Menanti Realisasi Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Angin segar berembus bagi penyintas kekerasan seksual pada 18 Juni 2025 dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2025 Tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual oleh Presiden Prabowo Subianto. Namun tentu tidak selesai di situ, kehadiran regulasi ini justru menjadi penanda dimulainya babak baru dalam perjalanan panjang bagi korban untuk pulih sepenuhnya.
Penjatuhan sanksi berupa pidana penjara bagi pelaku nyatanya tidak cukup untuk memulihkan korban sepenuhnya, korban masih harus berjuang untuk dapat mengembalikan kondisi fisik, mental, spiritual, dan sosial. Maka disinilah biaya/materiel menjadi kebutuhan mendesak bagi korban sebab tentu rehabilitasi medis dan mental memerlukan dukungan finansial, atas dasar itu maka hak korban atas restitusi adalah urgensi yang seharusnya tidak boleh ditunda.
Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian materiel dan/atau imateriel yang diderita korban atau ahli warisnya.
Masalahnya kemudian, bagaimana jika pelaku tidak memiliki kemampuan secara finansial untuk membayarkan Restitusi kepada korban sebagaimana telah diputus atau ditetapkan oleh pengadilan? akhirnya perjuangan korban untuk meraih keadilan bukannya usai, justru memasuki babak demi babak baru yang entah dimana ujungnya.
Memahami Dana Bantuan Korban (DBK)
Dari gambaran kondisi kebuntuan Restitusi di atas, kehadiran negara melalui pemerintah diperlukan untuk mengisi kekosongan ruang tanggung jawab terhadap pemulihan korban kekerasan seksual. Dengan hadirnya PP 29/2025 sebagai acuan lanjutan setidaknya memberikan jaminan pemberian dukungan materiel bagi korban.
DBK merupakan kompensasi negara kepada korban tindak pidana kekerasan seksual yang sumber pendanaannya dapat diperoleh dari filantropi, masyarakat, individu, tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat serta anggaran negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut jenisnya DBK ini dapat diidentifikasi menjadi 2 (dua) jenis pendanaan, pertama sebagai kompensasi sejumlah Restitusi kurang bayar kepada korban, dan yang kedua adalah sebagai Pemberian Pendanaan Pemulihan korban. Adapun yang dimaksud sebagai Restitusi kurang bayar adalah kekurangan atau ketidakmampuan pembayaran ganti kerugian dikarenakan pelaku atau pihak ketiga tidak mempunyai kemampuan atau harta kekayaan untuk membayar Restitusi.
Tantangannya, terdapat potensi dana/anggaran yang tidak dapat menjamin akan menjangkau seluruh korban, efek lanjutannya adalah apabila anggaran tidak memadai maka pembayarannya akan diperpanjang sampai dengan akhir tahun anggaran berikutnya, kondisi ini justru akan memperparah sebab korban memikul beban ganda akibat penanganan yang berlarut.
Olehnya itu sebagai penguatan untuk memperluas daya jangkau DBK bagi korban di tengah situasi anggaran yang terbatas/belum pasti, maka Restitusi oleh pelaku menjadi perlu dioptimalkan melalui inventarisasi dan penyitaan harta kekayaan pelaku sejak ditetapkan tersangka atas izin pengadilan negeri, sebagai bentuk mitigasi terhadap kemungkinan pelaku yang serta merta ingin melempar tanggung jawab kepada negara.
Namun untuk mengoptimalkan pemenuhan Restitusi oleh pelaku, maka perspektif aparat penegak hukum menjadi simpul penting untuk mengikat tanggung jawab pelaku. Perspektif penegak hukum yang berpihak pada korban menjadi faktor penting untuk memastikan korban memperoleh akses terhadap Restitusi dan dimuat dalam putusan/penetapan. Sebaliknya penegakan hukum yang dilandasi pada stigma negatif dan menyalahkan korban akan mengakibatkan hak korban atas Restitusi menjadi terabaikan.
Potensi Maladministrasi Pelayanan DBK
Ketersediaan dasar hukum pemberian DBK tidak berarti menyelesaikan seluruh persoalan, tantangan lainnya adalah pada penguatan perspektif hak asasi manusia dan kepentingan korban oleh aparat penegak hukum, hingga penyederhanaan layanan proses pengajuan DBK oleh LPSK.
Untuk dapat menjajaki potensi maladministrasi pada setiap tahapan pelayanan di masing-masing instansi penegak hukum hingga LPSK kita mesti mundur ke awal proses hukum penanganan kasus kekerasan seksual di tingkat kepolisian.
Penegakan hukum yang cenderung maskulin bertendensi diskriminatif terhadap korban khususnya perempuan, sikap kurang sensitif dan seringkali melabeli perempuan dengan cara yang tidak adil dan bias gender akan semakin memperkuat stereotip yang merugikan korban, misalnya menganggap perbuatan atas dasar suka sama suka.
Stereotip ini akan berimplikasi pada tidak seriusnya aparat penegak hukum untuk memenuhi perlindungan dan pemulihan korban, termasuk pengabaian kewajiban oleh penyidik untuk memberitahukan hak Restitusi kepada korban. Dari sini dapat terlihat potensi maladministrasi berupa pengabaian kewajiban hukum, penyimpangan prosedur, hingga diskriminasi.
