• ,
  • - +

Artikel

Mewujudkan Sekolah Aman
• Selasa, 15/04/2025 •
 
Zayanti Mandasari, Asisten Ombudsman

Sekolah merupakan salah satu tempat dimana anak banyak menghabiskan waktunya, baik untuk belajar, bermain, bersosialisasi, serta sebagai ruang pembelajaran kehidupan, khususnya tingkah laku, baik dari guru sebagai tenaga pendidik, maupun dari teman-temannya di sekolah. Oleh karena itu pendidikan melalui sekolah merupakan salah hal yang sangat penting. Selain proses pendidikannya, lingkungan sekolah juga harus dapat memberikan rasa aman kepada seluruh komponen yang ada di dalamnya, baik tenaga pendidik dan/atau tenaga kependidikannya, hingga peserta didiknya.

Tentu kita masih ingat bagaimana seorang siswa di salah satu sekolah favorit tingkat atas di Banjarmasin tega menganiaya temannya dengan senjata tajam, hingga mengalami luka tusuk di beberapa bagian tubuhnya, dan harus membutuhkan perawatan kesehatan secara intensif. Mirisnya aksi siswa tersebut digadang-gadang karena luka batin yang disebabkan oleh aksi bulliying yang dilakukan korban kepada pelaku dalam waktu sejak lama. Rupanya ada dendam yang kemudian tak tertahan lagi, sehingga memutuskan untuk membalasnya dengan cara yang tak seharusnya dilakukan oleh siswa yang bestatus pelajar.

Peristiwa kekerasan di sekolah juga menimpa seorang anak kelas 2 SD di Kabupaten Sukabumi. Korban mendapatkan perundungan di belakang sekolah, dan dikeroyok teman seangkatan dan kakak kelasnya. Korban mengalami luka di bagian dada, punggung, kepala dan rahang, sempat mendapatkan perawatan medis, namun korban akhirnya dinyatakan meninggal dunia.

Di Perwakilan Ombudsman RI Perwakilan Kalsel, juga beberapa kali menangani laporan tentang kekerasan dalam lingkungan sekolah, baik secara verbal yang dilakukan oleh teman sekolahnya, hingga tindakan yang dilakukan oleh oknum tenaga pendidik, yang berakibat siswa merasa tidak nyaman, hingga memutuskan untuk tidak masuk dalam proses pembelajaran disekolah. Senada dengan hal tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga merilis data terkait anak yang menjadi korban kekerasan di sekolah, yang berjumlah 251 anak (6-12 tahun), dengan rincian sebanyak 99 anak menjadi korban kekerasan fisik, 88 kekerasan psikis, 78 kekerasan seksual, 1 eksploitasi, 5 penelantaran, dan 35 kekerasan lainnya. Bahkan untuk anak pada kelompok usia 13-17 tahun, sebanyak 208 menjadi korban kekerasan di sekolah, dengan rincian 51 anak menjadi korban kekerasan fisik, 84 kekerasan psikis, 76 kekerasan seksual, 4 eksploitasi, 1 penelantaran, dan 23 kekerasan lainnya (data pada bulan Januati-April 2023).

Masih tingginya angka kekerasan di sekolah tentu menjadi pengingat bagi kita semua untuk bersinergi dalam mewujudkan sekolah aman bagi peserta didik di semua tingkatan, baik SD, SMP, hingga SMA/sederajat. Lantas bagaimana caranya? Dan siapa saja yang dapat berkontribusi untuk menciptakan sekolah aman tersebut? Jika merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Di Lingkungan Satuan Pendidikan, telah ditetapkan apa saja cara dan langkah-langkah yang harus dilakukan demi mewujudkan sekolah aman bagi peserta didik.

Dilihat dari tanggung jawab sekolah sebagai penyelenggara pendidikan, untuk mewujudkan sekolah aman pihak sekolah penting untuk melakukan beberapa hal seperti, menyusun dan menerapkan Prosedur Operasi Standar (POS) pencegahan tindak kekerasan dengan mengacu kepada pedoman yang ditetapkan Kementerian. Setelah disusun, kemudian sekolah juga mempunyai kewajiban untuk melakukan sosialisasi POS tersebut, sebagai upaya pencegahan tindak kekerasan kepada peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali, komite sekolah, dan masyarakat. Tak hanya menyusun dan melakukan sosialisasi, pihak sekolah juga wajib untuk membentuk Tim Pencegahan Tindak Kekerasan yang terdiri dari kepala sekolah, perwakilan guru, perwakilan siswa dan perwakilan orang tua/wali. Serta melakukan sosialisasi, pemantauan (pengawasan dan evaluasi) paling sedikit setiap 6 (enam) bulan sekali terhadap pelaksanaan pencegahan tindak kekerasan yang dilakukan oleh satuan pendidikan, serta mengumumkan hasil pemantauan tersebut kepada masyarakat. Hal ini sebagai bentuk transparansi dan komitmen dalam mencegah dan memerangi kekerasan terahdai anak di sekolah.

