Menyoal Kesejahteraan Sosial
Pelayanan publik terhadap Penyandang Masalah Kesejahteran Sosial (PMKS), hingga sekarang belum optimal. Walaupun dari sisi regulasi sudah diatur, tetapi implementasi dari regulasi itu masih setengah hati. Masih jauh panggang dari api. Banyak PMKS yang luput dari perhatian pemerintah. Terlebih di masa pandemi ini.
PMKS merupakan perorangan, keluarga atau kelompok masyarakat yang sedang mengalami hambatan sosial, moral dan material, menyebabkan mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan minimum, baik jasmani, rohani maupun sosial. Sehingga memerlukan bantuan orang lain atau pemerintah untuk memulihkan dan dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Pemulung, pengemis, gelandangan, penyandang disabilitas, korban bencana, korban kekerasan, fakir miskin, tuna susila, anak jalanan, anak terlantar, dan sederet orang yang mengalami hambatan sosial lainnya. Mereka itu dikategorikan sebagai PMKS. Setidaknya ada 22 kriteria, yang tergolong sebagai PMKS.
Faktor sosial dan ekonomi, disebutkan jadi biang pemicunya. Fenomena meningkatnya PMKS, terlebih saat pandemi Covid-19, perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Dampak dari pandemi Covid-19, turut menyumbang angka kenaikan PMKS. Seperti yang kita temui di sepanjang jalan, banyak bermunculan pengemis berkostum badut. Yang membuat kita miris, sebagian dari mereka merupakan anak usia sekolah. Fenomena badut jalanan ini, meningkat dikarenakan tidak adanya sekolah tatap muka. Badut ini ada koordinatornya. Anak-anak menyewa kostum badut lengkap dengan atributnya. Hasil dari minta-minta di jalan, kemudian dibagi dua. Separuh untuk anak, separuh untuk pemilik kostum.
Ada larangan untuk memberikan uang kepada anak jalanan atau pengemis di tempat umum. Jika melanggar, si pemberi dikenakan sanksi denda. Namun, aturan ini tidak ada yang menegakkannya. Tidak ada yang mengawal pelaksanaannya. Di satu sisi aturan ini baik, karena ketika mereka tidak memperoleh uang, maka lambat laun akan meninggalkan kegiatan mengemisnya. Pada sisi lain, jika tidak ada yang memberi, maka siapa yang mengasih makan. Selain karena masalah mentalitas, mereka juga tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Akhirnya, sebagian dari mereka, memilih mengemis di jalanan.
Menyoroti PMKS, tidak hanya gelandangan dan pengemis. Orang lanjut usia yang tidak mempunyai tempat tinggal, Orang Dengan Gangguan Jiwa, penyandang disabilitas, anak jalanan, masih banyak kita temui berkeliaran di jalan. Mereka memilih jalanan, sebagai ladang mencari rezeki. Mereka mengharap uluran tangan dari sesama. Karena, mengharap bantuan dari pemerintah, belum tentu didapat.
Problem PMKS, jika tidak ditanggulangi secara terarah, terpadu dan berkelanjutan, maka akan menimbulkan citra buruk terhadap pemerintah. Pemerintah harus aktif menjangkau orang atau kelompok yang masuk dalam kategori PMKS. Jangan sampai pemerintah melihat mereka sebagai warga kelas dua, dan mengabaikan kewajibannya. PMKS berhak mendapatkan pelayanan sosial dari negara. Agar mereka dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.
Penanggulangan PMKS juga harus mendapat dukungan dan peran serta dari masyarakat. Tidak ketinggalan dunia usaha, akademisi, pekerja sosial, pemerhati, relawan sosial hingga Lembaga Swadaya Masyarakat. Kolaborasi beberapa pihak tadi, setidaknya dapat mengurangi beban pemerintah dalam menanggulangi masalah sosial.
Dunia usaha dapat berperan memberikan sumbangan untuk kegiatan kesejahteraan sosial. Selain itu, dunia usaha juga dapat menampung PMKS yang potensial dan memiliki keterampilan. Ini akan tercipta, kalau ada kolaborasi yang baik antara pemerintah dengan dunia usaha. PMKS yang telah mendapatkan pelatihan, bisa dicarikan pekerjaan oleh pemerintah yang telah bekerja sama dengan sektor swasta.
Agar masyarakat dapat berperan lebih aktif, maka pemerintah perlu meningkatkan kapasitas sukarelawan sosial. Karena mereka inilah yang berada paling depan dan paling cepat, ketika terjadi bencana alam. Seperti ketika terjadi bencana alam, mereka ini yang membantu pemerintah mendisribusikan bantuan sosial kepada PMKS.
