Menyambut Era MICE
Pertengahan November 2022 lalu, Indonesia menjadi tuan rumah KTT G20 ke-17 di Bali. Sebuah rangkaian event akbar dunia G20, forum kerja sama multilateral yang terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa, dan disebut-sebut dapat merepresentasikan sekitar 60% populasi bumi. Di sisi lain, pada Oktober 2022, masyarakat dan kalangan event organizer di Jawa Timur mengalami kekecewaan akibat dibatalkannya beberapa event. Kegiatan dibatalkan dengan alasan faktor keamanan maupun adanya penolakan dari stakeholder. Pihak penyelenggara kegiatan merasa dirugikan, namun tentu tidak punya kuasa memaksakan event tetap dilaksanakan sebagaimana rencana awal.
Fakta tersebut hanyalah segelintir contoh kegiatan yang termasuk dalam kategori MICE (Meeting, Incentive, Convention, dan Event) di Indonesia. Batalnya pelaksanaan kegiatan tersebut tentu merugikan banyak pihak. Selain pihak penyelenggara, pemerintah daerah, sektor transportasi, akomodasi, UMKM dan elemen penunjang kegiatan setempat juga mengalami kerugian, setidaknya dalam bentuk hilangnya potensi pendapatan.
MICE merupakan bentuk kegiatan kepariwisataan yang aktivitasnya merupakan perpaduan antara kegiatan bisnis dan hiburan, biasanya melibatkan sekelompok orang secara bersama-sama. Bahkan berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, MICE masuk dalam rumpun usaha pariwisata, dan saat ini menjadi bagian dari potensi besar ekonomi kreatif yang digarap oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Setidaknya ada enam hal yang biasanya menjadi faktor pertimbangan penyelenggara mengadakan kegiatan berupa MICE di suatu tempat atau negara, yakni keamanan, kenyamanan, kesesuaian dengan kebutuhan kegiatan, reputasi, infrastruktur, dan inovasi. Jika suatu daerah memiliki keunggulan kompetitif pada hal-hal tersebut, bukan tidak mungkin daerah atau negara tersebut akan menjadi lebih sering menjadi destinasi wisata MICE.
Potensi MICE Indonesia sejatinya sangat besar. Hal ini terlihat dari banyaknya event besar bertaraf internasional yang begitu sering menempatkan Indonesia sebagai tuan rumah. Hal tersebut tentu juga merupakan dampak dari berbagai kegiatan sebelumnya, Indonesia dinilai memiliki sumber daya manusia MICE yang profesional, infrastruktur yang berkualitas, sarana dan prasarana akomodasi MICE yang cukup memadai, serta berbagai destinasi pariwisata yang tersedia di sekitar kota tempat pelaksanaan kegiatan.
Demikian pula bagi Kalimantan Selatan (Kalsel), MICE menjadi penggerak perekonomian secara lebih kreatif. Hal ini juga sekaligus menjadi bentuk awal transformasi dari ekonomi ekstraktif menjadi ekonomi kreatif melalui sektor pariwisata. Baru-baru ini Kalsel menjadi tuan rumah Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional XXIX Tahun 2022. Peserta MTQ, yang merupakan festival lomba mengaji Al Qur'an dengan Qiraat, dari seluruh penjuru Indonesia berkumpul untuk mengikuti kegiatan ini. Tentunya tidak hanya peserta, tetapi juga bersama seluruh rombongan tim dari tiap provinsi di Indonesia.
Dari sisi pelayanan publik, MICE sendiri beririsan dengan tiga sektor utama pelayanan publik, yakni pelayanan barang publik (dalam hal ini berkenaan dengan akomodasi, infrastruktur, ketersediaan listrik, air bersih, dan lain-lain), pelayanan jasa publik (dalam hal ini berkenaan dengan jasa transportasi, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain) dan pelayanan administratif (dalam hal ini berkenaan dengan berbagai macam perizinan, dan lain-lain). Perizinan ini juga merupakan salah satu pertimbangan investor ketika bermaksud melakukan investasi di Indonesia.
Berdasarkan hasil pemeringkatanEase of Doing Business (EoDB)atau Kemudahan Berusaha di 190 Negara di Dunia, yang dilakukan oleh World Bank, khususnya pada lima tahun terakhir, menunjukkan bahwa peringkat Indonesia masih jauh dari kata baik. Salah satu hal yang membuat peringkat EoDB Indonesia masih belum bisa membaik secara signifikan adalah faktor kemudahan dalam perizinan.
