Menyoal Fenomena Obat Tidak Tersedia
Obat tidak tersedia, bukan hal baru dalam potret layanan kesehatan. Hingga saat ini kondisi tidak tersediaanya obat masih dirasakan oleh salah seorang pasien BPJS, di salah satu rumah sakit plat merah di Kalimantan Selatan. Pasien yang berobat menggunakan BPJS, menyampaikan obat yang diresepkan dokter ternyata tidak tersedia di apotek rumah sakit. Sehingga pihak rumah sakit hanya memberikan bon obat, untuk kemudian dapat mengambil obat dimaksud jika sudah tersedia, namun tak ada kepastian kapan obat tersebut tersedia, pasien harus aktif menanyakan ke bagian apotek secara datang langsung, karena tak tersedia layanan informasi/nomor kontak khusus bagian apotik rumah sakit. Bahkan oleh salah satu oknum petugas, pasien disarankan untuk menggunakan jalur pasien umum jika hendak mendapatkan obat (karena obat yang ditanggung BPJS tidak tersedia, namun obat "paten" tersedia), dengan konsekuensi biaya layanan cek kesehatan dan obat dimaksud, pasien harus membayar secara mandiri (tidak dapat di klaim ke BPJS).
Bayangkan saja bagaimana jika anda berada di posisi pasien, seakan tidak mempunyai pilihan. Disatu sisi, jika tetap kekeh berobat menggunakan BPJS, maka pasien tidak akan mendapatkan obat, saat itu juga, dengan kata lain harus menunggu untuk waktu yang juga tidak dapat dipastikan oleh bagian apotek rumah sakit. Di sisi lain, jika memilih berobat sebagai pasien umum, tentu harus mengeluarkan double pembiayaan. Ya double, yang satu adalah biaya iuran peserta BPJS setiap bulannya, dan yang kedua biaya jasa pemeriksaan kesehatan dan obat sebagai pasien umum. Dalam hal ini pasien lebih memilih menjadi pasien jalur umum, karena memang saat itu sangat membutuhkan obat, demi menunjang upaya kesembuhan dari sakitnya.
Jika dilihat sepintas, fenomena kekosongan obat bagi pasien BPJS ini, terlihat sangat aneh. Mengapa jika berobat dengan menggunakan jalur BPJS obat tidak tersedia, namun jika menjadi pasien umum obat menjadi tersedia? Jika dilihat dalam konteks pelayanan publik, sebagaimana Pasal 4 UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Ketidaktersediaan obat bagi pasien BPJS tersebut, dapat dikatakan telah menyimpangi beberapa prinsip dasar dalam penyelenggaraan pelayanan publik, seperti prinsip Kesamaan Hak, Persamaan perlakuan/tidak diskriminiatif, Keterbukaan, dan Kemudahan. Dikatakan menyimpangi prinsip kesamaan hak dan persamaan perlakuan, karena saat pasien berobat dengan BPJS dikatakan obat tidak tersedia, namun ketika pasein menjadi pasien umum, kemudian obat tersedia. Hal ini mencerminkan layanan publik khususnya di bidang kesehatan (dalam konteks kasus di atas), masih "pilih-pilih" dalam memberikan layanan, khususnya antara pasien BPJS dan pasien umum. Padahal jika dikaitkan dengan semangat pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan, sebagaimana Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, ditegaskan bahwa jaminan kesehatan merupakan jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan, dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan, yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar Iuran Jaminan Kesehatan. Padahal pasien di atas telah membayar iuran kepesertaan BPJS setiap bulannya, namun pasien belum memperoleh manfaat jaminan kesehatan secara utuh, bahkan tidak mendapatkan layanan sebagaimana haknya sebagai peserta BPJS kesehatan.
