Mengikis Maladministrasi Pelayanan Publik
Keluhan mengenai kualitas pelayanan publik (yanlik) di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) sepanjang tahun 2021 meningkat. Data bicara, dalam hal akses masyarakat ke Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan, jumlahnya bertambah 686 (125,64%) dari 546 (2020) menjadi 1.232 (2021). Akses ini termasuk konsultasi dan laporan masyarakat. Khusus untuk laporan masyarakat angkanya juga naik 43 (27,74%) dari 155 (2020) menjadi 198 (2021).
Ada berbagai sektor yang dilaporkan masyarakat, lima terbanyak adalah terkait infrastruktur, jaminan sosial, air minum, pendidikan dan administrasi kependudukan (adminduk). Laporan mengenai infrastruktur, substansinya antara lain kerusakan jalan, jembatan, pasar, sekolah dan puskesmas. Jaminan sosial menyangkut pendataan penerima bantuan, prosedur pemberian bantuan sosial dan penggunaan kartu BPJS Kesehatan. Layanan air minum juga banyak diadukan, terutama karena distribusinya yang tidak lancar, tidak mengalir atau macet serta prosedur pemutusan rekening atau meteran air. Sektor pendidikan memunculkan pula beragam laporan, seperti pendataan penerima bantuan Kartu Indonesia Pintar (KIP), permintaan sumbangan beraroma pungutan, penjualan buku paket dan proses seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Terakhir, layanan di bidang adminduk yang berkaitan dengan standar pelayanan, sikap layanan dan kompetensi petugas dalam pengurusan dokumen kependudukan, contohnya Akta Kelahiran, Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga.
Penafsiran terhadap data di atas bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, dari sisi masyarakat selaku pengguna atau penerima yanlik. Bahwa ada kekecewaan dari masyarakat terhadap kinerja penyelenggaraan yanlik dan pencurahan perasaan itu tidak memperoleh saluran yang semestinya. Padahal masyarakat berhak untuk mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Tafsir yang lebih optimistis adalah keinginan dan ekspektasi masyarakat yang semakin tinggi terhadap penyelenggaraan yanlik, suatu pengharapan sekaligus doa agar yanlik mampu bertransformasi dari standar minimal menjadi kualitas prima. Artinya penyelenggaraan yanlik membutuhkan partisipasi masyarakat di hulu dan di hilir, pada saat perencanaan maupun evaluasi, mengingat masyarakat juga memiliki peran pengawasan eksternal, sehingga berhak meminta pimpinan/pelaksana yanlik untuk memperbaiki pelayanan yang tidak sesuai standar dan mengadukan penyelenggara/pelaksana yanlik yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan.
Kedua, dari sisi penyelenggara, termasuk pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota), instansi vertikal dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sebagai pemberi yanlik. Di satu sisi memang ada hal-hal positif yang sudah dilakukan, upaya-upaya inovatif dalam rangka meningkatkan kinerja serta mempercepat dan mempermudah pelayanan kepada masyarakat. Namun di sisi yang lain kenaikan jumlah laporan masyarakat mencerminkan dugaan maladministrasi yang semakin banyak. Artinya ada kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan yanlik dalam berbagai bentuknya, seperti tidak memberikan pelayanan, penundaan berlarut, penyimpangan prosedur, permintaan imbalan, dan tidak kompeten. Padahal Presiden Joko Widodo, dalam satu acara di Ombudsman RI menegaskan bahwa tidak ada toleransi bagi penyelenggara yanlik yang lambat dan berbelit-belit, tidak ada tempat bagi pelayanan yang tidak ramah dan tidak responsif, jangan pernah merasa cukup dengan apa yang telah dikerjakan karena situasi terus berubah, penyelenggara yanlik tidak boleh bekerja biasa-biasa saja, harus segera mengubah cara berpikir.
Maka, di tahun 2022 ini penyelenggara yanlik perlu terus menguatkan komitmen dan melakukan aksi-aksi konkret untuk memperbaiki kualitas yanlik. Penulis menyarankan beberapa hal berikut ini patut menjadi perhatian dan acuan dalam pelaksanaannya. Pertama, memastikan keberadaan dan pemberlakuan Standar Pelayanan. Setidaknya ada tiga hal yang wajib dijalankan penyelenggara yanlik terkait standar pelayanan ini, yaitu menyusun dan menetapkan standar pelayanan dengan memperhatikan faktor internal dan eksternal, mengikutsertakan masyarakat, serta menerapkan standar pelayanan.
Standar pelayanan sekurang-kurangnya memuat 14 komponen, empat diantaranya berhubungan langsung dengan pengguna pelayanan dan seringkali menjadi sumber keluhan, yakni persyaratan, mekanisme dan prosedur, waktu penyelesaian serta biaya/tarif. Standar pelayanan yang dibuat kemudian diumumkan kepada masyarakat, dievaluasi atau ditinjau secara berkala serta dilengkapi dengan Maklumat Pelayanan.
