• ,
  • - +

Artikel

Mencegah Potensi Maladministrasi Registrasi SPPFBT
• Selasa, 12/12/2023 •
 
Sopian Hadi - Kepala Keasistenan Pemeriksaan Laporan Ombudsman RI Prov. Kalimantan Selatan

Tingkat pertumbuhan penduduk semakin tinggi, sementara kebutuhan akan tanah untuk hunian, tempat usaha, pertanian, perkebunan dan sebagainya, semakin bertambah. Sedangkan jumlah tanah, dari dulu hingga sekarang tetap, bahkan berkurang, karena abrasi atau longsor. Kebutuhan akan tanah berpotensi menimbulkan sengketa pertanahan.

Di desa, alas hak tanah biasanya dalam bentuk Segel, Sporadik, Girik, Letter C, dan sebagainya. Alas hak itulah nantinya yang akan digunakan untuk mengurus pendaftaran tanah di Badan Pertanahan Nasional, yang kemudian diterbitkan Sertipikat Hak.

Tidak jarang, bukti kepemilikan masyarakat belum ada atau belum lengkap. Tanah tadi belum memiliki alas hak, namun karena telah dikuasai selama bertahun-tahun bahkan sudah turun temurun, maka harus dibuatkan alas haknya, dengan membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPPFBT), Segel atau Sporadik. Antara satu daerah dengan daerah lain, penyebutannya tidak sama. Dalam tulisan ini, digunakan penyebutan SPPFBT, dengan merujuk pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 35 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.

Dalam SPPFBT, pemilik tanah membuat pernyataan bahwa bidang tanah telah dikuasai secara terus-menerus, tidak dijadikan jaminan sesuatu hutang, tidak dalam keadaan sengketa, bukan aset pemerintah/pemerintah daerah, dan tidak berada dalam kawasan hutan.

Dalam SPPFBT tersebut, pemilik tanah juga membuat pernyataan bahwa surat tersebut dibuat dengan sebenar-benarnya, dengan penuh tanggung jawab, baik secara perdata maupun pidana. Apabila di kemudian hari terdapat unsur-unsur yang tidak benar dalam pernyataan ini maka segala akibat yang timbul menjadi tanggung jawab yang membuat pernyataan dan bersedia dituntut sesuai ketentuan hukum yang berlaku serta tidak akan melibatkan pihak lain.

SPPFBT adalah bukti formal penguasaan atas tanah oleh seseorang dengan itikad baik, diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan. SPPFBT/Sporadik ini kemudian "diketahui" oleh Lurah atau Kantor Desa, dengan cara membubuhi tanda tangan serta meregisternya dalam buku register SPPFBT yang ada di kelurahan atau kantor desa. Dalam pelayanan registrasi SPPFBT, kelurahan/kantor desa tidak sekadar meregister saja, namun juga harus melakukan penelitian di lapangan, untuk menghindari adanya tumpang tindih kepemilikan.

Dalam proses permohonan registrasi SPPFBT, petugas di kelurahan/kantor desa melakukan pemeriksaan dokumen-dokumen seperti kuitansi jual beli, identitas pemilik dan saksi-saksi. Setelah persyaratan lengkap, petugas kemudian melakukan pengukuran di lokasi bidang tanah yang akan dibuat SPPFBT. Setelah pengukuran tanah selesai, kelurahan/kantor desa kemudian membuatkan SPPFBT atau Sporadik. Pengukuran atau pemetaan bidang tanah, penting dilakukan oleh pihak kelurahan, agar pihak kelurahan atau kantor desa bisa memastikan lokasi bidang tanah yang akan dibuatkan SPPFBT statusnya tidak tumpang tindih kepemilikan dengan sertipikat hak milik atau overlapping  dengan SPPFBT yang sudah dikeluarkan(clear and clean).

Pada proses pengukuran di lapangan inilah, masyarakat biasanya dikutip oleh petugas. Permasalahan ini memang dilematik, satu sisi petugas harus turun ke lapangan, dan tidak jarang lokasi yang akan dibuat SPPFBT di tengah rawa. Di sisi lain, kutipan biaya yang dilakukan oleh petugas kelurahan/kantor desa tidak memiliki landasan hukum, baik dalam bentuk Peraturan Daerah atau Peraturan Walikota/Peraturan Bupati, sehingga tidak ada kepastian biaya, tergantung kesepakatan antara pengguna layanan dan pemberi layanan.

