• ,
  • - +

Artikel

Menghindari Prasangka Buruk dalam Organisasi
• Jum'at, 29/07/2022 •
 

Sudah menjadi wajar jika sesuatu yang dilakukan terus menerus ibarat perjalanan panjang, pasti membutuhkan pemberhentian sejenak. Kenapa? Karena segala sesuatu itu memiliki kapasitas maksimal, untuk mampu berada dalam kapasitas itu dalam waktu yang panjang, ia harus selalu dipulihkan setelah mencapai kapasitas tertentu. Seperti sebuah mesin yang tidak dirawat dipakai terus menerus pasti akan cepat rusak dan tidak nyaman.

Demikian juga kondisi jiwa manusia. Setelah mencapai pencapaian kerja tertentu, ia perlu berhenti sejenak untuk mengevaluasi, bertaubat, dan mengumpulkan serpihan semangat untuk pekerjaan selanjutnya. Dengan pola yang demikian, maka jiwa bisa menempuh perjalanan yang lebih panjang, karenanya dalam bekerja ada istilah cuti, pelatihan peningkatan kapasitas, ada healing, ada banyak ragam cara untuk memenuhi kekosongan jiwa itu.

Era keterbukaan yang ada saat ini, membuat kerja-kerja pelayanan publik memiliki beban yang jauh lebih berat, kesalahan kecil yang belum di konfirmasi pun bisa menjadi bahan untuk menghancurkan banyaknya tabungan kebaikan yang ada. Maka berhenti sejenak menjadi kebutuhan dasar bagi siapa pun khususnya bagi mereka yang bertugas memberikan pelayanan publik di garda terdepan.

Ombudsman selaku pengawas pelayanan publik juga mendorong agar peningkatan kapasitas dan kualitas SDM yang melakukan pelayanan langsung kepada masyarakat diberikan "tempat-tempat pemberhentian" yang teratur dan terukur agar kualitas pelayanan bisa berlangsung dalam jangka panjang, nilai hijau saat ini tetap hijau hingga nanti. Bukan malah berganti-ganti seperti pelangi.

Dalam Islam, Allah SWT sang pemilik kemurahan dan keluasan ilmu-Nya menjadikan ibadah bertingkat-tingkat, ada salat lima waktu sebagai ibadah harian, ada salat Jumat sebagai ibadah mingguan, ada puasa sunah untuk pemberhentian bulanan, ada Ramadan sebagai ibadah tahunan, dan haji sebagai capaian akhir bagi yang mampu.

Kondisi SDM yang memiliki perbedaan status, tupoksi, gaji, dan lainnya tidak seharusnya menjadi penghalang untuk mencapai tujuan organisasi (memberikan pelayanan prima dan bermutu sesuai standar UU). Memang ada yang melaju di depan, ada yang tertinggal di belakang, ada yang "mengalami masalah", ada yang "mulus" karirnya. Namun sikap saling memahami, saling bahu-membahu di kala ada musibah, saling mempercayai, dan mematuhi arahan pimpinan yang satu, saat kita menjadi bawahan, adalah upaya terbaik untuk bisa mencapai tujuan besar organisasi.

Boleh jadi belum tercapainya kapasitas maksimal terhadap kualitas pelayanan publik di negeri ini, penyebab internalnya karena sering dipenuhi kecurigaan dan prasangka buruk atas langkah saudara kita, terutama saudara yang menempuh tujuan dengan posisi dan cara kerja yang berbeda. Kemudian muncul di permukaan sikap acuh tak acuh, hilangnya empati karena perbedaan dan praduga yang lebih mendominasi sikap mental.

Ada baiknya kita berhenti sejenak, istilahnya healing, tarik nafas, melihat kembali tujuan utama kehidupan kita. Lalu kita evaluasi apakah langkah-langkah yang selama ini ditempuh saudara kita melanggar kode etik, aturan umum organisasi, aturan syariah/agama dalam koridor-Nya atau tidak. Syukur jika tidak. Andai pun "diduga" menyimpang, maka konfirmasi adalah langkah yang tepat. Karena bisa jadi, masing-masing berangkat dari titik pemahaman teknis yang berbeda. Konfirmasi dan penegasan berulang ini perlu dilakukan sebelum kita menjatuhkan prasangka buruk atas langkah saudara kita. Banyak nasihat orang-orang saleh yang sering kita dengar berulang-ulang sebuah kalimat hikmah, "Carilah alasan hingga tujuh puluh alasan untuk saudara Anda. Jika Anda tidak menemukan alasan, katakan, barangkali ia mempunyai alasan yang tidak aku ketahui".

Alangkah indahnya jika kalimat hikmah itu kita terapkan dalam kehidupan kita untuk menumbuhkan kekuatan dan optimisme dalam pekerjaan. Jika kita renungkan dari dulu hingga sekarang ini, penyakit berat yang menghambat kemajuan suatu organisasi bahkan mungkin sebuah bangsa, yakni perpecahan. Sementara hal yang sangat sulit diwujudkan dari dulu hingga sekarang adalah persatuan dan kesatuan yang murni dari dalam jiwa dengan dimensi panjang yang solid dan kokoh.

Dengan berhenti sejenak, semoga setiap diri menyadari akan kelemahan dan kekurangan dirinya, memohon ampun kepada Allah SWT atas dosa-dosa dan prasangka-prasangka itu, fokuskan pada tujuan besar dan cita-cita bersama, sehingga kemenangan dan kesuksesan organisasi semakin dekat di hadapan kita.

Ke depan kita harus mulai untuk mencoba melakukan kebaikan tanpa pengaruh dari sikap orang lain, tapi kebaikan itu muncul dari pemahaman sempurna bahwa kita memang ingin dan harus melakukan kebaikan itu. Sehingga yang dilakukan ke depan adalah upaya peningkatan bukan berputar-putar pada masalah yang sama. Standar pelayanan minimum sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging, selanjutnya meningkatkan ke level selanjutnya, selamat datang program Survei Kepatuhan 2022.

Waallahu'alam bishshawaab.


Eko Sutowo, SE

ASN Ombudsman RI





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...