• ,
  • - +

Artikel

Menilik Nasib Honorer di Tahun 2023
• Selasa, 07/06/2022 •
 
Iman Dani Ramdani S.AP.

Pengelolaan kepegawaian oleh Pemerintah terhadap tenaga honorer masih menyisakan problematika yang sistemik. Hal ini terbukti dengan belum adanya formulasi yang berkeadilan bagi para tenaga honorer di Indonesia, mulai dari dasar penetapan, penggajian/pengupahan, hingga pemutusan kerja (termasuk jaminan sosial). Pengangkatan tenaga honorer baik di pusat maupun di daerah sebenarnya dilatarbelakangi oleh masih adanya ruang kosong di dalam pengisian sumber daya manusia di lingkungan pemerintahan, baik untuk pelayanan publik, administratif atau tenaga lainnya yang tidak dapat dipenuhi oleh Pemerintah melalui mekanisme perekrutan Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).

Pada implementasinya, standarisasi perekrutan terhadap tenaga honorer belum dapat dianggap seragam, sehingga menimbulkan disinformasi dan mindset yang salah dari sistem kepegawaian yang telah ada. Hal ini diperparah dengan sikap Pemerintah yang seakan-akan tidak segera mengakhiri kondisi tersebut dari masa ke masa. Meskipun sebagian besar para tenaga honorer telah mengetahui konsekuensi yang diambil dari jalur perekrutan honorer, tentunya selalu ada asa dan keinginan bagi mereka untuk diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau P3K atas pengabdian yang telah diberikan. Terlebih, ekosistem yang ada menuntut mereka untuk mengerjakan tugas yang tidak terlalu jauh berbeda dengan para ASN atau P3K. Namun, kondisi yang ada terkadang tidak selalu sesuai dengan harapan karena beberapa batasan seperti umur, pendidikan dan kemampuan bersaing dalam proses seleksi. Akhirnya tuntutan akan bermuara kepada Pemerintah yang dianggap tidak melakukan apa pun/membiarkan semua proses ketidakadilan di dalam sistem kepegawaian terjadi pada mereka.

 

Data Kepegawaian

Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara pada 31 Desember 2021, tercatat jumlah ASN yang berstatus aktif adalah 3.995.634 atau turun 11,8% dari tahun 2015. Sedangkan jumlah P3K sebanyak  50.553, sebagaimana gambar berikut:

 

 

Gambar 1 : Pergerakan Jumlah ASN dan info grafis Jumlah P3K (Bidang Sistem Informasi Kepegawaian BKN)


Berbanding terbalik dengan penurunan jumlah ASN, data belanja pegawai pusat dan daerah provinsi (belum termasuk kabupaten/kota) justru mengalami kenaikan sejak tahun 2017 sampai dengan tahun 2020 dan cenderung akan mengalami peningkatan pada tahun-tahun berikutnya sebagaimana data berikut:

Gambar 2 : Belanja Pegawai Pusat dan Daerah Provinsi (Sumber Data diolah dari Kementerian Keuangan dan Badan Pusat Statistik)


Meskipun terlalu dini untuk mengatakan adanya pola distribusi anggaran yang tidak merata pada sistem belanja kepegawaian kita, namun patut dideteksi bahwa fenomena kenaikan belanja pegawai tanpa disertai dengan kuantitas kepegawaian, saat ini sedang terjadi. Tentunya akan ada penjelasan terhadap data tersebut, namun akan ada pertanyaan juga bagi mereka para tenaga honorer yang statusnya masih dianggap sebagai pelengkap tentang kondisi yang ada. Pengelolaan kepegawaian tanpa memperhatikan kuantitas sebenarnya dapat berpotensi menimbulkan adanya disparitas antara rasio penduduk dengan rasio kepegawaian yang semakin menjauh.    

Saat ini, Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di pusat dan daerah masih sering berdebat mengenai mana yang perlu didahulukan antara kualitas dan kuantitas ASN/P3K dalam menjalankan roda birokrasi dan pelayanan publik. Mereka yang berpandangan bahwa kuantitas perlu didahulukan menganggap, masih banyak posisi-posisi kosong dan wajib terisi belum mampu diisi oleh ASN karena adanya keterbatasan dalam jumlah pegawai. Sedangkan, mereka yang berpandangan bahwa kualitas perlu didahulukan karena menganggap bahwa porsi ASN yang terlalu gemuk dalam organ birokrasi sehingga dianggap inefisien dalam segi jumlah maupun anggaran. Sepanjang mindset yang berbeda tersebut terjadi, maka akan selalu ada persoalan dalam birokrasi dan manajemen kepegawaian kita. Terlebih, fungsi alokasi anggaran dan kapabilitas dari analisa kebutuhan pegawai sangat menentukan dalam goal atau tidaknya usulan formasi kepegawaian dari para PPK pusat maupun daerah.    

