• ,
  • - +

Artikel

Memanfaatkan LinkedIn untuk Employee Branding Insan Ombudsman
• Kamis, 06/04/2023 •
 
Fauziah Kurniati - Calas Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Bengkulu.

Fenomena flexing akhir-akhir ini begitu mencuat, terlebih di Indonesia. Kehadirannya sontak membuat publik tercengang, seperti halnya kasus flexing di lingkungan pejabat publik. Lalu, dari manakah istilah flexing itu bermula? Dikutip dari laman dictionary.com disebutkan bahwa asal mula munculnya arti kata flexing adalah bahasa gaul dari kalangan ras kulit hitam yang bertujuan untuk menunjukkan keberanian atau pamer, istilah ini digunakan sejak 1990.

Sementara di Korea Selatan, flexing sudah disebut sebagai norma, bukan lagi sebagai penyimpangan norma. Laporan Morgan Standley menempatkan Korea Selatan sebagai The World's top spender on personal luxury goods in 2022. Di Amerika Serikat, hasil penelitian dari Cornell University menunjukkan perbedaan nilai moral dasar (core moral belief) dari tiap orang akan membuat perbedaan pendapat mengenai bermoral tidaknya flexing. Lantas, bagaimana seharusnya kita bersikap?

Tak dapat dipungkiri, ketika kita mendengar kata flexing, maka hal tersebut cenderung diasosiasikan sebagai sesuatu yang negatif. Namun ternyata flexing juga diperlukan, asal hal yang dipamerkan bersifat positif.

Andryaas Mamuaya selaku Project Management and Linkedln Marketing mengatakan, flexing atau memamerkan pencapaian di Linkedln memang sering dilakukan oleh banyak orang untuk menunjukkan keahlian dan pengalaman mereka dalam bidang profesional. Beberapa contoh flexing keren di Linkedln yang bisa menarik perhatian rekan profesional atau pemberi kerja antara lain prestasi akademik, pengalaman kerja, penghargaan profesional, publikasi atau penelitian.

Melakukan flexing di kanal Linkedln, menurut penulis sudah menjadi keharusan yang dilakukan oleh para Insan Ombudsman. Sebab, Linkedln merupakan database profesional terbesar di dunia, dimana di dalamnya terdapat sekitar 875 ribu pengguna professional, 9,3 juta CEO, 8,3 juta founder, 57 juta perusahaan, dan 4,5 juta  coaches. Bisa dibayangkan seberapa besar dampaknya jika kita melakukan flexing  secara positif di kanal tersebut.

Penggunaan Linkedin sebagai kanal flexing di lingkungan Insan Ombudsman dapat menciptakan employee branding. Menurut Miles and Mangold (2004) employee branding adalah proses saat karyawan menginternalisasi citra merek yang diinginkan oleh perusahaan dan termotivasi untuk memproyeksikan citra tersebut kepada pelanggan dan konstituen organisasi.

Rosilawati (2008) dalam penelitiannya yang berjudul "Employee Branding sebagai Strategi Komunikasi untuk Mengkomunikasikan Citra Merek (brand image)" menyatakan karyawan sebagai unsur utama di dalam organisasi dapat dijadikan ujung tombak untuk mendukung kegiatan branding melalui perilaku dan sikap mereka. Karyawan dapat memperkuat dan menciptakan citra merek (brand image) bagi produk dan organisasinya.

Kaitannya dengan fungsi lembaga sebagai pengawas pelayan publik, Insan Ombudsman dapat memamerkan hasil kerugian masyarakat akibat pelayanan publik yang buruk di sebuah penyelenggara pelayanan publik, dengan begitu kita dapat sekaligus mengedukasi kepada khalayak umum bahwa pelayanan publik yang buruk dapat menyebabkan kerugian di masyarakat sebagai pengguna layanan, baik yang bersifat materiil maupun immaterial.

Di era saat ini, pengguna internet Indonesia sangat tinggi, tentu menjadi potensi sekaligus peluang bagi para Insan Ombudsman untuk melakukan employee branding dengan masif. Laporan We Are Social mencatat, jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 212,9 juta pada Januari 2023. Hal ini berarti 77% dari populasi Indonesia telah menggunakan internet.

Menyikapi hal tersebut, flexing melalui employee branding bagi para Insan Ombudsman adalah pilihan yang tepat agar dapat meningkatkan diseminasi program maupun capain kinerja Ombudsman RI.


Fauziah Kurniati - Calas Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Bengkulu.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...