Menjaga Etika di Ruang Digital
Menjadi sorotan penulis, ketika ada pemberitaan menarik yang menyita perhatian publik, terutama dalam pemberitaan digital, yang juga tidak kalah menarik ketika membaca kolom komentar netizen. Selain komentar positif dan solutif yang patut dihargai, tidak sedikit pula ada komentar yang bernuansa sarkasme, hujatan, bahkan umpatan kebencian, saling sahut-menyahut sehingga menimbulkan pro dan kontra.
Di dalam kehidupan modern saat ini, media sosial hampir menjadi suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan bagi kehidupan masyarakat. Selain digunakan sebagai sarana untuk menjalin komunikasi antarsesama masyarakat, kemudian untuk mencari kebutuhan informasi secara cepat sebagai sarana aktualisasi diri, termasuk juga menjadi sarana bagi sebagian orang untuk dapat mengekspresikan dirinya di depan khalayak umum.
Penulis tentu setuju, bahwa media sosial membawa manfaat yang besar, namun demikian tentu hal itu tergantung kepada masing-masing pengguna dalam memanfaatkannya. Diperlukan sikap bijak dalam bermedia sosial, berpendapat di ruang digital adalah cerminan perilaku si pengguna, karena akan meninggalkan jejak digital yang bisa diakses tidak terbatas ruang dan waktu, bahkan akan menjadi bumerang ketika prilaku tadi tidak sesuai dengan aturan maupun kaidah norma yang berlaku.
Meskipun ruang digital ditujukan untuk membuka kesempatan seluas-luasnya, kepada publik untuk memajukan pemikiran, serta kemampuan dalam penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi seoptimal mungkin, berdasarkan asas kepastian hukum, kemanfaatan, kehati-hatian, itikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi. Sebagaimana inti dari asas dan tujuan yang dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.
Kebebasan dalam mengekspresikan diri, berkomentar maupun menuangkan kritik, serta menyebarluaskan informasi elektronik tetap diwajibkan untuk tidak melanggar peraturan dan kaidah norma, agar tidak merugikan orang lain termasuk diri kita pribadi.
Masih penulis ingat, kejadian kasus Prita Mulyasari di tahun 2008 silam. Dikarenakan email pribadinya kepada teman terdekatnya, yang mengeluhkan pelayanan salah satu rumah sakit swasta, kemudian beredar di dunia digital. Selama lima tahun nasibnya terhempas dalam polemik gugatan perdata dan tuntutan pidana. Pro kontra publik muncul, reaktif hingga memicu gerakan koin untuk Prita. Kasus ini berakhir dengan putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung di tahun 2012 yang membebaskan Prita dari jerat pidana.
Bila dibandingkan dengan kemajuan teknologi digital saat ini, serta lebih banyaknya akses sarana digital, tidak sedikit komentar-komentar netizen dalam merespons isu, serta menyebarluaskan informasi digital, bisa bermuara kepada kasus hukum seperti halnya yang telah digambarkan di atas, mengingat sanksi dalam UU ITE tidak memandang siapapun.
Perlu menjadi perhatian bersama, bahwa beberapa unsur terkait perbuatan yang dilarang telah diatur dalam UU ITE. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 27, intinya melingkupi larangan apabila setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya informasi elektronik, dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan, bermuatan perjudian, dan bermuatan penghinaan serta pencemaran nama baik.
Kemudian dalam Pasal 28, yang melarang apabila setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, sehingga mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Ayat selanjutnya melarang untuk menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Termasuk larangan untuk mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti untuk ditujukan secara pribadi, yang diatur dalam Pasal 29.
Bak pisau bermata dua, menurut penulis, pasal-pasal larangan di dalam UU ITE tidak memiliki tolok ukur yang jelas, sehingga terkadang didefinisikan dengan terminologi praktis secara subjektif oleh penegak hukum, atau pihak tertentu yang berkepentingan sesuai maksud dan tujuan tertentu, yang menyebabkan ketentuan maupun unsur pidana dalam pasal larangan di UU ITE bisa dianggap sebagai "pasal karet". Hingga saat ini, sedangkalnya pengetahuan penulis, terkadang masih kebingungan dalam membedakan antara mana yang menjadi pelaku atau korban.
Terlepas dari penafsiran pasal dalam UU ITE, namun esensi yang perlu diambil sebagai suatu pembelajaran, adalah perlunya sikap bijak kita, untuk menjaga etika di ruang digital. Selaku pengguna media sosial di ruang digital, diperlukan kedewasaan dan kontrol dalam menggunakan akses serta menyaring informasi digital, agar tidak tersandung dalam larangan yang diatur dalam UU ITE.
Kontrol tersebut yakni bijak dalam berkomentar, yaitu meghindari komentar yang mencela ataupun menjelekkan orang lain yang berakibat buruk bagi orang lain termasuk pribadi. Kemudian bijak dalam berbagi informasi, yaitu memilah dan berpikir sebelum berbagi status, foto, serta video di ruang digital agar tidak melanggar norma maupun etika. Termasuk membiasakan untuk menyaring terlebih dahulu, memeriksa kembali berita dan sumbernya untuk memastikan validitas informasi guna menghindari hoaks dalam berbagi informasi.
Terakhir, adalah bijak dalam menjaga informasi dan keamanan akun pribadi kita sendiri. Karena informasi pribadi yang terakses dalam ruang digital sangat memungkinkan untuk dapat disalahgunakan oleh pihak tertentu, bahkan membuka niat tindak kejahatan atas kelalaian kita dalam menjaga keamanan data pribadi.
Benny Sanjaya, S.H., M.H
Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Ombudsman RI Kalsel