Menyoal Mekanisme Klaim JHT
Seorang pelaut, ia merasa kecewa karena tak ada kepastian terhadap pencairan klaim Jaminan Hari Tua (JHT) miliknya di salah satu BPJS Ketenagakerjaan di Kalimantan Selatan. Masalah muncul saat pelaut tersebut sudah tidak bekerja lagi, tidak menerima upah dari perusahaan tempatnya bekerja, namun perusahaan tersebut terus membayar iuran kepesertaan Program JHT miliknya. Sehingga ia tidak dapat mencairkan uang JHT yang seharusnya bisa didapat sebagai pegangan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya setelah tidak bekerja lagi. Pelaut tersebut merasa putus asa, hingga akhirnya memutuskan untuk menyampaikan masalahnya ke Ombudsman RI Kalsel.
Dalam perjalanan mendapatkan hak klaim JHTnya, pelapor sudah sering bolak balik ke perusahaan meminta dihentikan pembayaran iuran JHTnya, tetapi permintaan tersebut selalu diabaikan dengan alasan yang tidak jelas. Ia pun datang ke BPJS Ketenagakerjaan meminta dicarikan solusi, BPJS Ketenagakerjaan meminta pelapor kembali datang ke perusahaan untuk meminta Surat Keterangan Pernah Bekerja dan meminta menonaktifkan kepesertaannya dulu. Namun, tetap saja pihak perusahaan tidak mau memberhentikan pembayaran iuran JHTnya. Sehingga BPJS Ketenagakerjaan tidak dapat memproses permohonan pencairan JHT. Lantas bagaimana nasib pelaut tersebut? Kewenangan siapa sebenarnya terkait proses klaim JHT tersebut? Apakah BPJS Ketenagakerjaan, atau pihak perusahaan? Mengapa orang yang terkena PHK harus bolak balik dan tidak mendapat layanan.
Program Jaminan Sosial merupakan program perlindungan yang bersifat dasar bagi tenaga kerja yang bertujuan untuk menjamin adanya keamanan dan kepastian terhadap risiko-risiko sosial ekonomi. Program JHT bertujuan untuk menjamin dan memberikan perlindungan bagi tenaga kerja yang sudah berhenti bekerja, baik karena memasuki masa tua, sakit/cacat dan pemberhentian oleh diri sendiri maupun karena terkena pemutusan hubungan kerja dari perusahaan.
Hak kelangsungan hidup adalah hak atau sesuatu yang harus diterima oleh seseorang untuk melangsungkan hidupnya. Setelah memasuki masa tua, aktivitas bekerja seorang tenaga kerja akan berkurang atau tidak produktif lagi. Sehingga ketika memasuki masa tua, orang akan mengalami perubahan dan menuntut penyesuaian diri terutama dalam menghadapi masalah keuangan. Maka dari itu pemerintah hadir dengan membuat kebijakan memberikan jaminan pada tenaga kerja melalui program JHT yang dijalankan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Jika dilihat dalam Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, menyatakan bahwa "Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti". Setiap perusahaan atau pemberi kerja wajib untuk mendaftarkan karyawannya sebagai peserta BPJS (kesehatan maupun ketenagakerjaan).
Perusahaan yang tidak mendaftarkan karyawannya tentunya akan mendapatkan sanksi administratif, baik itu teguran tertulis yang dilakukan oleh BPJS, denda, dan tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Ini dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah atas permintaan BPJS. Untuk itu, sebaiknya perusahaan menjalankan program ini sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Surat keterangan kerja tak hanya memuat informasi rentang waktu karyawan bekerja. Namun surat ini digunakan untuk mencairkan dana JHT sekaligus referensi memperoleh pekerjaan baru. Bagaimana jika perusahaan menolak memberikannya? Jika perusahaan tidak memberikan Surat Keterangan Kerja, maka dilakukan pendekatan kekeluargaan. Jika hal itu tidak berhasil, kedua pihak memasuki masalah perselisihan hak bidang ketenagakerjaan atau perburuhan. Perusahaan berkewajiban untuk memberikan Surat Keterangan Kerja kepada karyawannya. Baik yang mengajukan pengunduran diri maupun terkena PHK, serta yang berstatus pegawai tetap ataupun kontrak.
BPJS Ketenagakerjaan bertanggung jawab dalam memproses pencairan Program JHT milik peserta yang telah memenuhi syarat dan prosedur. BPJS Ketenagakerjaan dapat dicairkan oleh peserta yang telah resign atau tidak berstatus aktif bekerja di mana pun, asalkan memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku, namun terdapat beberapa kasus penolakan yang dilakukan oleh pihak BPJS Ketengakerjaan dengan alasan yang beragam, contohnya pertama, akibat kartu peserta belum dinonaktifkan oleh perusahaan, akhirnya tidak bisa melanjutkan pengajuan klaim dana JHT. Peserta diwajibkan terlebih dahulu oleh pihak BPJS Ketenagakerjaan untuk menonaktifkan kepesertaan tersebut agar bisa diproses lebih lanjut untuk mencairkan dana JHT, padahal untuk syaratnya sudah memenuhi seperti yang dimintakan oleh BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan form yang sudah disediakan, dengan melampirkan, KTP, KK, Surat Keterangan Berhenti Bekerja dari perusahaan dan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial .
