Menyisir Ketimpangan Tersembunyi dalam Sistem Penerimaan Murid Baru 2025

Pada tahun 2025, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menetapkan Peraturan Menteri Nomor 3 Tahun 2025 tentang Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). Peraturan ini menegaskan prinsip seleksi yang objektif, akuntabel, dan nondiskriminatif melalui empat jalur penerimaan utama: domisili, afirmasi, prestasi, dan mutasi. Dalam semangat pemerataan akses dan perlindungan kelompok rentan, regulasi ini secara normatif terlihat adil dan inklusif. Namun, ketika ditelaah lebih dalam, terdapat celah keadilan substantif yang berisiko menciptakan ketimpangan baru.
Artikel ini secara khusus membahas implementasi kebijakan Penerimaan Murid Baru pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Sekolah Luar Biasa (SLB) yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi. Meskipun prinsip-prinsip umum SPMB juga berlaku untuk jenjang SD dan SMP, regulasi teknis dan kewenangannya berada di bawah Pemerintah Kabupaten/Kota dan tidak menjadi fokus utama tulisan ini.
Kelompok yang dimaksud adalah anak-anak dari keluarga non-DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial), tidak memiliki prestasi akademik/non-akademik yang menonjol, dan tidak termasuk dalam kategori afirmasi atau mutasi. Dalam sistem yang menitikberatkan pada zonasi dan pencapaian, mereka terperangkap dalam ruang tengah-tidak cukup miskin untuk afirmasi, tidak cukup berprestasi untuk jalur prestasi, dan bisa kalah bersaing di jalur domisili yang kini memperhitungkan "kemampuan akademik". Kondisinya akan jauh berbeda untuk anak-anak yang memang secara ekonomi tergolong mampu, tentu saja opsi untuk mengakses sekolah swasta dengan kualitas lebih baik tentu tetap terbuka, meskipun tidak sedikit juga diantaranya yang justru menempuh berbagai cara untuk masuk ke sekolah negeri.
Pasal 43 ayat (3) Permendikdasmen menyatakan bahwa jika jumlah pendaftar jalur domisili melebihi kuota, maka seleksi dilakukan berdasarkan urutan: kemampuan akademik, jarak tempat tinggal, dan usia. Di sinilah letak ambiguitas: istilah "kemampuan akademik" tidak dijelaskan lebih lanjut. Apakah itu nilai rapor, prestasi, ataukah ujian seleksi? Ketidakjelasan ini membuka ruang tafsir daerah yang beragam, bahkan potensial diskriminatif bila tidak dikendalikan secara nasional.
Studi kasus di Provinsi Sulawesi Selatan memperjelas masalah ini. Dalam Petunjuk Teknis SPMB 2025 yang ditetapkan melalui Keputusan Kepala Dinas Pendidikan, dijelaskan bahwa seleksi jalur domisili-jika kuota melebihi kapasitas-akan menggunakan hasil Tes Potensi Akademik (TPA), sebelum mempertimbangkan jarak atau usia. Kebijakan ini tampak progresif, namun menjadi problematik karena;: satu,Tidak ada pengaturan teknis atau standar nasional mengenai TPA dalam Permendiknasmen; dua, Akses terhadap persiapan TPA tidak merata, menimbulkan ketimpangan baru; tiga, Penggunaan TPA bertentangan dengan semangat zonasi yang semestinya menghapus seleksi berbasis tes.
Selain itu, pada jalur afirmasi, Permendikdasmen telah menetapkan bahwa prioritas seleksi dilakukan berdasarkan jarak tempat tinggal, bukan hasil tes. Namun di Sulsel misalnya tetap memasukkan TPA sebagai mekanisme seleksi tambahan ketika terjadi "jarak sama". Ini menunjukkan inkonsistensi antara kebijakan nasional dan pelaksanaan daerah, serta lemahnya kontrol vertikal terhadap interpretasi aturan oleh pemerintah daerah.
Secara keseluruhan, sistem SPMB 2025 memang telah memberikan kerangka hukum yang kuat untuk mengatur pemerataan akses pendidikan. Namun, tantangan terbesar bukan pada regulasi itu sendiri, melainkan pada implementasi yang belum sensitif terhadap ketimpangan sosial dan administratif yang masih banyak terjadi. Data DTKS belum mencakup seluruh realitas kemiskinan. Banyak keluarga rentan tidak masuk dalam skema bantuan sosial karena ketidaktahuan atau hambatan administratif. Ketika sistem hanya mengenali "miskin yang terdata", maka kelompok rentan non-DTKS akan terpinggirkan.
Keadilan pendidikan bukan hanya tentang siapa yang lolos jalur afirmasi atau prestasi. Keadilan sejati adalah tentang siapa yang tidak dilupakan oleh sistem. Untuk itu, perlu beberapa langkah perbaikan seperti: satu, perluasan makna afirmasi yang mencakup anak dari keluarga rentan non-DTKS berdasarkan asesmen sosial dari RT/RW, sekolah, atau dinas sosial; dua, standarisasi penggunaan istilah "kemampuan akademik" agar tidak disalahartikan sebagai justifikasi tes tambahan yang diskriminatif; tiga, evaluasi pelaksanaan juknis daerah agar tidak menyimpang dari semangat Permendiknas; empat, Penetapan kuota sosial khusus untuk kelompok yang tidak terjangkau oleh afirmasi formal.
Sistem pendidikan nasional harus terus bergerak dari keadilan formal menuju keadilan substantif. Regulasi tidak cukup berdiri sendiri. Ia harus disandingkan dengan kebijakan teknis yang peka, pengawasan yang kuat, serta keberpihakan terhadap kelompok yang paling mudah dilupakan: mereka yang tidak cukup miskin untuk dianggap miskin, tapi cukup rentan untuk tidak diberi peluang.
Oleh : Ismu Iskandar, ST,MM
Kepala Perwakilan RI Provinsi Sulawesi Selatan