Memutus Rantai Kekerasan Terhadap Anak
Semua manusia pasti menuju tua. Generasi tua akan digantikan oleh generasi muda yang saat ini dikategorikan masih anak-anak. Masa depan bangsa akan kita wariskan ke anak-anak kita lewat nilai-nilai yang kita tanamkan hari ini. Menurut pasal 1 ayat 1 Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak disebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak sebagai generasi muda memegang peran penting untuk menjaga dan mewariskan cita-cita bangsa. Gambaran seperti apa masa depan Indonesia ke depan dapat kita lihat dari gambaran anak-anak saat ini. Jika anak kerap kali mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi sejak anak-anak maka setelah besar akan berdampak terhadap psikologis anak itu sendiri. Beberapa kasus telah menimpa anak lewat kekerasan yang mengakibatkan anak cacat bahkan meninggal dunia. Baru-baru ini, seorang ayah di Cimahi, Jawa Barat tega menganiaya 2 anaknya yang mengakibatkan 1 anak tewas dan 1 luka-luka dikarenakan korban mengambil uang tanpa seizin orangtua.
Melihat kondisi di atas, sepertinya kekerasan pada anak seperti tidak ada usainya. Terjadi dan selalu terjadi. Bertambah tahun bertambah pula deretan angka kekerasan terhadap anak. Padahal publik sudah memberikan perhatian yang besar untuk menyelamatkan anak dari belenggu kekerasan. Namun ada saja peristiwa yang merenggut masa depan anak. Kekerasan terhadap anak tidak memandang tempat dan waktu, kekerasan bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Kekerasan di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan tempat ibadah dan lingkungan umum tempat anak melakukan sosialisasi. Kekerasan itu sendiri adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang baik direncanakan ataupun tidak direncanakan yang menimbulkan kerugian fisik maupun psikis.
Berdasarkan data pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA). Kekerasan terhadap anak tahun 2019 sebanyak 12.285 anak. Angka ini mengalami peningkatan pada tahun 2020 menjadi 12.425 anak. Tidak berhenti pada angka tersebut pada tahun 2022 angka kekerasan terhadap anak meningkat tajam menjadi 15.972 anak. Angka tahun 2022 yang meningkat singnifikan menjadi perhatian kita semua agar tahun 2023 ini dapat dituntaskan atau dikurangi. Tentu kasus yang menimpa anak tersebut sangat beragam mulai dari pencabulan, pemerkosaan, kekerasan fisik, kekerasan psikis, penelantaran, pelecehan seksual dan kekerasan seksual.
Menurut World Health Organization (WHO) kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara nyata atau pun tidak dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat atau perkembangannya, tindakan kekerasan diperoleh dari orang yang bertanggung jawab, dipercaya atau berkuasa dalam perlindungan anak tersebut. Adapun potensi kekerasan yang mungkin terjadi pada anak antara lain,Pertama,Kekerasan fisik. Kekerasan ini mengakibatkan rasa sakit secara fisik yang dialami oleh seorang anak baik yang dilakukan oleh orangtua, saudaranya, teman bermain maupun orang lain diluar lingkungan keluarga. Bentuk kekerasan fisik ini seperti ditendang, dipukul dan sebagainya.
Kedua,Kekerasan seksual. Kekerasan ini dalam bentuk perbuatan senonoh dari orang lain, perkataan yang mengandung unsur pornografi dan lainya. KetigaKekerasan emosional. Kekerasan ini mengakibatkan terhambatnya perkembangan emosional anak seperti nada ancaraman kepada anak, perilaku menakut nakuti anak dan lainya yang mengganggu psikis anak.Keempat,Kekerasan ekonomi dalam bentuk mempekerjakan anak untuk mendapatkan keuntungan oleh orangtua ataupun orang lain. Anak yang semestinya belum masuk usia produktif dipaksa untuk bekerja.Kelima, penelantaran sebagai bagian dari kekerasan yang dialami seorang anak. Ketidakpedulian orangtua atau tidak adanya orang yang bertanggung jawab kepada kebutuhan anak, seperti pengabaian kesehatan anak, Pendidikan anak dan lainya yang seharusnya kebutuhan anak.