Jika tidak terseianya obat tersebut, kita bandingkan dengan tidak tersediaanya kamar bagi peserta BPJS, tentu tindakan menyarankan pasien BPJS menjadi pasien umum adalah tindakan yang mengada-ada. Dalam hal kekosongan kamar misalnya, ketika pasien BPJS kelas 2 sakit dan diharuskan rawat inap di rumah sakit, namun kondisi kamar kelas 2 penuh, sementara yang tersedia hanya kamar inap kelas 1, maka pasien dengan peserta BPJS kelas 2 tadi, berhak untuk naik ke kelas perawatan yang lebih tinggi (kelas 1), dengan tidak dibebankan membayar selisih biaya kamar, dan dengan catatan bukan dengan permintaan sendiri, sebagaimana Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018 tentang Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program JKN. Apakah tidak memungkinkan misalnya jika obat yang ditanggung BPJS adalah obat generik tidak tersedia, kemudian pasien bisa mendapatkan obat paten atau obat lain yang dapat membantu proses penyembuhan pasien, sebagai konsekuensi tidak tersedianya obat generik tersebut, sama halnya dengan kamar tersebut. Pasien tetap bisa mendapatkan obat, hal ini sebagai konsekuensi terhadap hak yang sudah dilaksanakan oleh pasien sebagai peserta BPJS, dan kewajiban layanan kesehatan oleh BPJS melalui rumak sakit.
Tidak tersedianya obat bagi pasien BPJS juga tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, misalnya pada Pasal 36 ayat (1) yang menjabarkan bahwa "Pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat esensial". Lebih lanjut Pasal 40 ayat (6) Perbekalan kesehatan berupa obat generik yang termasuk dalam daftar obat esensial nasional harus dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya.Dalam ketentuan ini jelas disampaikan bahwa pemerintah menjamin ketersediaan obar generik. Namun obat bagi pasien BPJS diatas nyatanya tidak tersedia (jika yang dimaksud obat BPJS adalah obat generik). Padahal jika seseorang berobat, tujuannya adalah untuk mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan untuk kesembuhannya, saat itu juga. Sehingga fenomena apotek memberikan bon obat untuk diambil dikemudian hari, tidak sinkron dengan tujuan layanan kesehatan, sebagaimana Pasal 53 ayat (1) dimana pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan baik perseorangan ataupun keluarga.
Fenomena tidak tersedianya obat bagi peserta BPJS tersebut, tak hanya melulu soal fisik obat yang tidak tersedia, namun ada hal lain yang juga harus diperhatikan dan diperbaiki oleh pihak rumah sakit, yakni terkait ketersediaan informasi daftar/jenis obat di apotek. Pada dasarnya keterbukaan informasi ketersediaan obat tersebut, mejadi suatu keharusan sebagaimana UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Membuka informasi ketersediaan obat juga akan berdampak pada kemudahan layanan, transparansi layanan, serta meningkatkantrust publik, khususnya pasien terhadap penyelenggaraan layanan kesehatan oleh rumah sakit. Dan tentunya menutup kran penyimpangan/penyelewengan obat untuk tujuan lain, oleh oknum-oknum petugas yang tidak bertanggung jawab, yang berpotensi membawa citra buruk rumah sakit. Karena pada dasarnya pasien tidak mengetahui apakah obat yang diresepkan dokter, tersedia atau tidak. Pasien hanya membawa resep tersebut ke bagian apotek, dengan harapan dapat menerima obat.
Perlu diingat, bahwa tidak tersedianya obat dalam layanan kesehatan, bukan hal yang patut disederhanakan, karena berdampak pada kesehatan seseorang. Harapannya semua penyelenggara layanan kesehatan, baik di level pemerintah pusat maupun daerah, secara bersama-sama mempunyai semangat penyelenggaraan pelayanan kesehatan, yang harus dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif, sebagaimana amanah UU Kesehatan. Harapannya penyelenggaraan kesehatan dapat terus berupaya mewujudkan layanan yang semakin baik, mudah, dan pasti. Sehingga dapat terus berkontribusi mewujudkan Indonesia sehat, tak terhambat oleh tidak tersedianya obat. Semoga.
Penulis:
Zayanti Mandasari, S.H., M.H
Asisten Pemeriksaan Laporan Ombudsman RI Kalsel