Untuk memudahkan baik peserta didik, tenaga pendidik, atau orangtua peserta didik, pihak sekolah juga diwajibkan untuk memasang papan layanan pengaduan tindak kekerasan pada serambi satuan pendidikan yang mudah diakses oleh peserta didik, orang tua/wali, guru/tenaga kependidikan, dan masyarakat yang paling sedikit memuat: laman pengaduan http://sekolahaman.kemdikbud.go.id, layanan pesan singkat ke 0811-976-929, telepon ke 021-5790-3020 atau 021-570-3303, faksimile ke 021-5733125, email laporkekerasan@kemdikbud.go.id, nomor telepon kantor polisi terdekat, nomor telepon kantor Dinas Pendidikan setempat dan nomor telepon sekolah, sebagaimana ketentuan 8 ayat 1 huruf i Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015.

Disisi lain, pihak sekolah melalui tenaga pendidik juga sangat berperan dalam menggaungkan sekolah aman kepada peserta didik. Misalnya mengajarkan konsep sederhana bagaimana prilaku yang boleh dan tidak boleh untuk dilakukan (yang masuk dalam ketegori perilaku kekerasan), baik dalam konteks interaksi sesama teman, ataupun dengan guru di sekolah. Atau mengedukasi anak untuk terbuka dan berani bercerita kepada guru jika mendapati suatu tindakan bulliying atau tindak kekerasan yang dialaminya. Karena pada dasarnya anak, terlebih yang masih duduk di bangku sekolah dasar, belum mempunyai banyak referensi terkait hal-hal atau tindakan yang masuk dalam kategori kekerasan di lingkungan sekolah. Tak hanya mendengarkan cerita peserta didik yang menjadi korban kekerasan, pihak guru juga melakukan tindak lanjut baik dengan cara yang paling sederhana, misalnya menasehati pelaku dan juga korban, hingga memberitahu kepada masing-masing orangtua/wali peserta didik masing-masing, sehingga permasalahan yang dihadapi anak dapat diselesaikan bersama-sama, tidak harus membebani dan menuntut guru untuk menyelesaikan masalah tersebut, mengingat tugas mendidik juga merupakan tugas berat yang sedang diemban guru.

Tak berhenti pada sekolah dan tenaga pendidik/guru sebagai penyelenggara layanan pendidikan, menggaungkan dan mewujudkan sekolah aman juga menjadi tanggung jawab orangtua/wali tiap-tiap peserta didik. Dengan cara aktif berpartisipasi dan mengikuti perkembangan anak, baik melalui rapat rutin ataupun melakukan follow up terhadap informasi yang diberikan guru, khususnya informasi terkait mungkin anaknya menjadi korban kekerasan dan/atau anaknya telah menjadi pelaku. Tentu orangtua/wali peserta didik harus melakukan tindak lanjut, untuk memperbaiki dan berperan dalam memberikan arahan/bimbingan kepada anaknya (misal sebagai pelaku), untuk orangtua dalam posisi anak sebagai korban juga harus menanggapi dengan bijak, dalam artian tidak langsung menyudutkan pihak guru dengan menyatakan lalai menjaga anaknya disekolah, atau malah secara terang-tengan memaarahi anak/orangtua/wali si pelaku, sehingga berpotensi menyebabkan permasalahan akan semakin luas. Pada prinsip selama permasalahan masih dapat diselelesaikan dengan semua pihak terkait, baiknya diselesaikan melalui forum resmi yang difasilitasi oleh pihak sekolah ataupun instansi pembina di atasnya, namun memang permasalahan kekerasan di sekolah tersabut sudah tidak dapat diselesaikan oleh semua pihak terbaik, bahkan perbuatannya masuk alam konteks pidana, maka pihak korban tentu berwenang untuk membawanya ke ranah hukum, tentunya tidak diperkenankan pihak sekolah untuk melakukan intervensi kepada orangtua, mengingat semua hal tersebut dilakukan sebagai bentuk upaya mewujudkan sekolah aman bagi semua.  

Oleh:

Zayanti Mandasari

Asisten Ombudsman











Loading...

Loading...
Loading...
Loading...