Selain terhadap penyidik, melalui Pasal 31 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) juga membebankan kewajiban kepada penuntut umum dan hakim untuk memberitahukan hak atas Restitusi kepada korban. Sehingga apabila penyampaian mengenai hak ini tidak diindahkan baik karena alpa maupun sengaja merupakan tindakan Maladministrasi.
Secara normatif UU TPKS menentukan kualifikasi penyidik, penuntut umum, dan hakim, salah satunya memiliki integritas dan kompetensi tentang penanganan perkara yang berperspektif hak asasi manusia dan Korban (vide Pasal 21 dan 22). Maka jika ditarik ke dalam rezim pelayanan publik, apabila dalam penanganan perkara tidak berperspektif korban maka terdapat indikasi terjadi Maladministrasi dalam bentuk tidak kompeten, yang mana penyelenggara layanan yang memberikan layanan tidak sesuai dengan kompetensi.
Berikutnya untuk dapat menjamin bahwa substansi hukum yang baik dieksekusi dengan sama baiknya, maka komitmen menjadi salah satu faktor penting. Wujud dari komitmen ini dapat ditandai dengan adanya pedoman pelaksanaan teknis yang mengisyaratkan pelayanan dapat diakses dengan mudah dan cepat. Pun demikian kita menaruh harapan besar pada LPSK sebagai lembaga yang ditunjuk bertugas untuk mengelola DBK.
Jika diamati dari aspek pelayanan publik, terdapat kekosongan norma mengenai baku mutu waktu pelayanan Pendanaan Pemulihan, yang mana PP 29/2025 hanya mengatur jangka waktu pemberian dana pemulihan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Keputusan LPSK ditetapkan. Namun tidak diatur berapa lama jangka waktu pelayanan untuk memperoleh Keputusan LPSK itu sendiri sejak diterimanya permohonan korban, keluarga korban, atau kuasanya.
Untuk itu, LPSK perlu menyiapkan pedoman tertulis mengenai teknis pelaksanaan pemberian Dana Bantuan Korban. Pedoman ini kelak menjadi acuan sekaligus tolak ukur untuk menilai apakah proses pelayanan telah berjalan menurut standar atau sebaliknya menyimpang dari pedoman standar pelayanan yang telah ditetapkan.
Peran Strategis Ombudsman
Pada prinsipnya Ombudsman Republik Indonesia telah memiliki mekanisme untuk memproses laporan pengaduan yang bersifat mendesak untuk segera ditindaklanjuti melalui mekanisme Respons Cepat Ombudsman (RCO).
Berdasarkan Pasal 42 Peraturan Ombudsman Nomor 58 Tahun 2023 Tentang Tata cara Pemeriksaan dan Penyelesaian Laporan diatur beberapa kondisi tertentu Ombudsman dapat menangani laporan dengan pemeriksaan cepat melalui RCO. Adapun kriteria kondisi tersebut dimaksud adalah kondisi darurat/keadaan kahar, mengancam keselamatan jiwa, mengancam hak hidup, permasalahan berkaitan dengan pemberlakuan kebijakan yang memiliki durasi waktu yang terbatas, dan/atau permasalahan yang menjadi atensi publik.
Sehingga meskipun pelayanan DBK dapat dikatakan termasuk salah satu jenis layanan baru yang masuk dalam lingkup pengawasan Ombudsman pasca diaturnya DBK ini melalui PP 29/2025, Ombudsman RI telah memiliki mekanisme untuk penanganan jenis pengaduan yang memiliki kondisi memerlukan penyelesaian dalam waktu yang cepat dan proses yang singkat.
Untuk itu diharapkan ketika pelaksanaan pelayanan DBK ini mulai efektif berjalan, korban dapat memanfaatkan akses pengaduan kepada Ombudsman jika dalam proses pelayanan DBK tersebut terdapat indikasi Maladministrasi.
Hal lainnya, mengingat mekanisme pemberian DBK sebagai kompensasi Restitusi kurang bayar mensyaratkan adanya Restitusi tersebut termuat dalam putusan/penetapan pengadilan, maka penting untuk mengawal Restitusi ini sejak awal proses hukum, mulai dari penanganan kasus di tingkat kepolisian.
Olehnya itu apabila penyidik tidak menyampaikan informasi mengenai hak korban atas restitusi yang mengakibatkan korban terhalang haknya untuk dapat memahami dan memperoleh Restitusi dari pelaku maka korban dapat segera menyampaikan pengaduan ke Ombudsman atas hal tersebut. Termasuk apabila terdapat dugaan tindakan diskriminasi kepada korban maupun kepada pendamping korban untuk segera dilaporkan ke Ombudsman.
Pada akhirnya diperlukan sinergitas seluruh pihak untuk mendorong pemenuhan hak bagi korban kekerasan seksual secara paripurna, selain hak atas penanganan dan perlindungan, hak korban atas pemulihan tidak dapat dikesampingkan. Dengan adanya mekanisme DBK ini kita berharap pemulihan korban yang disegerakan bukan sekedar angan-angan, sebagaimana adagium 'justitiae non est neganda, non differenda' (keadilan tidak boleh disangkal atau ditunda).
ST Dwi Adiyah Pratiwi, SH.,MH.,MAP
Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Perwakilan Sulawesi Selatan