Selain itu, persyaratan, prosedur, jangka dan waktu pelayanan registrasi SPPFBT tidak ada kepastian. Bisa saja dalam satu kecamatan ada perbedaan prosedur yang ditetapkan oleh kelurahan/kantor desa dalam memberikan pelayanan registrasi SPPFBT, di samping adanya pungutan yang tidak memiliki dasar hukum tadi. Laporan yang banyak masuk di Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Selatan adalah mengenai penundaan berlarut dalam penerbitan SPPFBT serta dugaan adanya permintaan imbalan uang. Hal ini dikarenakan belum terlembaganya proses pelayanan registrasi dalam bentuk produk hukum.

Selain soal biaya, staf di kelurahan atau kecamatan kebanyakan tidak memiliki keahlian dalam proses  pengukuran tanah, sehingga hasil pengukuran sering kali menimbulkan konflik tanah. Jarang sekali ada pelatihan yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional guna memberikan bekal bagi staf kelurahan atau kantor desa, sehingga menghindari terjadinya konflik batas kepemilikan tanah akibat pengukuran yang sudah dilakukan. Bahkan di beberapa kelurahan/kantor desa, pemetaan atau pengukuran bidang tanah masih dilakukan secara manual, tidak menggunakan Sistem Pemosisi Global(Global Positioning  System). Pengukuran yang masih manual rentan tumpang tindih dengan SPPFBT yang telah dikeluarkan oleh Lurah atau Kepala Desa yang dahulu.

Di sisi lain, umumnya kendala koordinasi antara pemerintah daerah dalam hal ini kelurahan/kantor desa dengan Kantor Pertanahan setempat belum terbangun dengan baik. Di Kalimantan Selatan, hanya di Kabupaten Tanah Bumbu yang sudah menjalin koordinasi antara pemerintah daerah dengan Kantor Pertanahan, dalam hal adanya pelatihan bagi petugas kelurahan dalam menggunakan alat GPS untuk pengukuran tanah masyarakat. Di samping itu, koordinasi dengan Kantor Pertanahan penting dilakukan untuk menghindari adanya tumpang tindih antara sertifikat hak milik yang telah dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional dengan SPPFBT yang dikeluarkan oleh kelurahan/kantor desa.

Di samping itu, biaya/tarif pembuatan SPPFBT antarkelurahan berbeda-beda, berkisar antara 500 ribu sampai 5 juta rupiah. Biaya yang disetor masyarakat ke kelurahan/kantor desa tidak jelas, apakah masuk dalam Pendapatan Asli Daerah atau tidak. Bahkan ada beberapa kantor desa yang menyisihkan sebagian biaya yang sudah dikutip dari pengguna layanan tadi, untuk pemasukan Kas Desa. Di samping itu, sebagian besar kelurahan/kantor desa tidak memanjang standar pelayanan regsitrasi SPPFBT ini, sehingga masyarakat rawan untuk dikenakan pungutan liar. Keluhan mahalnya pembuatan SPPFBT serta lamanya penerbitan SPPFBT inilah yang sering masuk ke Perwakilan Ombudsman.

Untuk menghindari potensi maladministrasi, maka perlu dilakukan beberapa langkah perbaikan. Pertama, Kelurahan/kantor desa, sebelum menerbitkan SPPFBT, harus berkoordinasi dengan Kantor Pertanahan setempat, sehingga diketahui bidang tanah yang sudah bersertifikat dan yang belum. Kedua, adanya landasan hukum baik dalam bentuk Perda atau Perwali/Perbup, yang mengatur mengenai layanan SPPFBT, seperti persyaratan, prosedur, jangka waktu dan biaya. Dasar hukum ini penting sebagai bentuk kepastian hukum bagi masyarakat dan perlindungan hukum bagi aparatur dalam memberikan pelayanan. Ketiga, transparansi pelayanan. Kelurahan/kantor desa harus mempublikasikan standar pelayanan, sehingga masyarakat dapat kepastian mengenai layanan yang diberikan. Keempat, memperbaiki tata kelola pengarsipan. SPPFBT yang telah diregister oleh kelurahan/kantor desa. Maka pengarsipan harus betul-betul dikelola dengan baik. Agar tanah di atas tanah yang sama, tidak diterbitkan SPPFBT yang sama. Buruknya tata kelola penyimpanan arsip, memunculkan potensi sengketa tanah dikemudian hari, apalagi jika pejabatnya telah berganti. Kelima, adanya pelatihan pengkuran menggunakan GPS bagi petugas di kelurahan/kantor desa. Penggunaan GPS penting, untuk meminimalisir tumpang tindih kepemilikan. Selain itu, penting juga kelurahan/kantor desa memiliki peta-peta menggunakan sistem komputer, untuk mengetahui mana tanah yang telah ada SPPFBT dan yang belum.  





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...