• ,
  • - +

Artikel

Menjaga Stabilitas Pelayanan Publik Akibat Penetapan Tersangka Kasus Korupsi Kepala Daerah di Papua
• Kamis, 20/10/2022 •
 
F.A. Satria Putra Calon Asisten Ombudsman RI Perwakilan Papua

Baru-baru ini Papua digemparkan oleh penetapan kepala daerah sebagai tersangka kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Di antaranya yaitu Bupati Memberamo Tengah Ricky Ham Pagawak terkait dugaan kasus korupsi proyek pembangunan insfrastrutur, Bupati Mimika Eltinus Omaleng terkait dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa pendirian Gereja Kingmi Mile 32, dan yang terbaru yaitu Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe yang diduga menerima gratifikasi senilai Rp1 miliar. Walaupun penetapan status tersangka korupsi ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, namun penetapan tersebut menambah rapor merah kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi dan mengancam stabilitas pelayanan publik di daerah. Karena jika berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, kepala daerah memiliki peran penting dalam melakukan pembinaan, pengawasan dan evaluasi pelayanan publik lalu selanjutnya melaporkan hasil perkembangan kinerja pelayanan publik kepada DPRD dan Kementerian terkait.

 

Perilaku Koruptif Kepala Daerah

Secara etimologi, korupsi berasal dari bahasa Latin "corruptio" atau "corruptus" yang berarti kerusakan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap dan tidak bermoral kesucian. Lalu muncul dalam bahasa Inggris dan Perancis "Corruption" yang berarti menyalahgunakan wewenangnya untuk menguntungkan dirinya sendiri. Lalu secara terminologi, korupsi merupakan perbuatan yang buruk seperti kecurangan, penyelewengan, penyalahgunaan jabatan atau kepentingan diri dan mudah disuap. Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi adalah setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Jika disimpulkan, korupsi merupakan tindakan penyuapan, pemerasan, nepotisme dan penyalahgunaan kepercayaan atau jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Korupsi di Indonesia tidak hanya melibatkan pejabat-pejabat di tingkat pusat, tetapi juga melibatkan para kepala daerah tingkat provinsi dan bupati/wali kota. Pada Oktober 2021, KPK merilis terdapat 22 gubernur dan 122 bupati/wali kota yang menjadi tersangka kasus korupsi. Bahkan, angka tersebut terus bertambah seiring dengan beberapa kasus korupsi yang masih diusut oleh KPK, seperti penetapan tersangka kasus korupsi oleh tiga kepala daerah di Papua baru-baru ini. Hal demikian terjadi akibat kewenangan otonomi daerah (otonomi khusus di Papua) yang seolah-olah tidak dapat diawasi oleh pemerintah pusat dan lembaga pengawas. Sebenarnya semangat otonomi daerah di Indonesia bertujuan untuk menciptakan paradigma baru yang sebelumnya sentralistik menjadi desentralistik dengan cara menyerahkan sebagian hak dan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan atau intervensi dari pemerintah pusat.

Seiring berjalannya waktu, implementasi otonomi daerah menciptakan banyak kasus korupsi yang terjadi di daerah, pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya mendesentralisasikan kewenangan namun juga mendesentralisasi perilaku koruptif. Hal ini sejatinya sejalan dengan adagium yang dipopulerkan oleh Lord Acton yaitu "Power tends to corrupt, but absolut power corrupt absolutely", yang artinya manusia yang memiliki kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas pasti akan disalahgunakan.

Menurut Agus Susanto (2018), terdapat tiga alasan yang menyebabkan otonomi daerah menciptakan perilaku koruptif oleh kepala daerah. Pertama, selama ini otonomi daerah hanya berfokus pada pelimpahan wewenang dalam membuat kebijakan, pengelolaan keuangan serta administrasi birokrasi dari pusat ke daerah yang tidak menyertakan persepsi masyarakat dan lembaga pengawas dalam setiap pengambilan kebijakannya, sehingga menyebabkan terjadinya perbuatan koruptif antara pengusaha nakal dan penguasa korup. Kedua, otonomi daerah memutus struktur hirarkis pemerintahan yang memungkinkan kepala daerah menjalankan kekuasaan tanpa kontrol pemerintah pusat, karena hubungan pusat dan daerah saat ini bersifat normatif-fungsional, sehingga seringkali instrumen pengawasan tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya tergantung dari transparansi pemerintah daerah. Ketiga, kegagalan lembaga legislatif dalam menjalankan fungsi check and balance  terhadap lembaga eksekutif, bahkan seringkali menjadi pihak yang terlibat dalam perilaku koruptif.

Perilaku koruptif yang dilakukan oleh kepala daerah dikhawatirkan akan merusak tata kelola negara yang baik (good governance), karena perilaku koruptif oleh kepala daerah menimbulkan distrust dari masyarakat dalam wujud berkurangnya kewibawaan pemerintah, ketidakmaksimalan penggunaan anggaran, mengurangi kemampuan aparatur pemerintahan, mengurangi kapasitas administrasi dan hilangnya kewibawaan pengelola administrasi. Secara umum perilaku koruptif menghilangkan kepercayaan publik terhadap pemerintah karena dinilai telah menjalankan pemerintahan dengan tidak profesional yang dikhawatirkan berdampak kepada kualitas pelayanan publik kepada masyarakat.