Kekerasan yang dialami anak akan berdampak kepada diri anak itu sendiri dan lingkungan. Bila anak mengalami kekerasan fisik akan berakibat pada fisik dan psikis. Jika anak mengalami kekerasan psikis akan berdampak pada diri anak seperti merasa malu atau menyalahkan diri sendiri, tidak percaya diri, kehilangan minat sekolah, cemas, depresi, stress pasca kekerasan bahkan bisa berakibat fatal yaitu gila. Belum lagi kekerasan fisik yang dialami anak bisa berdampak pada kecacatan bahkan meninggal.
Tanggung Jawab Bersama
Kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun terus meningkat. Upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap anak pun terus digalakkan. Semua potensi telah ada untuk mengantisipasi dan memutus rantai kekerasan terhadap anak. Pemerintah telah hadir untuk memberikan pencegahan dan perlindungan kepada anak lewat berbagai kebijakan yang berpihak kepada anak. Pemerintah melalui berbagai instansi/lembaga yang dibentuk telah konsen untuk memberikan perlindungan kepada anak. Berikut lembaga yang diberi tanggungjawab oleh pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada anak, antara lain,
Pertama, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2015 tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak. Dalam pasal 16 disebutkan Deputi Bidang Perlindungan Anak menyelenggarakan fungsi perumusan kebijakan di bidang perlindungan anak, koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang perlindungan anak, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perlindungan anak, penyusunan data gender di bidang perlindungan anak, pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang perlindungan anak, pemantauan, analisis, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kebijakan di bidang perlindungan anak, pelaksanaan administrasi Deputi Bidang Perlindungan Anak dan pelaksanaan fungsi lain.
Kedua, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Lembaga independen ini dibentuk dengan tujuan meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak. KPAI bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak, memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi mengenai perlindungan anak, menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran hak anak, melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak, melakukan kerja sama dengan lembaga yang dibentuk masyarakat di bidang perlindungan anak, memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang.
Ketiga, Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Republik Indonesia juga mendapat tugas untuk memberikan perlindungan kepada anak. Polri juga menjadi garda terdepan dalam memutus rantai kekerasan kepada anak. Target dari pemutusan rantai kekerasan terhadap anak adalah adanya mekanisme penangangan hingga korban mendapatkan keadilan dan pelaku mendapatkan hukuman yang berat.
Selain ketiga instansi pemerintah di atas, peran masyarakat juga sangat penting dalam memutus rantai kekerasan terhadap anak. Dalam pasal 72 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak disebutkan Peran Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga kesejahteraan sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media massa, dan dunia usaha. Keluarga sebagai tempat anak dibesarkan harus mendapat perlakuan dan perlindungan dari orangtua dan anggota keluarga. Pembentukan karakter lewat keluarga akan membentuk anak untuk tidak menjadi pelaku kekerasan. Lingkungan Pendidikan seperti sekolah yang menjadi tempat anak untuk menimba ilmu harus ramah terhadap anak. Sekolah harus menciptkan rasa aman bagi anak. Begitu juga lingkungan keagamaan haruslah menjadi tempat yang benar-benar mendapatkan ketenangan bagi anak. Oleh karena itu, memutus mata rantai kekerasan terhadap anak menjadi tanggung jawab bersama pemerintah lewat lembaga yang dibentuk dan masyarakat lewat kehidupan sehari-hari dimana anak bertumbuh dan melakukan sosialisasi.
Oleh: Edward Silaban, S.S,.M.A.
Asisten Ombudsman RI dan Alumni Pascasarjana Ilmu Sejarah USU.
(sudah dimuat di https://analisadaily.com/e-paper/2023-02-11/files/assets/basic-html/index.html#12)