Menjaga Kualitas Pelayanan Publik dalam Situasi Konflik di Papua
Kejadian di Papua tak habis-habisnya menguras perhatian dan mengundang kontroversi yang menjadi sorotan tak hanya nasional namun juga dunia internasional. Hal itu bukan tanpa alasan, jika kita melihat ke belakang terdapat beberapa kejadian yang menjadi sorotan seperti baku tembak antara KKB dan TNI/Polri dan penembakan pesawat di Oksibil yang membuat warga harus mengungsi, kerusuhan di Wamena yang dipicu atas hoaks penculikan anak yang mengakibatkan 12 orang meninggal dunia, pilot Susi Air yang disandera oleh KKB di Nduga yang hingga saat ini belum dapat dibebaskan dan yang terbaru adalah penembakan terhadap anggota TNI dan Polri yang sedang melakukan pengamanan ibadah shalat Tarawih di Masjid Al-Amalia Ilu, Puncak Jaya.
Konflik-konflik tersebut yang menjadi sumber atas ketidakstabilan politik, penghambat kemajuan suatu bangsa dan berimplikasi terhadap banyaknya pengungsi, kelaparan, tutupnya fasilitas pendidikan, kesehatan hingga lumpuhnya aktivitas pemerintahan. Pemerintah daerah sebagai pelaksana roda pemerintahan memiliki peran penting dalam melaksanakan koordinasi dengan berbagai stakeholder untuk menjamin keamanan masyarakat dan penyelenggaraan pelayanan publik tetap terlaksana.
Jika kita merujuk pada Pasal 344 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, disebutkan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin terselenggaranya pelayanan publik berdasarkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Hal demikian sejalan dengan tanggapan Kepala Perwakilan Ombudsman RI Papua Yohanes Rusmanta dalam siaran persnya yang menjelaskan bahwa pemerintah daerah dan TNI/Polri memiliki tanggung jawab untuk mengembalikan situasi keamanan sehingga pelayanan publik kepada masyarakat dapat kembali berjalan normal.
Penyebab Konflik Tiada Henti dan Upaya yang dapat dilakukan.
Secara harfiah Menurut A.M. Harjana (1994), konflik adalah perselisihan, pertentangan, percekcokan yang terjadi manakala dalam hubungan antara dua orang atau dua kelompok, perbuatan yang satu berlawanan dengan perbuatan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.
Menurut Gugus Tugas Papua UGM (2022), konflik di Papua dilandaskan atas empat motif yaitu, pertama, motif sejarah yang menyangkut aspirasi kemerdekaan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sementara negara tidak kunjung mengobati luka sejarah lampau. Kedua, motif politik lokal yang berhubungan erat dengan kontestasi politik di daerah dalam bentuk ketidaksiapan menerima kekalahan dalam setiap kontestasi politik. Ketiga, motif ekonomi yang dipengaruhi atas masifnya eksplorasi sumber daya alam di Papua, di sisi lain masih tingginya ketimpangan sosial ekonomi dan tingkat kemiskinan. Dan keempat, motif sosial-budaya yang terkait masifnya arus migrasi ke Papua sehingga menciptakan perselisihan antara OAP dan Non-OAP dalam arena politik, perdagangan hingga kepemilikan lahan.
Sehingga dalam meredam konflik yang tak kunjung usai, Alfath Bagus (2023) memberikan tiga tawaran untuk menyelesaikan persoalan yang konkret di Papua, yaitu pertama, mengupayakan pemekaran sebagai alat transformasi konflik, hal ini berupa pengaturan relasi antara OAP dan Non-OAP, proteksi tanah adat dan hak ulayat, pemberdayaan ekonomi lokal dan melaksanakan afirmasi-meritokrasi dalam perekrutan politik dan birokrasi. Kedua, mendesak pembentukan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) serta Pengadilan HAM, hal ini guna menerangkan sejarah dan bentuk pengejawantahan Otonomi Khusus. Ketiga, pemerintah harus melakukan perundingan dengan kelompok separatis, termasuk membuka opsi referendum.
Menurut penulis, landasan analisis konkret para ahli dalam perumusan permasalahan penyebab konflik dan langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam meredam konflik dapat diaktualisasikan dalam membentuk peraturan (regeling), keputusan (beschikking), dan peraturan kebijakan (beleidregel) sebagai kewenangan yang melekat pada pejabat pemerintah yang memiliki kewenangan bebas (freies ermessen) untuk membuat diskresi dengan tujuan melindungi masyarakat serta menjamin keamanan wilayahnya.
Kabupaten Jayawijaya dapat Menjadi Contoh.
Ombudsman sebagai lembaga negara yang berwenang sebagai lembaga pengawas eksternal pelayanan publik memiliki salah satu fungsi yaitu pengawasan, sehingga berdasarkan pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menjelaskan bahwa penyelenggara pelayanan wajib menyusun dan menerapkan standar pelayanan serta memberikan pelayanan sebagaimana standar yang telah disusun, sehingga Ombudsman RI sejak tahun 2013 melakukan program Survei Kepatuhan pemerintah terhadap pemenuhan standar layanan sesuai dengan UU Pelayanan Publik.
Di Papua, pelaksanaan Survei Kepatuhan Pelayanan Publik telah dilaksanakan sejak 2015 kepada seluruh pemerintah daerah yang memberikan pelayanan di sektor kesehatan, pendidikan, kependudukan dan pencatatan sipil, perizinan dan juga sektor kepolisian. Dari tahun ke tahun pelaksanaan Survei Kepatuhan Pelayanan Publik berefek positif dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. Seperti pelaksanaan pelayanan publik di Kabupaten Jayawijaya, selama tiga tahun berturut-turut, yaitu tahun 2019-2022 memperoleh predikat kepatuhan tinggi (hijau) dalam survei yang dilaksanakan oleh Ombudsman RI.
Kabupaten Jayawijaya bukan daerah yang tanpa masalah, ibu kota Provinsi Papua Pegunungan ini mengalami berbagai kendala seperti gangguan keamanan, letak geografis yang sulit dan sering terjadi gangguan telekomunikasi. Namun, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Papua dalam agenda penyerahan piagam penghargaan kepada Pemerintah Kabupaten Jayawijaya pada tanggal 14 Februari 2023 menyampaikan apresiasi, karena dengan berbagai problematika yang terjadi, Pemerintah Kabupaten Jayawijaya tetap konsisten menjaga kualitas pelayanan publik tetap berjalan dengan normal dan menjamin terpenuhinya standar pelayanan.
Karena dalam meredam konflik, Pemerintah Kabupaten Jayawijaya sebagai kabupaten induk dari beberapa kabupaten pemekaran telah proaktif untuk melakukan upaya mediasi antar masyarakat yang berkonflik, karena mediasi merupakan budaya masyarakat di pegunungan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Selaras dengan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Jayawijaya, Komnas HAM juga memberikan masukan bahwa komponen pemerintah pusat dan daerah untuk dapat mengelola informasi yang beredar dan melakukan upaya hukum yang sejalan dengan nilai-nilai dan prinsip HAM di Papua menggunakan metode yang humanis.
Faisal A. Satria Putra, S.H., M.H.
Calon Asisten pada Keasistenan Pemeriksaan Laporan Ombudsman RI Provinsi Papua.