 

Kewenangan Kepala Daerah dalam Pembina Manajemen Pelayanan Publik

Sebagai warga negara, pengurusan dokumen administrasi seperti KTP, sertifikat tanah, surat izin usaha, dan lain-lain, merupakan hal yang seringkali kita lakukan. Dalam pengurusan dokumen administrasi masyarakat berharap dapat dilayani dengan mudah, murah atau bahkan gratis  dan cepat. Karenanya pelayanan publik menjadi tolok ukur kepuasan masyarakat dalam pelaksanaan sistem manajemen pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Maka berdasarkan pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, definisi dari pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Pelayanan publik selama ini menjadi bagian penting di mana pemerintah berinteraksi dengan masyarakat. Karena pelayanan publik merupakan pemberian jasa oleh pemerintah kepada pihak swasta dan masyarakat dengan pembiayaan maupun gratis guna memenuhi kebutuhan atau kepentingan masyarakat. Karenanya ada tiga faktor penting agar pelayanan publik dapat mulai mengembangkan dan menerapkan good governance di Indonesia. Pertama, pelayanan publik merupakan sarana interaksi antara pemerintah dengan masyarakat, keberhasilan dalam pelayanan publik akan mendorong tingginya dukungan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Kedua, pelayanan publik adalah sarana bagi pemerintah untuk menunjukan sistem administrasi yang bersih dan good governance secara mudah. Ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur pemerintahan, swasta, masyarakat dan mekanisme pasar.

Dalam melaksanakan pelayanan publik, penyelenggara pelayanan publik harus menerapkan beberapa aspek seperti kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, tanggung jawab, kelengkapan sarana prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan dan kenyamanan. Di sini pemerintah daerah memiliki peran sentral dalam penyelenggaraan pelayanan publik, Pada Pasal 1 angka 16 dan 17 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menjelaskan bahwa pemerintah daerah wajib memenuhi kebutuhan pelayanan dasar masyarakat dan memenuhi standar pelayanan minimal serta ketentuan jenis dan mutu pelayanan dasar. Di Provinsi Papua, telah dibentuk Peraturan Gubernur Papua Nomor 17 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua. Peran kepala daerah (gubernur dan bupati/wali kota) sangat penting sebagai pembina yang menjamin penyelenggaraan pelayanan publik dalam lingkup pemerintah daerah. Sedangkan sekretaris daerah sebagai penanggungjawab pelayanan publik yang berwenang mengkoordinasikan, melakukan evaluasi dan melaporkan kepada kepala daerah.

Namun seringkali pelaksanaan pelayanan publik oleh pemerintah daerah tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena kepala daerah dengan kewenangannya sangat rentan tersangkut kasus korupsi. Jika merujuk pada Pasal 76 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, menjelaskan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme serta menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang dilakukan. Karena jika terjadi, maka sesuai dengan pasal 83 ayat (1) a quo  menjelaskan bahwa kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD, karena didakwa melakukan tindakan pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun karena tindak pidana korupsi. Sehingga walaupun telah ditetapkan sebagai tersangka, namun kepala daerah tersebut masih aktif menjabat sepanjang belum dikeluarkan keputusan pemberhentian oleh presiden. Tetapi sebagaimana pasal 65 ayat (3) a quo menjelaskan bahwa kepala daerah yang sedang menjalani masa tahanan dilarang melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai kepala daerah. Sehingga terdapat kekosongan jabatan sebelum ditunjuk pejabat definitif sebagai pembina manajemen pelayanan publik.

 

Pemberian Kewenangan Diskresi Kepada Pejabat Kepala Daerah

Akibat kekosongan kepala daerah tersebut, sesuai dengan Pasal 65 Ayat (4) a quo menjelaskan bahwa jika kepala daerah sedang menjalani masa tahanan maka wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah. Namun jika wakil kepala daerah juga tidak dapat melaksanakan maka sesuai dengan Pasal 65 Ayat (5) dan (6) a quo bahwa sekretaris daerah melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah. Namun kekosongan ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan/atau kekosongan hukum karena pelaksana tugas atau pelaksana harian memiliki keterbatasan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menjelaskan bahwa badan dan/atau pejabat pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian dan alokasi anggaran.

Karenanya bagi pejabat yang diberikan mandat untuk melaksanakan wewenang sebagai pejabat kepala daerah harus diberikan diskresi. Diskresi menurut Pasal 1 Ayat 9 a quo adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Hal ini digunakan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada penyelenggara pemerintahan akibat perilaku koruptif yang dilakukan oleh kepala daerah. Pemberian diskresi ini bentuk dari penerapan Pasal 22 Ayat (2) huruf a a quo yang menjelaskan bahwa diskresi digunakan untuk tujuan melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, khususnya dalam hal pelayanan publik.

Bentuk diskresi yang dapat ditekankan dalam aspek pelayanan publik secara khusus guna meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat kepada pemerintahan yaitu, pertama, memberikan batasan dan hubungan yang jelas terkait hak, tanggung jawab, kewajiban dan kewenangan setiap pihak dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Kedua, mewujudkan pelayanan publik yang berasaskan pemerintahan dengan ciri melayani dengan baik. Ketiga, terpenuhinya pelayanan publik yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Keempat, memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam pelayanan publik. Kelima, memberikan warning  kepada penyelenggara pelayanan publik untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat agar tercipta kepercayaan kepada penyelenggara pemerintahan. Keenam, merespons dengan cepat dan memberikan sanksi yang tegas terkait pelanggaran hukum dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Ketujuh, pejabat kepala daerah harus membuat skema yang jelas dan menyiapkan pejabat cadangan guna menggantikan penanggung jawab penyelenggara pelayanan publik yang terkait dengan tindakan koruptif oleh kepala daerah.

 

F.A. Satria Putra

Calon Asisten Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Papua

 





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...