Mengawal Demokrasi: Peran Ombudsman di Tengah Krisis dan Represi

Demonstrasi adalah wajah nyata demokrasi. Di jalanan, masyarakat menyampaikan aspirasi, menuntut keadilan, sekaligus mengingatkan pemerintah agar tidak melenceng dari kepentingan publik. Namun ruang demokrasi ini kerap berhadapan dengan aparat keamanan yang bertugas menjaga ketertiban. Tidak jarang benturan berujung pada tindakan represif: pembubaran paksa, penggunaan gas air mata, hingga penangkapan massal.
Di titik inilah peran Ombudsman menjadi penting. Lembaga negara independen ini hadir sebagai pengawas pelayanan publik, termasuk terhadap tindakan kepolisian dalam menangani aksi massa. Ombudsman bukan pengadilan, bukan pula penegak hukum. Tetapi ia memiliki mandat moral dan hukum untuk memastikan setiap aparat, termasuk polisi, bekerja sesuai prosedur tanpa menyalahgunakan kewenangan.
Konstitusi menjamin kebebasan berpendapat. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 juga mengatur hak warga untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat di muka umum. Namun dalam praktik, demonstrasi kerap dianggap mengganggu ketertiban. Dilema pun muncul: di satu sisi polisi dituntut menjaga keamanan, di sisi lain mereka wajib menghormati hak konstitusional warga. Sayangnya, garis tipis antara "penjagaan" dan "represi" sering kabur. Tindakan represif tidak hanya melukai fisik, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap negara. Setiap kali gas air mata ditembakkan secara berlebihan, setiap kali demonstran yang sudah tak berdaya dipukul, ada luka demokrasi yang semakin dalam.
Ombudsman bekerja berdasarkan laporan masyarakat maupun inisiatif sendiri (own motion). Dalam konteks demonstrasi, laporan biasanya terkait dugaan maladministrasi, antara lain penyalahgunaan wewenang aparat, penggunaan kekuatan secara berlebihan, pelanggaran prosedur pembubaran aksi, dan penahanan tanpa dasar hukum yang jelas. Ombudsman menilai kasus-kasus tersebut tidak hanya dari sisi hukum formal, tetapi juga dari prinsip keadilan, kepatutan, dan perlindungan hak warga negara. Hasil pemeriksaan bisa berupa rekomendasi perbaikan prosedur, permintaan pertanggungjawaban aparat, hingga dorongan revisi regulasi yang dianggap bermasalah.
Situasi hari ini berbeda dengan krisis 1998. Jika dulu dipicu runtuhnya legitimasi politik Orde Baru dan krisis moneter, kini kita menghadapi persoalan yang lebih kompleks: krisis politik, ekonomi, dan kepercayaan publik yang saling terkait. Dalam kondisi seperti ini, demonstrasi tidak cukup hanya menjadi luapan emosi, tetapi perlu ditopang strategi yang matang. Aksi massa harus menjaga kebersamaan isu, karena demonstrasi akan kehilangan makna jika terpecah dalam berbagai kepentingan. Kebersamaan membuat energi publik lebih terfokus dan tujuan aksi menjadi jelas. Gerakan rakyat juga memerlukan aktor yang terorganisir. Tanpa kepemimpinan, demonstrasi berisiko jatuh menjadi perilaku kolektif yang rawan bergeser ke arah amuk massa atau kerusuhan. Kepemimpinan yang terstruktur akan membantu menjaga arah, disiplin, dan strategi gerakan.
Di saat yang sama, penting adanya kolaborasi lintas sektor. Gerakan rakyat tidak bisa berdiri sendiri; dukungan akademisi, mahasiswa, buruh, petani, tokoh agama, dan masyarakat sipil akan memperkuat legitimasi moral sekaligus daya tawar politik. Demonstrasi juga harus diarahkan pada koreksi kebijakan. Aksi bukan sekadar ekspresi ketidakpuasan, tetapi harus menuntut perbaikan nyata agar pemerintah tidak menutup mata terhadap persoalan rakyat. Lebih jauh, krisis hanya bisa diatasi dengan memperkuat diskursus publik dan persatuan. Fragmentasi hanya akan memperdalam masalah, sementara ruang diskusi yang sehat memberi masyarakat kesempatan untuk mengartikulasikan nuraninya secara jernih tanpa terjebak polarisasi.
Mengawasi tindakan represif aparat dalam demonstrasi ibarat berjalan di jalur tipis antara hukum dan politik. Namun justru di situlah letak relevansi Ombudsman. Dalam negara demokratis, kita memerlukan lembaga yang berani berdiri di tengah-menjaga agar suara rakyat tidak dibungkam dan kekuasaan negara tidak dijalankan secara semena-mena.
Lebih jauh, krisis saat ini menuntut kedewasaan kolektif. Demokrasi hanya bertahan jika rakyat mampu menyuarakan kebenaran dengan cara yang terorganisir, kolaboratif, dan berpijak pada persatuan. Sebab pada akhirnya, demokrasi bukan sekadar soal siapa yang berkuasa, melainkan bagaimana rakyat bisa didengar tanpa rasa takut.
Oleh : Marzuqo Septianto
Asisten Ombudsman RI Provinsi Jawa Barat