Mengawal Pembagian Tanah Negara
Satu dari beberapa tujuan Redistribusi Tanah Negara adalah untuk memperbaiki kondisi sosial-ekonomi masyarakat dengan cara membagikan lahan secara adil dan merata. Indikator keberhasilan dari kebijakan ini adalah meningkatnya kepemilikan tanah oleh kalangan masyarakat afirmatif yang dapat digunakan secara produktif dan tepat sasaran. Namun demikian, banyak sekali tantangan dan persoalan di lapangan guna mencapai pemerataan dan ketepatsasaran tersebut.
Dalam Pasal 12 Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria disebutkan bahwa subjek penerima redistribusi tanah adalah orang perseorangan, kelompok masyarakat dengan Hak Kepemilikan Bersama, dan badan hukum. Secara eksplisit tidak ditemukan subjek penerima yang menjadi prioritas penerima redistribusi tanah diantara tiga golongan tersebut dalam Perpres ini, karena proses penataan aset dan akses dikelola oleh kelembagaan Reforma Agraria yang terdiri dari stakeholder pusat dan daerah melalui mekanisme yang cenderung lebih birokratis.
Hal ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pasal 8-9 PP Nomor 224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian sebagaimana diubah melalui PP Nomor 41/1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, yang menempatkan petani tak bertanah (landless peasant) dan petani miskin sebagai perseorangan yang memiliki prioritas lebih dibanding subjek penerima lainnya.
Redistribusi Tanah sebenarnya bukan kebijakan baru dari pemerintah, karena telah dimulai sejak tahun 1961. Namun demikian, hasil evaluasi menunjukan bahwa minimnya pengetahuan/informasi mengenai tata kelola pertanahan di samping perubahan politik, nomenklatur dan kelembagaan menjadikan sebagian kebijakan ini hanya dikonsumsi kalangan tertentu (kalangan yang mengetahui data/informasi pertanahan/tengkulak tanah/stakeholder/korporasi) dan belum terlalu membumi di kalangan akar rumput sehingga bargaining position masyarakat dalam kepemilikan tanah redistribusi menjadi lemah. Meskipun dari tahun ke tahun ada sebagian masyarakat yang melakukan penggarapan terhadap tanah redistribusi dari negara, namun sangat sedikit ditemukan dari mereka melakukan pengurusan sampai dengan tahap penyertifikatan jika dibandingkan dengan data luas total Redistribusi Tanah yang telah diberikan oleh negara.
Hal ini dikarenakan proses pelayanan yang belum terstandar, alur birokrasi rumit dan minimnya informasi mengenai administrasi pertanahan yang didapat oleh masyarakat dari aparat kewilayahan maupun otoritas berwenang di bidang pertanahan. Beberapa pengalaman kasus-kasus menunjukkan kecenderungan bahwa persoalan tersebut melandasi masyarakat untuk memperjualbelikan tanah garapannya di bawah tangan tanpa mengetahui dampak yang ditimbulkan ke depan, di samping munculnya pihak-pihak yang mengajukan tawaran tanah (mafia).
Akibatnya, terjadi alih status penggunaan lahan dan perubahan peruntukan tanah serta tidak tercapainya perbaikan kondisi sosial-ekonomi masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan dari kebijakan Redistribusi Tanah. Kondisi ini diperparah oleh lemahnya kendali/pengawasan dan pijakan aturan dari pemerintah sehingga menciptakan sempurnanya sebab konflik agraria dari tahun ke tahun yang saat ini disadari cukup menyita waktu dan tenaga serta memperlambat proses pembangunan.
Mengacu pada data Direktorat Jenderal Penataan Agraria Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, total luas Redistribusi Tanah tahun 1961 - 2021 adalah 3.648.878 hektar (kemungkinan bertambah sampai dengan akhir tahun 2022). Namun demikian, belum ada infografis dan statistik yang menunjukkan apakah penguasaan tanah hasil redistribusi tersebut menempatkan petani tak bertanah (landless peasant) dan petani miskin sebagai perseorangan yang memiliki prioritas kepemilikan dan peredistribusian lebih banyak/luas dibanding dengan subjek penerima lainnya dari negara.
Padahal sejak era PP Nomor 224/1961 sebagaimana diubah melalui PP Nomor 41/1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, hanya terdapat dua kelompok subjek penerima redistribusi tanah, yaitu petani/penggarap dan non petani, yakni pegawai negeri dan angkatan bersenjata (saat ini TNI/Polri). Sehingga fungsi pengawasan/pengendalian dan pendataan seharusnya lebih mudah karena subjeknya jelas. Namun, fakta di lapangan ternyata tidak menunjukan hal demikian.
Bercermin dari negara tetangga, yakni Thailand misalnya, selama periode 1975 sampai 1997, ALRO (Agricultural Land Reform Office) telah meredistribusi 6,22 juta hektar tanah yang sebagian besar (93%) berasal dari tanah negara kepada 596.246 petani (Nazir Salim, 2020: 46-47). Capaian tersebut bisa dibilang dua kali lipat capaian Indonesia sejak tahun 1961 sampai dengan 2021. Salah satu tujuan dari Reforma Agraria (landreform) di Thailand adalah menetapkan status kepemilikan tanah kepada petani penggarap liar melalui legalisasi dan redistribusi tanah.
