• ,
  • - +

Artikel

Mengawal Wacana KUA untuk Pelayanan Semua Agama
• Selasa, 15/04/2025 •
 
Sopian Hadi, Asisten Ombudsman

Kantor Urusan Agama (KUA) adalah lembaga pencatan perkawinan bagi umat Islam. Kantor KUA tersebar di setiap kecamatan. Tidak banyak lembaga vertikal kementerian, selain Koramil dan Polsek, yang layanannya mampu menjangkau hingga ke pedesaan. Hingga saat ini, setidaknya sudah ada 5.913 KUA yang tersebar di 34 provinsi. KUA merupakan unit pelaksana teknis Kementerian Agama. Secara struktural KUA Kecamatan, berada di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Islam.

Merujuk pada Pasal 3 Peraturan Menteri Agama Nomor 34 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan, KUA Kecamatan menyelenggarakan pelayanan publik, antara lain pelaksanaan pelayanan, pengawasan, pencatatan dan pelaporan nikah dan rujuk, pelayanan bimbingan keluarga sakinah, pelayanan bimbingan kemasjidan, bimbingan hisab rukyat dan pembinaan syariah.

Selain itu, KUA juga melaksanakan fungsi pelayanan bimbingan dan penerangan Agama Islam, pelayanan Bimbingan Zakat dan Wakaf dan layanan bimbingan Manasik Haji bagi Jemaah Haji Reguler. Dari jenis-jenis layanan publik yang diberikan KUA, tergambar bahwa layanan di KUA, saat ini hanya bisa melayani masyarakat yang beragam Islam.

Belakangan ini, Kementerian Agama mewacanakan untuk menjadikan KUA Kecamatan sebagai kantor pelayanan publik bagi semua agama. Tentu saja, wacana ini menimbulkan sikap pro dan kontra berbagai kalangan. Terlebih ada sejarah dan landasan hukum yang mengatur bahwa pelayanan di KUA hanya untuk yang beragama Islam.

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak Dan Rujuk juncto Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura. Selain itu, ada aturan turunan dari Undang-Undang Perkawinan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bagi yang beragama Islam, pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah yang ada di KUA. Sedangkan bagi yang beragama selain Islam, pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Transformasi layanan publik tersebut, tentu memerlukan waktu. Mengingat ada latar sejarah dan peraturan perundangan yang menjadi rujukan.

Dalam melakukan terobosan pelayanan KUA, Kementerian Agama sudah melakukan pemetaan layanan publik yang rencananya akan diberikan oleh KUA Kecamatan untuk semua agama, diantaranya pendaftaran perkawinan, pencatatan, penerbitan surat rekomendasi, bimbingan pranikah, perubahan data perkawinan. Selain itu, ada layanan konsultasi keluarga Hitta Sukhaya bagi yang beragama Budha, kelurga sakinah, keluarga Kristiani dan keluarga bahagia Katolik. Layanan lainnya adalah penerbitan identitas rumah ibadah, surat rekomendasi bantuan rumah ibadah.

Dalam konteks pelayanan publik, wacana tersebut perlu diapresiasi. Mengingat keberadaan KUA yang hampir merata menjangkau daerah pedalaman, tentu sangat memudahkan bagi masyarakat. Layanan publik akan semakin mudah dan cepat, tanpa memandang latar belakang agama.

Bagi masyarakat yang berada di daerah pedalaman, akses untuk ke kota sangat jauh. Kantor Dinas Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota, relatif berada di perkotaan. Belum lagi kondisi medan yang sulit ditempuh. Dengan adanya layanan KUA yang bisa mencatatkan perwakilan seluruh agama, maka akan berdampak pada peningkatan pencatatan perkawinan bagi penduduk selain yang beragama Islam. Seluruh masyarakat, akhirnya dapat terlayani dengan baik. Karena konsep ini mendekatkan pelayanan kepada masyarakat di kecamatan tersebut.

Adanya layanan KUA bagi semua agama, juga menghilangkan kesan diskriminatif. Karena selama ini, layanan KUA sangat eksklusif, hanya melayani masyarakat yang beragama Islam. Dengan adanya layanan publik yang terbuka bagi semua agama, maka dapat menumbuhkan sikap toleransi yang tinggi antarpemeluk agama. Konsep ini, juga harus mengakomodir layanan publik bagi yang menganut kepercayaan. Misalnya pelayanan pencatatan perkawinan bagi yang menganut kepercayaan.

Dari sisi aturan, regulasi yang disebutkan di atas, sudah sangat lama. Tidak sesuai dengan perkembangan dan dinamika sosial yang berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, maka menata layanan publik di KUA agar bisa diakses semua agama, maka perlu melakukan penyesuaian terhadap peraturan yang sudah usang tersebut.

Selain itu, dari segi SDM juga perlu disiapkan secara matang. Terutama penyuluh agama bagi masing-masing agama. Karena mereka yang nantinya akan memberikan pelayanan, sesuai agama dari masyarakat yang datang berurusan untuk mendapatkan pelayanan publik.

Pemenuhan sarana prasarana KUA juga harus menjadi skala prioritas. Banyak KUA yang status tanahnya tidak jelas, masih pinjam pakai dengan pemerintah daerah. Dana operasional juga sangat terbatas, bahkan bisa dikatakan sangat minim. Biaya operasional kantor, hanya terbilang sangat keci untuk sebuah kantor pelayanan publik. Agar layak diakses semua agama, maka gedung KUA juga harus layak. Di Kalsel misalnya, banyak KUA yang berada di dalam gang kecil. Akses menggunakan mobil tidak bisa masuk. Bangunan dari kayu dan terbilang kecil, untuk kantor yang tiap hari banyak diakses oleh masyarakat.

KUA harus memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Termasuk menyediakan ruang tunggu yang luas dan memakai pendingin ruangan. Banyak kita temui, KUA yang ruang tunggunya tidak cukup menampung tamu, menggunakan kipas angin. Pengguna layanan akhirnya menunggu di luar kantor. Ini dikarenakan minimnya perhatian dari Kementerian Agama terhadap KUA. Kondisi tersebut, hampir merata dirasakan oleh KUA. Bahkan KUA yang berada di perkotaan saja, bangunan gedungnya sangat memprihatinkan, tidak layak sebagai kantor yang paling sering bersentuhan dengan masyarakat. Apalagi berbicara KUA yang ada jauh dari perkotaan. Bahkan akses internet, harus ke kota dulu, agar bisa mengirimkan laporan. Belum lagi perangkat komputer yang tidak mendukung kinerja pegawai. Pegawai bahkan menggunakan laptop pribadi untuk menunjang pekerjaannya.

Konsep layanan KUA untuk semua agama sangat baik jika diimplementasikan ke depannya. Namun ada hal penting yang harus disiapkan terlebih dahulu, yaitu perbaikan infrastruktur KUA, pemenuhan sarana prasana, sumber daya manusianya dan dukungan anggaran yang memadai untuk biaya operasional kantor. Tuntaskan dulu program revitalisasi KUA, sehingga dengan demikian, maka KUA Kecamatan bisa lebih optimal dalam memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat bagi semua agama. Sedangkan dari konteks pencegahan maladministrasi dan bentuk transparansi pelayanan, maka KUA harus mengimplementasikan komponen standar pelayanan yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang Pelayanan Publik.

Akhirnya, kita semua berharap, agar Kementerian Agama memberikan perhatian yang lebih kepada KUA, karena KUA merupakan ujung tombak dari layanan Kementerian Agama yang ada di kecamatan.

Oleh: Sopian Hadi

Asisten Ombudsman





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...