Menyoal Efektifitas Satpol PP Sebagai Penegak Peraturan Daerah
Sebagai salah satu perangkat daerah Satpol PP memiliki sejumlah tugas di antaranya : memelihara serta menyelenggarakan ketenteraman, ketertiban umum, dan menegakkan Peraturan Daerah. Akan tetapi, sayang beribu sayang. Fakta di lapangan, peran abdi negara yang satu ini di banyak daerah, termasuk Kalimantan Selatan, dinilai belum aktif-efektif. Apalagi dalam nuansa efektifitas penegakan peraturan daerah.
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja memberikan definisi Polisi Pamong Praja yaitu aparatur pemerintah daerah yang melaksanakan tugas kepala daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum, menegakkan peraturan daerah, dan keputusan daerah. Bahkan pada pasal 3 aturan ini. Satpol PP diberi kewenangan menertibkan dan menindak warga atau badan hukum yang mengganggu ketentraman, melakukan pemeriksaan serta diperbolehkan menambil tindakan represif non yustisial dengan tetap mengedepankan keadilan dan pendekagtan humanis.
Dalam berbagai literatur istilah Pamong Praja memiliki makna yang sangat baik, misalnya kata "Pamong" berarti pendidik, pengasuh bahkan ada yang mengartikan pengurus pemerintahan dan masyarakat sedangkan arti kata "Praja" bermakna negeri, kerajaan atau dalam dimensi sekarang yakni kota atau daerah. Bahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI. Istilah Pamong Praja berarti Pegawai Negeri yang mengurus pemerintahan negara.
Mengingat besarnya peranan dari Satpol PP tersebut, seharusnya para kepala daerah benar-benar memaksimalkan fungsi Satpol PP di lapangan, bukan malah membiarkan para Pamong Praja tersebut bekerja tanpa tujuan yang jelas atau hanya menjadi pelengkap struktural dari SOTK di masing-masing pemerintah kabupaten/kota semata. Ditambah lagi anggaran dan peningkatan kapasitas serta kualitas SDM yang sangat minim sehingga menjadi penghambat peran dan fungsi Satpol PP.
Persoalan yang nampak jelas terjadi, banyak perda yang mandul dan dibiarkan menjadi macan kertas saja oleh pemerintah daerah, semisal di beberapa Kabupaten/Kota dalam penegakan perda IMB, penegakan perda penanganan sampah, penegakan perda kawasan larangan rokok, larangan PKL di areal publik atau fasilitas umum, perda sungai, perda penertiban parkir, serta peraturan atau keputusan kepala daerah lainnya. Padahal penegakan perda tersebut adalah indikator utama dari janji/komitmen dan kualitas percepatan pembangunan serta pelayanan publik pemerintah di daerah lebih khusus para kepala daerah.
Dari sisi laporan yang disampaikan ke Ombudsman, berkaitan dengan sengketa atau konfilk antar warga akibat lalainya Satpol PP dalam hal melakukan pengawasan atau tindak lanjut yang cepat atas pelanggaran perda di lapangan. Akhirnya mengganggu hubungan kerukunan tetangga sebab apabila ada pembiaran atas warga yang melanggar perda sedangkan yang lain mencoba menaatinya, di sinilah terjadi problem penegakan hukum.
Belum lagi, berbicara kapasitas, kuantitas, kualitas dan profesionalitas petugas atau SDM Pamong Praja yang direkrut oleh pemerintah daerah, idealnya mampu mengemban tugas maha berat untuk benar-benar berani dan tegas mengambil tindakan juga dituntut humanis. Tapi lagi-lagi, terkadang "tersandera" atau tidak berdaya dengan kebijakan Dinas atau instansi lainnya ditambah terbatasnya PPNS. Mengingat beberapa kebijakan dan rekomendasi penertiban juga diperlukan dari dinas yang berkaitan serta penyidik dari ASN . Masalah lainnya berupa dugaan bekerja tanpa mengindahkan Standar Operational Procedure/SOP sehingga dalam melakukan penertiban juga masih tidak tertib. Hal ini juga menjadi faktor penghambat terciptanya ketertiban umum, kenyamanan dan proses tegaknya satu peraturan daerah.
Persoalan lain juga terkait dukungan anggaran yang rata-rata jauh dari kesan proporsional atau layak. Akibatnya sebagian petugas Pamong Praja menjadi ogah-ogahan, tak bisa maksimal patroli, terlibat pungli atau bahkan terjun dalam sikap yang tak patut mengingat rendahnya gaji dan kesejahteraan yang diberikan. Akhirnya Pamong Praja terlebih saat investigasi lapangan menjadi terhambat dan lambat, yang berujung persoalan kota semakin berkarat, mengingat pekerjaan rumah terberat adalah membangun mental masyarakat yang terkadang masih enggan berubah dan taat dengan aturan yang telah dibuat.
Faktor penyebab lain yang cukup menentukan yakni belum adanya pemahaman yang dalam dan benar oleh sejumlah kepala daerah akan core bisnis Satpol PP itu sendiri. Sehingga, perannya yang cukup besar khususnya dalam percepatan pelayanan publik tidak dirasakan langsung oleh publik, malah di sebagian kabupaten/kota opini yang berkembang perihal Satpol PP menjadi salah kaprah atau disalahgunakan seperti hanya sebagai penjaga malam pos di masing-masing instansi dan kediaman rumah dari pejabat daerah saja, atau yang lebih miris, hanya mengatur parkir di sejumlah kantor-kantor pemerintah daerah.
Belum lagi kalau bicara pelatihan induksi di internal Satpol PP. Penanaman materi dasar atau fundamental seperti berkaitan HAM, pelatihan komunikasi persuasif, pendekatan berbasis keadilan serta mampu melakukan rekayasa sosial dan kultur hukum secara positif menjadi tantangan yang cukup berat bagi para Satpol PP hari hari ini. Ditambah mereka juga dilibatkan dalam hal pengamanan PPKM dan terlibat dalam pencegahan penyebaran covid 19 di sejumlah daerah pastinya sangat menambah beban berat.
Hal seperti ini pastinya tak bisa dibiarkan terus menerus, mengingat fungsi dan wewenang dari Satpol PP diproyeksi mampu mempercepat kualitas pembangunan, ketertiban dan kenyamanan masyarakat di daerah.
Untuk itu, problem Pamong Praja ini hendaknya segera diakhiri dengan melakukan pembinaan serius, pelatihan yang komprehensif, pendidikan berbasis performa komunikasi serta dukungan multi sisi termasuk peningkatan keterampilan petugas Satpol PP dalam hal penanganan konfilk dan inovasi dalam penegakan peraturan daerah yang substansinya berat dan sistemik. Sehingga, perannya di tengah publik dapat dirasakan fungsinya dalam menciptakan kota atau daerah yang tertib, aman dan nyaman. Bukan malah sebaliknya hanya pelengkap penderitaan pembangunan kota saja.