 

Nasib Pegawai Honorer

Pasca diterbitkannya Surat Menpan RB Nomor: B/185/M.SM.02.03/2022 tanggal 31 Mei 2022 perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka PPK pada masing-masing instansi pusat maupun daerah  diminta untuk: 1) Melakukan pemetaan bagi pegawai non ASN yang mana bagi yang memenuhi syarat diikutsertakan/diberikan kesempatan mengikuti seleksi ASN/P3K; 2) Menghapuskan jenis kepegawaian selain ASN dan P3K dan tidak diperkenankan melakukan perekrutan non-ASN (dibatasi s.d tahun 2023); 3) Opsi outsourcing  bagi jenis tenaga pendukung lain; 4) Menyusun langkah strategis penyelesaian kepegawaian non-ASN yang tidak memenuhi syarat; dan 5) Konsekuensi sanksi bagi PPK yang tidak mengindahkan aturan tersebut.

Pilihan Pemerintah saat ini adalah do something atau do nothing. Aturan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja sebenarnya adalah momentum yang baik bagi Pemerintah untuk memutus mata rantai persoalan sistemik kepegawaian yang telah terjadi menahun dari masa ke masa. Pada tahun 2023 ke depan, diharapkan sistem kepegawaian yang berkeadilan bagi pegawai yang mengabdi pada negara dapat ter-manage dengan baik. Namun, yang akan menjadi tantangan adalah bagaimana Pemerintah mampu mengakhiri/menghapuskan tenaga honorer tanpa merugikan hak-haknya yang bahkan tidak diatur secara jelas di dalam aturan-aturan kepegawaian yang ada, di samping pengabdian yang telah diberikan semisal oleh tenaga pendidik, tenaga kesehatan dan tenaga lain yang berada di daerah terpencil. Jika melihat surat Menpan RB Nomor: B/185/M.SM.02.03/2022, maka PPK perlu menyusun langkah strategis penyelesaian kepegawaian non-ASN yang tidak memenuhi syarat. Arahan tersebut cukup rentan, apabila PPK tidak bertindak bijaksana (wisdom) dalam mengatasi persoalan tersebut. 

Tidak adanya jaminan pasca kerja tenaga honorer berpotensi menjadi permasalahan bagi Pemerintah dalam memutus mata rantai tenaga honorer ini, utamanya bagi mereka yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi ASN/P3K. Tuntutan itu akan diarahkan kepada Pemerintah, terlepas dari siapa PPK yang telah merekrut mereka. Maka, pemetaan bagi tenaga honorer yang berpotensi tidak memenuhi syarat juga penting dilakukan oleh PPK, guna mengetahui potensi tuntutan/pengaduan yang sekiranya dapat dideteksi sejak dini agar tidak menciptakan problematika pada saat kebijakan ini mulai diterapkan. Opsi lain yang ditawarkan melalui surat Menpan RB yakni melalui pengisian outsourcing  bagi tenaga lain (tertentu). Alasan yang cukup rasional untuk penerapan ini adalah adanya jaminan sosial yang lebih pasti, karena disandarkan kepada Hukum Ketenagakerjaan dan aturan turunannya. Tetapi, akan ada cost lebih yang dikeluarkan PPK untuk hal tersebut. Pemerintah melalui PPK perlu menghitung secara pasti apakah kebijakan tersebut dapat memberikan efisiensi atau justru menciptakan inefisiensi anggaran.

Para PPK pada instansi pusat maupun daerah perlu juga menjamin secara pasti bahwa pengalihan tenaga honorer/non-ASN yang telah lama mengabdi pada rumpun tenaga lain (pengemudi, tenaga kebersihan, dan pengamanan) menjadi outsourcing tidak merugikan hak mereka. Para honorer/non ASN rumpun tenaga lain yang telah mengabdi atau sebelumnya bekerja pada instansi masing-masing perlu diberikan kesempatan yang lebih untuk bekerja pada instansi tersebut meskipun beralih menjadi outsourcing dalam upaya menjamin kelangsungan pekerjaan mereka. Para PPK perlu memastikan calon perusahaan outsourcing agar dapat memberikan pilihan bagi para pekerja rumpun tenaga lain yang sudah lama mengabdi ini, untuk melanjutkan pekerjaan atau mengakhirinya.

Sinyal kebijakan afirmatif pengalihan tenaga honorer ke ASN/P3K secara bertahap/otomatis utamanya untuk yang telah berusia lanjut, rentan tidak lulus (tidak mampu bersaing) rasanya juga belum terlalu kuat terlihat. Patut diduga, yang menjadi alasannya adalah persoalan aturan dan dasar kebijakan, anggaran, serta kesiapan yang belum dapat dilakukan secara cepat oleh Pemerintah. Akhirnya, kebijakan Pemerintah untuk "do something" akan ditunggu oleh para tenaga honorer untuk memperbaiki kualitas manajemen kepegawaian dan sumber daya Pemerintahan yang lebih profesional. Para PPK di setiap instansi memegang peranan penting dalam suksesi sistem dan reformasi kepegawaian yang telah lama menjadi harapan. Karenanya para PPK perlu mendengar semua masukan para pihak guna mengimplementasikan kebijakan ini.

 

Iman Dani Ramdani S.AP.

Asisten Bidang Pemeriksaan Perwakilan Ombudsman RI Jawa Barat





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...