Di tingkat kecamatan, penting untuk menambah sumber daya manusia Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK). Terbatasnya SDM TKSK di satu kecamatan, menyebabkan pelayanan sosial tidak optimal. Peraturan Menteri Sosial Nomor 28 Tahun 2018 tentang Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan, perlu direvisi. Aturan ini membatasi, tiap kecamatan, hanya satu TKSK. Sementara, di berbagai daerah, luas wilayah tidak sama. Ada satu kecamatan yang membawahi 26 desa. Sementara, di kecamatan itu, hanya ada satu TKSK. Tentu tidak bisa optimal dalam memberikan layanan bantuan sosial kepada PMKS. Misalnya melakukan bimbingan sosial, penyaluran beras Prasejahtera, pendampingan Program Keluarga Harapan dan penyandang disablitas. Tugas TKSK tidak hanya melakukan fasilitasi dan koordinasi, namun tugas administrasi seperti pelaporan. Tidak adil, jika sederet kegiatan dilakukan hanya oleh satu orang. Selain itu, perlu dukungan biaya operasional bagi TKSK.
Pemerintah daerah, juga perlu membentuk Tim Terpadu pengangulangan PMKS. Tim terpadu diisi oleh Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Dinas Pendidikan, Dinas Perhubungan, Satuan Polisi Pamong Praja serta pelibatan instansi vertikal seperti kepolisian, Ombudsman RI maupun Kementerian Hukum dan HAM RI.
Dengan adanya Tim Terpadu tersebut, memudahkan pemerintah dalam melakukan penjangkauan sosial PMKS yang berada di tempat umum. Kegiatan ini secara berkelanjutan terus dilakukan. Petugas secara rutin melakukan pengawasan di titik rawan PMKS. Apalagi saat Ramadhan dan menjelang Idul Fitri.
Keterbatasan SDM di instansi yang menangani PMKS, dapat diatasi dengan melibatkan peran serta masyarakat. Pemerintah daerah dapat membuat aplikasi atau kontak pengaduan (Telepon/SMS/WhatsApp) terkait masalah PMKS. Sehingga masyarakat bisa secara cepat menyampaikan laporan, jika menemukan PMKS yang belum terjangkau. Masih banyak Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) berkeliaran di jalan. Orang lanjut usia yang tidak mempunyai tempat tinggal. Penyandang disabilitas yang belum mendapat bantuan. Terkadang, karena tidak adanya sarana menyampaikan pengaduan. Akhirnya, masyarakat hanya bisa melihat dan berkecil hati. Dengan adanya sarana pengaduan, masyarakat bisa membantu.
Porsi anggaran untuk kegiatan penyelenggaraan kesejahteraan sosial, juga harus besar. Tidak hanya bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur yang jadi titik perhatian. Layanan kesejahteraan sosial juga merupakan pelayanan dasar. Oleh karenanya, dukungan anggaran untuk perangkat daerah yang menangani masalah sosial, sangat penting. Sehingga seluruh program dan kegiatan pelayanan kesejahteraan sosial, dapat berjalan maksimal. Misalnya penjemputan terhadap ODGJ dan perawatan sampai sembuh di Rumah Sakit Jiwa. Tentunya memerlukan biaya tidak sedikit. Contoh lainnya pemulangan gelandangan ke daerah asalnya. Ini juga memerlukan biaya besar. Petugas dari Dinas Sosial harus mendampingi. Jika tidak, bisa jadi dalam perjalanan, orang tersebut, kembali lagi atau berpindah ke daerah lain. Koordinasi antar instansi juga sangat penting. Tidak jarang ada PMKS yang lupa alamat tinggal. Sementara tidak ada identitas diri. Dinas Sosial bisa berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, untuk melakukan identifikasi melalui sidik jarinya.
Begitu juga dengan penyandang disablitas yang tidak memiliki identitas diri, sehingga kesulitan mendapatkan bantuan dari pemerintah. Dinas Kependudukan bisa membantu mereka dengan melakukan perekaman data diri.
Program penanganan PMKS harus dilakukan secara berkelanjutan. Mulai dari bantuan pangan dan sandang, layanan kesehatan, pendidikan hingga akses untuk bekerja dan berusaha. PMKS yang potensial, diberikan bantuan dana untuk memulai usaha. Orang yang lanjut usia diberdayakan dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang ringan. Agar mereka tidak cepat pikun dan ada kesibukan yang dikerjakan. Anak jalanan yang telah dikembalikan kepada orang tua, diberikan bantuan biaya pendidikan. Ini untuk mencegah mereka kembali ke jalan.
Selain itu, yang tidak kalah penting, penanganan PMKS melibatkan pemuka agama. Sebagai contoh pengemis. Mengemis terkadang soal mentalitas, oleh karena itu, pendekatan dari sisi agama juga penting.
Penanganan PMKS tidak bisa dibebankan kepada pemerintah semata. Perlu dukungan semua pihak. Karena semua agama mengajarkan sikap saling membantu. Tolong menolong dalam kebaikan.
Sopian Hadi, S.H., M.H.
Asisten Ombudsman RI Perwakilan Kalsel