Satu dari empat strategi yang dirumuskan pemerintah Thailand, yaitu mengembangkan riset dan informasi mengenai landreform kepada masyarakat luas. Dapat dikatakan kunci keberhasilan Thailand dalam menjalankan reforma agraria ditunjang oleh arah kebijakan yang fokus dan konsisten serta adanya keseriusan pemerintah dalam menetapkan kelompok sasaran (target group) secara jelas, sebagai subjek penerima redistribusi tanah, yakni para petani/penggarap liar yang tidak memiliki tanah. Selain itu yang tidak kalah penting, yakni menciptakan kesadaran masyarakat melalui penyebarluasan informasi pertanahan secara luas sebagai salah satu strategi kebijakan.
Sementara di Indonesia, melalui Perpres Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria khususnya yang berkaitan penataan aset, kebijakan diarahkan untuk memperluas objek dan subjek penerima redistribusi tanah. Dari segi objek, tidak hanya mengatur redistribusi yang berasal dari tanah negara saja tapi juga kawasan pelepasan hutan. Sedangkan dari subjek penerima secara perseorangan, tidak hanya diberikan kepada kalangan petani/penggarap dan PNS/TNI/POLRI dengan kriteria tertentu saja, akan tetapi juga ditambahkan dengan kalangan nelayan, pembudi daya, penambak, honorer, pedagang, buruh, pegawai tidak tetap, swasta dan lain-lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Selain subjek perseorangan, ditambahkan juga Kelompok Masyarakat dan Badan Hukum dengan kriteria-kriteria sebagaimana diatur di dalam Perpres Nomor 86/2018. Dari konsep yang diusung melalui Perpres ini, aspek pemerataan dan kelompok sasaran (target group) akan menjadi tantangan serius yang dihadapi oleh pemerintah dalam proses redistribusi tanah ke depan. Pasalnya, jika pemerintah melalui Tim Reforma Agraria di pusat maupun daerah tidak berhati-hati dalam melakukan "bagi-bagi" tanah kepada para subjek penerimanya, maka akan menyebabkan perselisihan, kecemburuan dan konflik baru di kalangan masyarakat disebabkan spektrum/jangkauan sasaran yang ditetapkan melalui Perpres ini semakin luas.
Jangan sampai, meluasnya kelompok sasaran ini justru memunculkan pressure group baru di lapangan untuk memaksakan kehendaknya menjadi kriteria yang ingin "diprioritaskan" sebagai penerima redistribusi tanah dan menyisihkan kalangan lain, yaitu silent citizen yang sejatinya wajib diadvokasi oleh pemerintah. Oleh karenanya, sangat penting untuk menempatkan para pejabat atau stakeholder yang tidak memiliki hasrat individu dan berorientasi pada kepentingan masyarakat/publik. Tim Reforma Agraria di pusat maupun daerah perlu menjamin adanya penguatan melalui pola pengawasan organik di kalangan masyarakat, agar pejabat di daerah/kewilayahan dapat secara akuntabel melaksanakan amanat yang telah diberikan sesuai peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan struktur kelembagaan Tim Reforma Agraria yang terdiri dari berbagai unsur stakeholder baik di pusat maupun daerah ini, maka perlu diantisipasi beberapa potensi persoalan birokrasi yang akan muncul dalam proses redistribusi tanah, berupa lemahnya koordinasi, kendala mentransmisikan kebijakan ke dalam sebuah pelayanan publik (tidak membentuk SOP atau aturan teknis/metode di daerah tidak seragam/sarana pengaduan internal terlalu mekanistik dan tidak jelas pejabatnya), rawan ego sektoral, dan bayangan mengenai konflik kepentingan.
Terkait potensi konflik kepentingan, misalnya pemerintah perlu mengantisipasi bagaimana pola pemberian redistribusi tanah apabila calon subjek penerima berasal dari aparatur pemerintahan sebagaimana difasilitasi di dalam Perpres Nomor 86/2018. Kemudian, seperti apa langkah yang ditempuh dalam memberikan keyakinan kepada masyarakat lain bahwa pengawasan terhadap subjek penerima tanah redistribusi dilakukan secara transparan dan akuntabel, sementara dalam prosesnya yang memutuskan distribusi tanah dan mengawasi proses distribusi cenderung didominasi oleh struktur yang berasal dari unsur pemerintah dengan pelibatan sekelompok kecil masyarakat.
Jangan sampai sistem redistribusi tanah yang telah dibuat ini, menimbulkan adanya skeptisme baru dari masyarakat dikarenakan ketidakterbukaan informasi mengenai apakah kebijakan yang dibuat telah menempatkan kalangan petani/penggarap yang terbiasa mengelola tanah sebagai perseorangan yang memiliki prioritas kepemilikan dan peredistribusian lebih banyak/luas dibanding dengan subjek penerima lainnya dari Negara. Hal tersebut perlu dikawal bersama oleh masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan guna suksesnya kebijakan ini.
Iman Dani Ramdani S.AP.
Asisten Bidang Pemeriksaan Perwakilan Ombudsman RI Jawa Barat