Menanti Bantuan Program Indonesia Pintar
Salah satu upaya pemerintah dalam mendukung pelaksanaan wajib belajar 12 tahun adalah dengan membentuk Program Indonesia Pintar. Program yang diusung sejak tahun 2016 ini bertujuan agar seluruh anak usia sekolah, khususnya yang berada di bawah garis kemiskinan atau rentan miskin, dapat mengenyam pendidikan sampai tamat, baik pendidikan formal maupun pendidikan informal tanpa terkecuali.
Program yang bekerja sama dengan tiga kementerian ini (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, dan Kementerian Agama) tentu memberikan setitik harapan bagi orang tua agar anaknya dapat mengenyam pendidikan tanpa harus mengkhawatirkan biaya sekolah dan dapat meringankan biaya personal pendidikan.
Harapannya, tidak ada lagi anak yang putus sekolah, dan melalui program ini, anak yang telah putus sekolah dapat ditarik kembali untuk melanjutkan pendidikan. Tentunya tidak hanya konsep program yang bagus yang harus dikerjakan oleh pemerintah, diperlukan adanya pengawasan yang tepat dan menyeluruh serta sistematis, agar program ini dapat terlaksana dengan baik dari hulu ke hilir.
Sejak tahun 2021, laporan mengenai Program Indonesia Pintar terus menerus masuk ke Ombudsman Kalsel, bahkan sampai akhir tahun 2021. Bukan tanpa alasan, perubahan kondisi ekonomi masyarakat yang menurun sejak adanya pandemi Covid-19 memberikan dampak yang cukup signifikan. Banyak keluarga dari golongan mampu yang akhirnya menjadi rentan miskin bahkan jatuh miskin.
Pada akhirnya, upaya untuk dapat menerima bantuan dari pemerintah pun dilakukan agar dapat bertahan. Salah satunya dengan mendaftarkan diri sebagai penerima bantuan sosial termasuk bantuan tunai pendidikan, bagi yang memiliki anak usia sekolah, dengan memiliki KIP (Kartu Indonesia Pintar). Kenyataannya di lapangan, secara nasional masih banyak anak-anak pemegang kartu KIP yang tidak mendapatkan bantuan.
Salah satunya Ibu Idah, beliau datang ke Ombudsman Kalsel dengan rasa kecewa terhadap program PIP. Bagaimana tidak, anaknya adalah pemegang KIP sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, namun sejak naik ke Sekolah Menengah Atas, tidak pernah sekalipun anak beliau mendapatkan bantuan pendidikan. Padahal beliau sudah lapor ke pihak sekolah bahwa anaknya adalah pemegang KIP.
Tidak hanya Ibu Idah, lebih dari 7 aduan soal bantuan pendidikan disampaikan oleh ibu-ibu lainnya ke Ombudsman tahun 2021. Atas aduan tersebut, Ombudsman berinisiatif untuk memanggil seluruh pihak baik Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan, Dinas Pendidikan Kota, dan beberapa perwakilan dari sekolah. Ombudsman ingin mengetahui, apa penyebab tidak sampainya bantuan kepada pemegang KIP.
Dijelaskan dari pihak Dinas Pendidikan bahwa seharusnya anak pemegang kartu KIP dapat dipastikan mendapatkan bantuan, kecuali ada kesalahan pada sistem, misalnya kesalahan pengisian data/tidak dilakukan update data oleh operator, atau tidak diberikan informasi yang sesuai oleh orang tua/wali murid. Sedangkan datangnya bantuan tunai hanya menunggu giliran waktu.
Dari pertemuan ini, Dinas Pendidikan Provinsi dan Kota berkomitmen apabila terdapat aduan terkait PIP,akan segera melakukan tindak lanjut dan koordinasi ke sekolah, agar anak pemegang KIP tidak terhambat untuk mendapat bantuan pendidikan. Â
Banyak faktor penyebab yang tentu harus menjadi bahan evaluasi bersama agar tidak ada lagi pemegang KIP yang tidak menerima bantuan seperti yang seharusnya. Tidak hanya dari sisi pemerintah pusat dan daerah, namun dari pihak orang tua/ wali murid. Program Indonesia Pintar pada prakteknya seperti benang kusut yang sulit diurai, banyak problem dari berbagai pihak, mulai dari tidak terbangunnya sistem informasi yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah.
 Seringkali terjadi kebingungan dan lempar-melempar tanggung jawab, ketika pertanyaan kenapa bantuan tunai pendidikan tidak diterima oleh anak pemegang KIP. Pihak sekolah mengklaim hanya sebagai petugas yang mendaftarkan pada data Dapodik, peran maksimal yang bisa dilakukan adalah melakukan pembaruan data. Pihak dinas mengklaim sebagai verifikator bukan pengambil keputusan, pendistribusian bantuan kewenangan sepenuhnya ada pada pemerintah pusat. Akhirnya, orang tua hanya diping-pong tanpa mendapat jawaban dan solusi yang jelas.
Di sisi lain, tidak sedikit orang tua/wali siswa tidak paham bagaimana proses diterbitkannya KIP. Banyak orang tua yang "tahu beres" saat KIP tiba-tiba diserahkan, baik oleh pihak RT, lurah atau camat, tanpa menelisik lebih jauh kebenaran data yang tertulis dalam KIP. Setelah bantuan tunai pendidikan terkendala, baru disadari bahwa ada kesalahan pada data yang dicatatkan, entah itu domisili atau nama orang tua/wali yang keliru dan lain sebagainya.
Tidak sedikit pula orang tua yang putus harapan terhadap bantuan, memilih untuk tidak menyekolahkan anaknya lagi dan menyuruh anaknya untuk bekerja membantu orang tua mencari nafkah. Pada akhirnya semua pihak hanya dapat menunggu bantuan PIP tanpa tahu langkah strategis apa yang harus dilakukan.
Berkaca dari banyaknya problem soal PIP ini, Ombudsman meminta seluruh jajaran pemerintah yang terlibat dalam program ini duduk bersama, melakukan evaluasi, merumuskan solusi perbaikan terhadap permasalahan yang terjadi, agar tujuan program ini sesuai dengan konsep yang telah diatur dalam Permendikbud Nomor 10 Tahun 2020 tentang Program Indonesia Pintar, dan tidak ada lagi anak putus sekolah karena tidak menerima bantuan PIP.Â
Ita Wijayanti