Mengawal Hak Penyandang Disabilitas dalam Pelayanan Publik

Disabilitas merupakan bentuk dari keberagaman, sebagaimana ada orang yang berambut lurus maupun bergelombang, warna kulit dan bentuk tubuh yang berbeda-beda, setiap individu terlahir memiliki kondisi dan karakteristik uniknya masing-masing. Pun demikian setiap orang memiliki potensi untuk dapat berperan dalam komunitas sosial.
Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Hambatan yang dialami oleh Penyandang disabilitas dalam komunitas sosial, di antaranya dalam penyelenggaraan pelayanan publik dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa lingkungan (fisik dan sistem) serta cara pandang (stigma). Untuk itu perlu digalakkan upaya untuk mendorong presensi mereka di ruang publik, diantaranya dengan menata persepsi.
Perlakuan secara karitatif kepada penyandang disabilitas justru memperparah stigma negatif berupa label 'tidak mampu/bisa', yang pada akhirnya berpotensi semakin membatasi kehadiran mereka di ruang publik. Sebaliknya, menjadi tanggungjawab bersama untuk menciptakan iklim yang inklusif sehingga tidak satu orang pun tertinggal dan terabaikan.
Secara normatif, payung hukum terkait penyandang disabilitas telah ada sejak tahun 1997 dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, perspektif baru kemudian diawali dengan dilakukannya ratifikasi Convention on The Rights of Persons With Disabilities (CRPD) oleh Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011.
Menyambung CRPD tersebut, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas kemudian hadir dengan semangat yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya, mendobrak perspektif yang sebelumnya mendudukkan penyandang disabilitas sebagai sasaran belas kasihan menjadi sebagaimana harusnya merupakan subjek yang berpeluang menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat.
Menempatkan penyandang disabilitas sebagai objek belas kasihan rawan menimbulkan sentimen negatif, dan dapat mencederai perannya sebagai subjek yang berhak memangku tanggung jawab di masyarakat. Sebaliknya, aksesibilitas dan inklusif menjadi faktor kunci yang dapat mendorong presensi penyandang disabilitas di ranah publik.
Mendorong Partisipasi
Mendorong pelibatan organisasi disabilitas dalam perancangan maupun penyusunan standar pelayanan pada instansi penyelenggara penting untuk dilakukan, sehingga penyelenggara dapat diakomodir kebutuhan penyandang disabilitas secara substantif dalam pemenuhan standar pelayanan dan proses service delivery, bukan sekedar pemenuhan secara simbolik.
Pelibatan ini haruslah berupa 'partisipasi bermakna', partisipasi bermakna di sini berarti tidak sekedar memenuhi kewajiban untuk menghadirkan mereka secara fisik, namun lebih mendalam memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk berkontribusi, memberi saran masukan, perspektif dalam penyusunan standar pelayanan tersebut.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Penulis dari HWDI Sulsel, bahwa salah satu Puskesmas di Kota Makassar masih menggunakan istilah 'cacat fisik' pada nomor antrian. Dalam perspektif Penulis, penyediaan nomor antrian tersebut dapat dimaknai sebagai langkah baik untuk menyediakan layanan prioritas, namun penggunaan istilah 'cacat' cenderung kontra produktif dengan upaya mendorong persepsi positif terhadap penyandang disabilitas.
Kekeliruan penggunaan istilah pada kasus di atas, tentu tidak terjadi sekiranya penyandang disabilitas turut dilibatkan dalam proses penyusunan standar pelayanan. Secara normatif partisipasi pengguna layanan diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik yang mana penyelenggara wajib mengikutsertakan masyarakat yang terkait langsung dengan jenis pelayanan pada proses penyusunan standar pelayanan.
Pelayanan Berkeadilan
Dalam kegiatan yang diinisiasi Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia yang dihadiri penulis, salah satu keluhan diutarakan oleh penyandang disabilitas rungu terkait petugas layanan kesehatan yang tidak bisa menggunakan bahasa isyarat dan tidak menyediakan juru bahasa isyarat, kondisi pelayanan ini diperparah oleh petugas menggunakan masker saat memberikan pelayanan sehingga penyandang rungu tidak dapat membaca gerakan mulut petugas tersebut sehingga tidak terjadi interaksi sebagaimana harusnya.
Dalam hemat penulis, identifikasi awal terhadap pengguna layanan diperlukan baik oleh petugas front office maupun melalui formulir pendaftaran untuk mengetahui pengguna layanan merupakan penyandang disabilitas atau non disabilitas, sehingga pemberian pelayanan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi pengguna layanan.
Hal ini mengingat juga, disabilitas tidak selalu tampak kasat mata (disabilitas rungu dan disabilitas mental misalnya), sehingga dengan adanya identifikasi awal ini maka penyelenggara dapat menyesuaikan pelayanan sesuai kebutuhan ragam Penyandang disabilitas itu sendiri.
Hal lainnya yang perlu menjadi perhatian dalam proses pemberian layanan publik adalah etika atau sikap petugas layanan, pada bagian ini menjadi penting bagi petugas layanan untuk membangun persepsi positif kepada Penyandang disabilitas agar mencegah tindakan maladministrasi dalam bentuk diskriminasi dan perbuatan tidak patut.
Dalam kerangka pelayanan publik, perilaku petugas secara normatif telah diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Pelayanan Publik sebagai acuan bagaimana petugas pelayanan seharusnya bersikap. Untuk itu, proses internalisasi sikap perilaku yang pantas sebaiknya dilaksanakan secara intens oleh penyelenggara pelayanan publik.
Untuk digaris bawahi, setiap bentuk pendampingan harus dikomunikasikan atau diinformasikan kepada penyandang disabilitas terlebih dahulu untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan menghindari bahaya, sebab pada prinsipnya pemberian bantuan kepada Penyandang disabilitas bertujuan untuk menunjang kemandirian.
Peran Ombudsman
Ombudsman Republik Indonesia melalui program Opini Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik (OP4) yang dilaksanakan setiap tahun melakukan penilaian kepatuhan penyelenggara terhadap pemenuhan standar pelayanan publik, turut beririsan dalam upaya mendorong hadirnya pelayanan inklusif terhadap kelompok rentan termasuk penyandang disabilitas.
Beberapa aspek penilaian meliputi pemahaman petugas pelayanan mengenai kelompok rentan, ketersediaan petugas pendamping, penyediaan fasilitas yang menunjang kemandirian, serta layanan prioritas berupa parkiran prioritas, antrian prioritas, kursi tunggu prioritas, dan loket prioritas.
Prioritas disini bermakna bahwa fasilitas tersebut diperuntukkan untuk kelompok rentan salah satunya penyandang disabilitas, sehingga dalam kondisi tidak terdapat penyandang disabilitas yang mengakses layanan maka tentu fasilitas tersebut dapat saja dipergunakan oleh non disabilitas.
Pemenuhan signage (penanda arah, ruangan, loket) misalnya, jika diamati sebenarnya pemenuhan sarana ini tidak secara parsial akan mendukung kemandirian penyandang disabilitas saja, tetapi juga dapat dimanfaatkan oleh non disabilitas untuk kemudahan informasi saat mengakses layanan, seperti kata pepatah 'sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui' (*)
oleh : ST Dwi Adiyah Pratiwi,SH.,MH.,MAP
Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Perwakilan