya (vide Pasal 1 angka 1 UU 37/2008) dikatakan sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Kata kuncinya adalah kewenangan mengawasi.
Sebagaimana telah disebutkan pada awal tulisan ini, sebagai kuasi legislatif, Ombudsman memiliki fungsi yang hampir sama dengan badan legislatif, fungsi itu berupa kewenangan untuk ikut dalam proses membentuk peraturan perundang-undangan walaupun sekadar bersifat aspiratif "formil", kemudian Ombudsman juga memiliki fungsi dalam hal pengawasan khususnya pelayanan publik oleh negara. Dua fungsi legislatif yang ada pada Ombudsman tersebut, kemudian dipertegas dengan adanya hak istimewa seperti yang diberikan pada badan legislatif yang juga diberikan kepada Ombudsman yaitu hak imunitas dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Hak imunitas itu ialah tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan.
Sebagai kuasi legislatif maka instrumen yang dimiliki oleh Ombudsman dalam melaksanakan fungsi dan wewenangnya, yaitu rekomendasi dan saran tidak bersifat seperti keputusan eksekutif yang mesti bersifat final individual dan konkret yang dapat langsung dilaksanakan oleh pejabat atau badan eksekutif yang bersangkutan.
Rekomendasi dan saran Ombudsman juga bukan merupakan suatu putusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat dan memiliki kekuatan eksekutorial (non legally binding), karena tidak dibuat berdasarkan kewenangan mengadili dan tidak diputuskan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.
Rekomendasi dan saran Ombudsman merupakan instrumen pengaruh terhadap pelaksanaan jalannya pemerintahan, maka dari itu sebagai kuasi legislatif, Ombudsman harus mengedepankan diri sebagai lembaga pengaruh (magistrature of influence). Rekomendasi dan saran Ombudsman harus memiliki daya pengaruh terhadap perbaikan peraturan perundang-undangan serta perbaikan terhadap pelaksanaan jalannya pemerintahan. untuk mengefektifkan hal tersebut, rekomendasi dan saran Ombudsman perlu disinergikan dengan pengembangan budaya birokrasi yang dilembagakan dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil dan makmur; mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme; meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik, dan lain sebagainya sebagai upaya mewujudkan cita-cita negara.
Selain sebagai kuasi legislatif, kewenangan Ombudsman juga telah diperluas berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009, khususnya terkait perkara tuntutan ganti kerugian terkait pelayanan publik (vide Pasal 50 ayat (5)), dikatakan Ombudsman dapat melakukan mediasi, konsiliasi dan ajudikasi khusus. Kewenangan untuk melakukan ajudikasi khusus ini telah menempatkan Ombudsman sekaligus sebagai kuasi yudikatif, hal ini karena hasil akhir dari proses ajudikasi adalah merupakan sebuah putusan yang mengikat bagi para pihak, walau dalam pelaksanaan ajudikasi oleh Ombudsman masih belum dapat dilaksanakan, karena belum adanya instrumen administratif dalam pelaksanaan putusan ajudikasi yang tersebut.
Penulis: Mas Agus Aqil