Kedua, memastikan manajemen pengelolaan pengaduan berjalan dengan baik. Pengelolaan pengaduan bukanlah pekerjaan yang asal ada, ini merupakan pekerjaan penting yang membutuhkan profesionalisme dan tidak boleh dianggap sebagai tugas tambahan, terutama agar ketidakpuasan terhadap kinerja pelaksana yanlik atau kualitas produk pelayanan yang diberikan dapat segera diatasi. Tidak larut dalam ketidakpastian dan tidak berkembang ke mana-mana. Pengaturannya dalam UU Pelayanan Publik maupun Peraturan Presiden RI Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik. Profesionalisme dalam manajemen pengaduan tergambar dari beberapa hal. Pertama, sarana pengaduan yang tersedia secara langsung, tidak langsung atau elektronik. Kedua, pejabat atau pelaksana pengaduan yang berkompeten, khususnya menyangkut teknis pekerjaan maupun cara penanganan keluhan (complaint handling). Ketiga, mekanisme dan tata cara pengelolaan pengaduan yang jelas. Keempat, tindak lanjut penyelesaian pengaduan secara cepat, tepat, tertib, tuntas dan bisa dipertanggungjawabkan. Terakhir, sistem pengelolaan pengaduan yang ada di masing-masing penyelenggara yanlik terintegrasi ke dalam Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N), salah satunya melalui aplikasi Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!), sehingga tercipta sinergi dan kesinambungan dalam penyelesaian permasalahan.
Ketiga, mengembangkan inovasi secara berkelanjutan. Inovasi ini dapat menjadi faktor pembeda karena ia merupakan hal-hal yang baru diciptakan atau hasil pengembangan yang mendatangkan manfaat besar bagi penyelenggaraan yanlik. Bentuknya bisa berbasis program (program-based) atau aplikasi teknologi (IT-based). Penyelenggara harus meninggalkan cara-cara yang biasa atau konservatif dalam pemberian pelayanan dan penyelesaian permasalahan, beranjak ke pendekatan yang sifatnya lebih komprehensif, adaptif dan inovatif. Pemicunya beragam, salah satunya adalah pandemi Covid-19 yang telah melanda dunia dua tahun terakhir, juga kemajuan teknologi sedemikian cepat yang membuat dunia terasa semakin mengecil (shrinking world) serta komposisi penduduk Indonesia yang saat ini mayoritas diisi kaum Milenial dan Gen Z yang membawa nilai, perilaku dan preferensi yang berbeda dari generasi-generasi sebelumnya. Oleh karenanya tidak ada pilihan bagi penyelenggara yanlik selain berubah atau berinovasi, kalau tidak keinginan mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas prima akan sulit dicapai. Misal, dengan penerapan sistem antrianonline, pembukaan Anjungan Dukcapil Mandiri (ADM) dan implementasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam memberikan layanan kepada para pengguna.
Keempat, membangun budaya kerja dan organisasi yang berorientasi pada yanlik yang berkualitas. Berlainan dengan tiga hal sebelumnya, budaya sifatnya tidak berwujud namun bisa dirasakan (intangible), sangat penting dan tidak boleh diabaikan. Budaya ini sekurang-kurangnya mencakup nilai dan kepemimpinan. Nilai diformalkan dalam bentuk Kode Etik dan Kode Perilaku yang disepakati dan dipatuhi bersama mulai dari level terbawah hingga ke level paling atas. Artinya pemimpin tidak hanya menyampaikan perintah dan arahan, tetapi turut memberikan teladan dan contoh nyata dalam melaksanakan Kode Etik dan Kode Perilaku tersebut. Ada rasa malu ketika melanggar aturan, dan juga malu saat berperilaku maladministrasi. Dengan demikian, muncul kesesuaian antara perilaku dengan ucapan yang memancarkan aura kewibawaan dan kejujuran, sehingga integritas penyelenggara yanlik terjaga serta kepercayaan publik meningkat.
Maladministrasi dalam pelayanan publik masih ada. Untuk mengikisnya, diperlukan komitmen yang kuat dari para penyelenggara yanlik, disertai dengan peningkatan kompetensi diri maupun penguatan etika (spiritualitas, integritas) dan etos kerja (motivasi, kedisiplinan). Tak kalah pentingnya, aksi-aksi konkret yang mampu mendorong penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas prima, bebas maladministrasi dan bermanfaat bagi masyarakat, antara lain melalui hal-hal yang telah disarankan penulis di atas.
Hadi Rahman, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Selatan