Persyaratan yang dilampirkan sudah sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 44 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua, meliputi Kartu Peserta BPJS Ketenagakerjaan, Kartu Tanda Penduduk atau bukti identitas lainnya, dan tanda terima laporan pemutusan hubungan kerja dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenegakerjaan, atau surat laporan pemutusan hubungan kerja dari pemberi kerja kepada instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, atau pemberitahuan pemutusan hubungan kerja dari pemberi kerja dan pernyataan tidak menolak PHK dari pekerja, atau perjanjian bersama yang ditandatangani oleh pengusaha dan pekerja/buruh, atau petikan atau putusan pengadilan hubungan industrial.
Kedua, penolakan karena pihak BPJS Ketenagakerjaan meminta kelengkapan surat keterangan bekerja dari perusahaan pemberi kerja, hal tersebut tidak relevan karena ia sudah putus hubungan kerja dengan perusahaan, telah berhenti bekerja dan sudah tidak lagi menerima upah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 Angka 15 Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Berdasarkan uraian di atas, menurut analisis penulis pada alasan mengenai penolakan oleh pihak BPJS Ketenagakerjaan tersebut tidak berdasar, karena berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 44 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua, tidak ada ketentuan untuk menonaktifkan kartu peserta terlebih dahulu baru bisa mencairkan JHT peserta BPJS Ketenagakerjaan. Sehingga patut menjadi perhatian agar tidak terulang kembali kepada peserta yang lain. Jika memang itu sudah menjadi ketentuan seharusnya ada regulasi yang jelas agar peserta tidak merasa dirugikan.
Apabila meninjau permasalahan yang ada di BPJS Ketenagakerjaan, acuan untuk pengajuan klaim JHT di Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 44 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua perlu diamandemen kembali agar penyelenggaraan pelayanan publik BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada demi terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Pelapor berupaya menonaktifkan kepesertaan JHTnya tapi tidak bisa, solusinya seperti apa? Terkait permasalahan di atas, dalam hal ini pelapor yang sudah berupaya untuk menonaktifkan kepersertaan BPJS Ketenagakerjaan, tetapi dari pihak perusahaan pemberi kerja dan BPJS Ketenagakerjaan tidak membantu pelapor untuk mendapatkan haknya, yaitu mendapatkan dana JHT yang dapat dicairkan setelah pekerja sudah tidak lagi bekerja dan tidak mendapat upah.
Siapa sebenarnya yang wajib untuk menonaktifkan kepesertaan JHT pekerja yang sudah berhenti bekerja karena Pemutusan Hubungan Kerja? Hal ini belum diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja maupun Peraturan Perundang-Undangan. Jika regulasi yang dibuat belum mencakup ke sana, seharusnya BPJS Ketenagakerjaan selaku Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dapat membantu penonaktifan pekerja yang sudah jelas diberhentikan dengan Surat Pemberhentian Kerja atau Putusan Pengadilan Hubungan Industrial sehingga tidak terjadi pelayanan publik yang berlarut-larut.
Untuk mengatasi beberapa permasalahan layanan pencairan Program JHT, nampaknya pemerintah dapat mempertimbangkan beberapa solusi berikut, pertama, Standar Oprasional Prosedur harus diperbaiki. Permasalahan terkait kesulitan untuk mencairkan Program JHT harus kita akui terjadi karena faktor sosialisasi yang sangat minim terhadap masyarakat, tentang regulasinya, termasuk tata cara klaim. Perlunya komunikasi yang baik antara BPJS Ketenagakerjaan dengan perusahaan pemberi kerja.
Kedua, agar tata cara dan persyaratan pembayaran JHT disederhanakan, dipermudah, supaya dana JHT bisa diambil oleh pekerja yang sedang mengalami masa-masa sulit, terutama yang mengalami PHK. Diperlukan solusi yang tepat agar tata kelola layanan BPJS Ketenagakerjaan dapat berpihak kepada peserta atau pengguna layanan dan perusahaan harus bertanggung jawab terhadap para pekerja yang sudah diberhentikan untuk segera menonaktifkan pekerja dari Program JHT dan melaporkan dokumen-dokumen yang penting kepada BPJS Ketenagakerjaan, sehingga para penerima manfaat tidak kesulitan untuk mencairkan JHT yang menjadi haknya.
Wildan Fauzi Muchlis, SH., MH.
Calas Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Selatan