Menilik Potensi Pungli Berjenjang
Pungutan liar (pungli), hingga saat ini masih ditemukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pungli terjadi di banyak lini layanan publik, misalnya administrasi, baik itu pembuatan KTP, KK, layanan pembuatan segel/sporadik, penerbitan sertipikat. Untuk layanan dalam kategori jasa, seperti layanan kesehatan, baik pungli saat mengambil nomor antrian, hingga pungli untuk mendapatkan kamar rawat inap rumah sakit, atau layanan transportasi, mulai dari layanan uji kelayakan kendaraan, hingga pungli layanan kapal penyebrangan. Laporannya pun terus berulang, dengan berbagai modus yang semakin tak masuk akal.
Modus Pungli
Selama tujuh tahun menangani laporan masyarakat, biasanya dalam hal layanan administrasi, oknum petugas beraksi dengan modus menawarkan layanan cepat, bahkan tanpa yang bersangkutan datang ke tempat layanan. Bagi orang yang bekerja atau memiliki kesibukan, tawaran ini tentu menggiurkan dan besar kemungkinan untuk tidak menolaknya, walaupun biasanya harus mengeluarkan uang, bahkan dengan jumlah lebih banyak, untuk layanan dimaksud. Bahkan untuk layanan administrasi pembuatan sporadik/segel, oknum petugas sudah menetapkan tarif (yang biasanya berlaku), padahal tidak ada kewenangan dan dasar hukum yang jelas, untuk memungut baik retribusi ataupun biaya lainnya terkait dengan layanan yang diselenggarakannya. Hanya bermodal jaminan dibuatkan segel, masyarakat awam pun mengikuti apa yang dimintakan oleh oknum petugas.
Hampir sama dengan modus layanan administrasi di atas, layanan jasa dalam bentuk antrian pasien dan kamar rawat inap juga menawarkan layanan cepat dan menjamin ketersediaan kamar, jika bersedia untuk membayar kepada oknum petugas. Demi mendapatkan layanan kesehatan, keluarga/pasien biasanya tak punya pilihan lain, dengan membayar apa yang diminta oleh oknum petugas, padahal dalam ketentuannya sekali lagi tak diperkenankan adanya biaya tambahan dalam hal mendapatkan nomor antrian ataupun kamar rawat inap.
Modus lebih kompleks juga terjadi pada layanan transportasi (kapal penyebrangan), pungli dilakukan secara terbuka, menetapkan tarif lebih besar dari biasanya, dan meberikan bukti tiket berupa secarik kertas, bahkan oknum petugas berani memberi garansi, bahwa secarik kertas yang hanya bertuliskan nominal angka dan tanda tangan oknum petugas, dapat dipakai untuk klaim asuransi, jika misalnya terjadi musibah, kapal tenggelam atau lainnya.
Fenomena Potensi Pungli Berjenjang
Terjadinya pungli, bisanya tak hanya dilakukan oleh satu oknum saja, tak menutup kemungkinan juga ada oknum lain, yang merupakan atasan dari oknum pelaksana yang juga ikut berperan. Hal ini terbukti dari laporan mengenai pungli pada layanan administrasi yang masuk ke Ombudsman Kalsel. Pungli bermula karena faktor tempat tinggal masyarakat yang jauh dari pusat layanan, ditambah dengan tidak ada kantor/UPT layanan di daerah tersebut, hingga masyarakat mengeluh kesulitan untuk mengakses layanan.
Melihat potensi tersebut, oknum petugas desa, menawarkan masyarakat untuk menguruskan layanan administrasi tersebut melalui desa, nantinya pihak desa akan megurusnya ke dinas terkait. Namun tawaran tersebut tak gratis, mayarakat harus membayar dengan tarif yang sudah ditentukan, kepada oknum petugas. Misalnya untuk pengurusan e-KTP dikenakan tarif Rp50.000,00, untuk pengurusan pengurusan Akte Kelahiran dan perubahan KK dikenakan tarif Rp100.000,00, untuk layanan perubahan nama karena salah penulisan Rp100.000,00.
Oknum petugas berdalih, bahwa uang yang diminta dari masyarakat tersebut, digunakan sebagai biaya operasional mengurus ke dinas terkait yang jaraknya memang lumayan jauh dari tempat tinggal masyarakat dan kantor desa, dan memberi kepada oknum lain pada dinas tertuju agar layanannya cepat dan kebutuhan administrasi masyarakat dapat terpenuhi.
Tawaran Solusi
Memberantas pungli memang bukan hal yang mudah, terlebih lagi pungli yang telah terpola, dan melibatkan banyak pihak. Namun sesulit apapun, pasti ada cara untuk mencoba memperbaiki 'penyakit' yang sebenarnya merusak citra birokrasi dan menyulitkan masyarakat tersebut. Salah satu tawarannya adalah untuk memaksimalkan layanan kepada masyarakat, dengan cara mendekatkan pos-pos layanan, bisa saja dilakukan melalui mobile klinik layanan publik, jika tidak dimungkinkan membuat kantor UPT misalnya, karena terkendala anggaran daerah. Setidaknya dengan hadirnya mobile klinik layanan publik di daerah-daerah yang jaraknya jauh dari pusat layanan kota/kabupaten atau bahkan pada daerah yang sulit dijangkau, akan sedikit memudahkan masyarakat dalam mengangses layanan publik.
Mengapa harus mobile klinik layanan publik? Hal ini untuk memperpendek jarak kesenjangan di masyarakat, karena dengan layanan online misalnya, tidak menjamin masyarakat untuk dapat menikmati haknya dalam pelayanan publik. Tak hanya masalah perangkat saja (telepon pintar), namun kendala jaringan telekomunikasi juga menjadi salah satu hambatan dalam layanan online. Oleh karena itu, tak ada lagi alasan terhadap daerah, khususnya dinas sebagai pelaksana teknis layanan publik, untuk tidak hadir di tengah masyarakat.
Tawaran lainnya juga bisa dengan memberikan shock therapy untuk dilakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap oknum petugas yang melakukan pungli, sehingga ada efek jera. Sekaligus sebagai pengingat bahwa dalam proses penyelenggaraan layanan, terus diawasi oleh berbagai pihak, baik dari masyaraakat sendiri sebagai pengguna layanan, pihak saber pungli, Ombudsman, dan pihak lainnya yang mempunyai tujuan yang hampir sama, tentunya untuk menghapus perilaku pungli, terlebih lagi pungli berjenjang yang dilakukan oleh oknum petugas pelayanan publik.
Zayanti Mandasari, S.H., M.H
Asisten Pemeriksaan Laporan Ombudsman RI Kalsel