Perizinan di Indonesia masih dianggap sebagai salah satu kendala dalam kemudahan berusaha. Hal ini karena pada praktiknya, banyak perizinan yang harus diurus hingga berhari-hari, berurusan dengan berbagai instansi teknis, sebelum izin bisa terbit. Hal ini tentu tidak sesuai dengan semangat investasi maupun dalam konteks kesiapan menghadapi MICE.
Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, setidaknya ada 14 komponen standar pelayanan publik yang harus dilengkapi oleh penyelenggara dalam memberikan pelayanan publik, yakni dasar hukum; persyaratan; sistem, mekanisme, dan prosedur; jangka waktu penyelesaian; biaya/tarif; produk pelayanan; sarana, prasarana, dan/atau fasilitas; kompetensi pelaksana; pengawasan internal; penanganan pengaduan; jumlah pelaksana; jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan; jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan; dan evaluasi kinerja pelaksana.
Pada kenyataannya, setidaknya ada tiga catatan dari Ombudsman RI sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik di Indonesia, yakni belum semua pemerintah daerah di Kalsel patuh terhadap pemenuhan komponen standar pelayanan publik, belum meratanya pemahaman penyelenggara layanan tentang pelayanan publik yang baik, dan masih ditemukan laporan tentang penundaan berlarut atau tidak memberikan pelayanan termasuk dalam hal perizinan.
Masih banyak pemerintah daerah sebagai penyelenggara yang belum sepenuhnya melengkapi komponen standar pelayanan publik. Padahal komponen standar pelayanan publik ini hanya merupakan hal dasar, belum menunjukkan keseluruhan kualitas pelayanan. Apalagi ternyata ditambah dengan fakta bahwa kualitas dan pemahaman petugas pelaksana layanan masih belum merata kompetensinya tentang pelayanan publik yang baik.
Hal tersebut juga semakin terbukti dari beberapa laporan tentang terjadinya dugaan maladministrasi untuk sektor perizinan, yang biasanya berupa penundaan berlarut, atau bahkan dugaan tidak memberikan pelayanan. Tentu saja semua hal tersebut membuat EoDB dan iklim investasi di Indonesia menjadi menurun nilai dan peringkatnya, menunjukkan bahwa kualitas pelayanan kita masih belum bisa dikatakan baik, dan cepat atau lambat akan mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah. Padahal kepercayaan publik yang menurun akan berkorelasi terhadap terhambatnya pertumbuhan investasi.
Setidaknya ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah dalam rangka menyambut era MICE, yaitu pertama, membenahi iklim usaha dan investasi melalui kemudahan perizinan dan kebijakan-kebijakan ramah investasi. Cita-cita meningkatkan kemudahan berusaha harus dimulai dari kemudahan perizinan, karena bagaimanapun investor akan masuk secara resmi melalui pintu perizinan.
Kedua, meningkatkan daya saing produk. Menghadapi era MICE, penyelenggara dan pemerintah pusat/daerah harus selalu berupaya meningkatkan daya saing produk layanan, baik itu berupa akomodasi, transportasi, perizinan, infrastruktur penunjang, hingga kebijakan yang ramah investasi dan kemudahan berusaha.
Ketiga, meningkatkan daya saing SDM. MICE merupakan pangsa pasar yang sangat terbuka lebar untuk banyak negara, banyak kota-kota besar di dunia. Untuk itu, diperlukan keunggulan kompetitif agar memiliki peluang yang lebih besar sebagai destinasi MICE, termasuk di dalamnya adalah kecukupan jumlah SDM dan kompetensi SDM. Semakin berkualitas SDM yang dimiliki, maka semakin dapat meningkatkan kualitas pelayanan, dan selanjutnya berdampak pada meningkatnya citra/track record suatu daerah.
Terakhir yang ke-empat, evaluasi dan inovasi. Ketika suatu negara atau kota/kabupaten terpilih sebagai tuan rumah event MICE, bukan berarti dapat berpuas diri, tetapi harus tetap dilakukan evaluasi agar beberapa kekurangan yang masih ditemukan dapat diperbaiki, dan hal-hal yang sudah baik dapat terus dilanjutkan dan dipelihara budayanya. Selain itu, mengingat event MICE ini masuk dalam kategori ekonomi kreatif, maka tentu juga diperlukan kreatifitas dan inovasi yang berkelanjutan, agar daerah dapat mempunyai keunggulan kompetitif.
Jika empat hal tersebut dilakukan, mungkin tidak dapat menjamin secara langsung suatu negara/daerah akan dipilih sebagai kota tempat terselenggaranya even MICE, tetapi setidaknya dengan meningkatkan kapasitas, maka peluang negara/daerah untuk semakin sering diramaikan oleh event MICE akan semakin besar.
Maulana Achmadi, Asisten Bidang Pemeriksaan Perwakilan Ombudsman RI Kalimantan Selatan