Menjaga Motivasi Penyelenggara Layanan
Motivasi bisa naik turun. Hari ini baik, besok belum tentu. Hari ini sangat bersemangat, lusa boleh jadi malas dan kehilangan gairah. Moody istilahnya, atau perangai yang berubah-ubah, tergantung suasana hati. Suasana yang acapkali dipengaruhi oleh faktor-faktor internal maupun eksternal dari diri seseorang. Misal, motivasi si A sedang tinggi-tingginya karena dia ingin maju dan terus berkembang atau karena tertarik atas insentif yang dijanjikan. Sebaliknya, si B merasa motivasinya sudah tidak ada atau berkurang karena merasa bosan, stres, mendekati usia pensiun, tidak punya tantangan lagi atau cepat berpuas diri. Maka, tantangannya adalah menjaga motivasi individu maupun kelompok agar stabil, tidak seperti roller coaster (naik turun), tetap tinggi atau bahkan meningkat secara berkelanjutan.
Motivasi berasal dari bahasa Latin "movere", yang artinya "menggerakkan". Banyak ahli yang menjelaskan pengertian atau definisi dari motivasi. Pada intinya, motivasi merupakan dorongan atau alasan yang mendasari seseorang dalam melakukan suatu aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu. Motivasi diyakini membentuk perilaku dan sangat berpengaruh terhadap kinerja (performance) pegawai dalam suatu organisasi/lembaga/perusahaan. Meskipun demikian, motivasi bukan satu-satunya faktor yang menentukan kinerja. Menurut Ivancevich, dkk (2005), determinan dari kinerja pekerjaan terdiri dari kapasitas untuk berkinerja, kesempatan untuk berkinerja dan kemauan atau kesediaan untuk berkinerja. Kapasitas terkait dengan tingkat keterampilan, pengetahuan dan pengalaman seseorang dalam pekerjaan. Kesempatan menyangkut sumber daya (resources) pendukung dalam pekerjaan, seperti anggaran, teknologi dan peralatan kerja. Sementara kemauan atau kesediaan adalah motivasi itu sendiri. Tidak ada kombinasi dari kapasitas dan kesempatan yang dapat menghasilkan kinerja tinggi apabila tidak ada motivasi atau keinginan untuk bekerja.
Dalam konteks penyelenggaraan pelayanan publik, menjaga motivasi agar stabil atau tetap tinggi sangat relevan. Hal ini harus dipandang sebagai suatu kewajiban (obligation), bukan kebutuhan (need) atau keinginan (want). Setiap penyelenggara pelayanan publik wajib mematuhi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan regulasi terkait lainnya, termasuk kewajiban memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik. Artinya, kepatuhan terhadap aturan sudah sewajarnya menjadi motivasi terbesar bagi para pelaksana pelayanan publik atau Aparatur Sipil Negara (ASN). Apalagi pegawai ASN memiliki peran dan fungsi yang penting sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, serta perekat dan pemersatu bangsa. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, ditetapkan bahwa setiap calon Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang akan diangkat menjadi PNS wajib mengucapkan sumpah/janji. Salah satu bunyi sumpah/janjinya adalah "...bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara."
Dalam kenyataannya, masih banyak keluhan atau aduan yang diterima terkait kinerja ASN sebagai pelaksana pelayanan publik. Antara lain, malas, tidak disiplin, tidak bersemangat, kurang senyum, kurang ramah, dan tidak berempati. Faktor kapasitas dan kesempatan berkinerja bisa saja berpengaruh besar namun faktor motivasi merupakan bahasan utama dalam tulisan ini. Dengan kata lain munculnya berbagai keluhan tersebut diyakini sebagai resultan dari rendahnya kemauan (willingness) untuk berkinerja. Hal ini terlihat salah satunya dari paparan Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada saat Rakornas Kepegawaian bulan Juli 2022 yang lalu. Disebutkan bahwa selama kebijakan Work From Home (WFH) akibat pandemi Covid-19, diperkirakan sebanyak 30% ASN tidak menjalankan pekerjaannya atau tidak melakukan apa-apa selama itu. Alasannya, tidak mau belajar dan tidak ingin berubah khususnya menyangkut pemanfaatan teknologi. Jadi, motivasi yang rendah membuat kapasitas tidak meningkat, sedangkan kesempatan terbentang luas.
Maka, penting kiranya bagi penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik untuk menjaga motivasinya tetap menyala atau tak kunjung padam. Ini bisa disediakan atau difasilitasi secara kelembagaan oleh penyelenggara, tapi keberhasilan terbesar sebenarnya bersumber dari masing-masing individu itu sendiri. Teori dua faktor dari Herzberg dapat digunakan untuk merelasikan faktor ekstrinsik dengan faktor intrinsik dalam membangun motivasi dimaksud.
Faktor ekstrinsik adalah dissatisfier atau faktor higiene yang terkait konteks pekerjaan dan diperlukan untuk paling tidak mempertahankan suatu tingkat dari "tidak adanya ketidakpuasan" (no dissatisfaction). Ini belum tentu memacu motivasi pegawai namun kalau kondisi ini tidak ada akan menimbulkan ketidakpuasan. Contohnya, gaji, keamanan pekerjaan, status dan hubungan antar rekan kerja maupun dengan atasan dan bawahan. Sebaliknya, faktor intrinsik adalah isi pekerjaan yang disebut dengansatisfier atau motivator. Jika kondisi ini ada dapat membentuk motivasi yang kuat dan berdampak positif terhadap kinerja pekerjaan, sehingga berkontribusi terhadap kepuasan. Misalnya, pencapaian, pengakuan, tanggung jawab serta kesempatan untuk maju dan berkembang. Maka, implikasi manajerial yang patut ditempuh penyelenggara pelayanan publik adalah menemukan titik ekuilibrium antara faktor ekstrinsik dengan faktor intrinsik, higiene dan motivator, agar tercipta kondisi tidak ada ketidakpuasan kerja sekaligus kepuasan kerja tinggi. Antara lain dalam bentuk pembayaran gaji yang tepat waktu, penetapan status kepegawaian yang jelas, penerapan sistem penghargaan dan hukuman (reward and punishment), pemberian tugas dan pekerjaan yang menantang serta penawaran pendidikan dan pelatihan yang relevan.
Dalam suatu acara diskusi di internal Ombudsman Kalsel, Neka Erlyani, Psikolog dan Dosen di Universitas Lambung Mangkurat (ULM), juga menekankan urgensi dari upaya menumbuhkan motivasi dalam diri secara terus-menerus bahkan saat seseorang dalam kondisi sudah berprestasi dan banyak pencapaian. Motivasi internal yang kuat dapat membangun mentalitas yang tangguh sehingga tahan terhadap berbagai tekanan dan risiko pekerjaan serta mampu menampilkan kinerja yang profesional, berintegritas dan prima.
Beberapa strategi yang bisa diambil agar tetap termotivasi saat bekerja, yaitu mengorganisir diri supaya percaya diri dan produktif, selalu mencoba bersikap positif dan bertahan dalam situasi sulit, mengelola waktu dalam bekerja dengan baik, menciptakan komunikasi yang baik dengan atasan maupun rekan kerja, fokus terhadap tujuan bekerja, terakhir dapat dengan membuat dan menjalankan goal-setting dengan prinsip SMART (Specific, Measurable, Attainable, Relevant, Timely).
Diharapkan dengan pemahaman yang komprehensif terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi secara internal dan eksternal dapat berdampak pada strategi maupun pola penanganan yang cepat dan tepat dalam mempertahankan serta meningkatkan level kinerja baik individual maupun kelembagaan, bagi penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik.